Oleh: Faizal Egi
Belakangan ini negeriku ditimpa musibah yang beruntun, musibah yang sedikit menunjukkan tentang kekuatan alam. Dan hari ini pun aku turut merasakan dampak dari hebatnya kekuatan itu.
Jum’at, 5 November 2010. Pukul 10.00 WIB
Telepon selulerku berbunyi, membangunkanku dari tidur yang teramat singkat. Baru sekitar 4 jam yang lalu aku bisa terlelap, sejak dini hari hanya memandangi televisi untuk memantau keadaan pasca erupsi Merapi dengan perasaan was – was. Aku memang berada di luar batas aman dari kawasan Merapi, sekitar 28km dari puncak Merapi, tetapi besarnya erupsi yang terjadi membuat hujan abu dan pasir sampai ke tempatku. Panik karena jauh dari orang tua, dan pertama kali mengalami hujan abu seperti itu.
Dengan kesadaran yang belum sepenuhnya terkumpul, aku angkat telpon itu. Telpon dari ibuku. “Halo..” sapaku lesu
“Pulang!” jawab ibuku singkat
Aku yang belum sepenuhnya sadar kebingungan dan tak mengerti maksudnya “Hmm?”
“Pulang ke rumah! Sekarang!” ulang ibuku keras dan tersirat kekhawatiran disana
“Mom, I’m okay. Jauh kok dari batas aman,” kataku mencoba untuk menenangkannya
“Mama nggak mau ambil resiko, di TV aja sampe kayak gitu keadaannya. Udah dari kemaren – kemaren Mama nyuruh kamu pulang tapi kamu nolak, sekarang kamu harus nurut. Kamu nggak tau disini semua keluarga khawatir?! Nenek dari pagi nangis – nangis lihat berita di TV, kamu mau Nenek kamu jantungan mikirin kamu?! Cepet pulang!” Si Mama nyerocos ngomel – ngomel dan mengeluarkan senjata andalannya yaitu Nenek
“Oke... aku pulang,” jawabku pasrah
Setelah menutup telponnya, aku berniat untuk mandi. Saat aku buka pinta kamar kosku yang terletak di lantai 2, pemandangan di depan kos berwarna keputihan. Serasa berada di dalam dunia lain yang hanya berwarna hitam dan putih, lantai pun berpasir. Buru – buru mandi dan berpakaian, tidak lupa kukenakan masker yang sudah kusiapkan dari kemaren. Aku berjalan kaki menuju jalan raya yang jaraknya sekitar 100 meter dari kos, daun – daun pada pohon, atap rumah - rumah di pinggir gang tertutup abu kasar. Pada saat angin bertiup, abu – abu tersebut terbang menutupi pandangan, kupejamkan mataku untuk menghindari masuknya abu ke mata. Tapi tidak hanya itu, masker medis yang kukenakan rasanya tak cukup mampu menyaring abu – abu itu, sesak rasanya tiap aku menghirup nafas.
Di pinggir jalan raya aku berdiri menunggu taksi yang lewat, susah! Tidak seperti biasanya, semua taksi telah berpenumpang. 30 menit dalam penderitaan melawan debu abu yang terbawa angin, akhirnya sebuah taksi berwarna hitam menghampiriku. Lega, akhirnya aku bisa menghirup udara bersih dari Air Conditioner di dalam taksi berbentuk family car bukan sedan yang sepertinya hanya ada di Jogja ini. Kusebutkan tujuanku kepada sopirnya, “Stasiun Lempuyangan”. Sepanjang jalan ke stasiun, keadaan bisa dibilang parah, debu abu beterbangan terhempas kendaraan yang lalu lalang, sirine dari mobil Ambulance dan aparat bersautan, Jogjaku terasa mencekam, hati teriris melihat semua ini.
Keadaan di stasiun yang bukan merupakan stasiun utama Jogja ini sedikit lebih ramai dari biasanya, namun masih dalam keadaan wajar. Aku menuju loket, kubeli selembar tiket KA Banyubiru, satu – satunya kereta yang menuju ke Semarang, pada tiket tertulis keberangkatan pukul 15.05. Kulihat jam tanganku, baru jam 12.00, ada waktu beberapa jam untuk packing.
