by @riztarizta
Dia duduk lesehan di sudut ruangan. Aku, masih berkacak pinggang, berdiri satu meter didepannya. Kami berdua saling membuang muka, saling menghindari tatapan mata. Jam dinding terus berdetak menggulirkan emosi kami. Matahari sudah menggelinding, bosan dengan kami yang terus-terusan menuruti emosi.
Sudah dua jam pertengkaran ini terjadi. Ada masalah yang membuncah amarah. Ada kata-kata yang akhirnya melarung semua cinta. Kata-kata akhirnya tidak lagi berguna ketika cinta kami berubah jadi benci dan maki-maki. Tangan ini beralih fungsi, dari saling membelai hingga saling menunjuk-nunjuk. Mata teduhnya yang dulu merayu kini membara. Aku juga tak henti berurai air mata. Lupakan kasih sayang yang berderak karena mulut kami kini saling berteriak.
Perih itu terasa begitu sempurna ketika dia memutuskan menyerah dalam hubungan yang kami titi berdua. Dia tidak siap dengan komitmen, katanya. Buat dia itu keputusan. Aku pikir itu suatu kebodohan. Jujur, aku curiga ada yang menggeser posisiku di hatinya. Tapi dia bilang itu hanya pikiran buruk semata. Dia bilang, dia hanya merasa tidak cukup dewasa. Kesimpulannya, mungkin dia tidak bahagia.
Lama kami berdiri, teguh dengan keputusan kami masing-masing. Dia yang ingin berpisah. Aku yang selalu ingin bersama. Aku diam memikirkan pilihan dia dan apa yang sudah dijalani selama ini. Dia juga diam, entah apa yang ada di kepalanya.
Satu jam kami saling berdiam diri. Akhirnya kugenggam tangannya, membantunya berdiri. Kupeluk erat laki-laki yang selama ini menggenggam hatiku. Hari ini dia ingin melepasnya.
“Aku terlalu sayang kamu. Tidak mungkin rasanya aku membatasi keinginan kamu. Janggal rasanya jika aku menghalangi kamu untuk lebih bahagia.” Tiga kalimat itu terucap sempurna dari bibirku.
Dia merengkuh tubuhku erat. Aku melekat dadanya ketat.
Satu pelukan terakhir sebagai tanda kami melepas cinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!