Aku kembali ke kosku, suasana sepi. Entah pada pulang kampung atau kemana, dari pagi aku tidak menemui satu orang pun di kos. Kukemasi barangku sekenanya, hanya ada beberapa baju bersih, tidak lupa kubawa semua ijazah dan surat – surat penting lainnya untuk antisipasi kemungkinan terburuk.
Pukul 13.30, aku sudah siap menuju stasiun. Sebelumnya mampir dulu di warung makan dekat kos, dari pagi perutku baru terisi air putih saja. Tak kuhabiskan makananku, serasa makan bercampur abu. Aku pun kembali mencari taksi, masih sama susahnya seperti tadi.
Sesampainya di stasiun, keadaan terlihat berbeda. Stasiun yang tidak terlalu besar ini penuh dengan orang – orang yang membawa banyak barang bawaan. Tadi pagi hanya loket KA Pramex jurusan Jogja – Solo saja yang terjadi antrian, namun sekarang antrian panjang menghiasi ketiga loket. Mengingat sebentar lagi kereta akan tiba, aku menuju ke peron supaya nanti kebagian tempat duduk.
Tepat pukul 15.00 kereta datang, orang – orang berdesakan untuk masuk ke dalam kereta. Di dalam kereta, keributan masih berlangsung, para penumpang berebutan tempat duduk. Syukurlah aku dapat tempat duduk. Memang kereta ini tidak penuh sesak, tidak ada yang harus berdiri berdesakan, namun beberapa orang harus rela duduk di lantai kereta.
Kereta mulai berjalan, kupandangi sekeliling. Para penumpang terlihat seragam, tas besar dan koper berada di dekat mereka, masker bergantung di leher (beberapa masih menutupi hidungnya), handphone sering berdering yang sepertinya dari orang – orang atau keluarga yang mencemaskan mereka. Rasanya seperti berada dalam sebuah kereta api yang sengaja digunakan untuk mengangkut para pengungsi ke tempat lain, sedih rasanya. Tetapi nasibku lebih baik daripada warga yang berada di dalam Kawasan Rawan Bencana yang dini hari tadi kulihat di TV sedang diungsikan ke tempat yang lebih aman, mereka diangkut dengan angkutan seadanya, beberapa harus menggunakan mobil bak terbuka ditengah hujan abu dan hujan air yang bersatu menjadi hujan lumpur, banyak lansia dan anak – anak di bawah umur diantara mereka. Melihat mereka melalui layar kaca saja rasanya sakit, turut “sedikit” merasakan kesedihan mereka. Lalu bagaimana mungkin ada manusia yang tidak tersentuh dan malah melancong ke Luar Negri disaat yang seharusnya mereka wakili berada dalam keadaan seperti itu? Rasanya tidak mungkin ada manusia yang setega itu.
Kereta terus berjalan, dan sepertinya aku tertidur sampai ada suara perbincangan nada tinggi yang mengusik tidurku. Sambil mengerjapkan mata mencari sisa – sisa kesadaranku, aku mencari sumber suara itu. Di bangku depanku, dengan jarak 3 orang ke sebalah kiri, 2 pria yang kuperkirakan berumur 30-40 berbincang saling mendukung pendapat lawan bicaranya.
“Ini semua karena Tuhan marah dengan negeri kita!” kata pria pertama dengan nada suara layaknya para pendemo
“Iya!! Moral masyarakat kita sudah hancur!!! Perzinahan tidak lagi dianggap sebagai hal yang tabu, orang – orang yang berniat memperbaiki moral masyarakat malah disalahkan oleh masyarakat, dianggap anarkis dan tidak menerima perbedaan. Rusak sudah bangsa kita ini!” saut pria kedua dengan kekerasan suara yang tak kalah
“Kalau seperti ini, kita yang baik pun kena juga imbasnya,” imbuh pria pertama tadi
Aku tersentak dengan kalimat terakhir dari pria pertama itu, “kita yang baik”? Percaya dirinya sangat tinggi sehingga sudah merasa baik. Kuperhatikan orang – orang disekelilingku, ada yang mendengarkan dengan antusias, namun lebih banyak yang hanya diam dan tidak mencari keributan dengan kedua orang itu. Aku pun jengah, dan memilih untuk berusaha mengabaikan mereka meskipun susah mengingat suara mereka yang sepertinya bisa terdengar sampai ke 3 gerbong selanjutnya.
Kutundukkan kepalaku, kupandangi tanganku yang saling tergenggam. Aku berpikir, mengapa banyak yang menganggap musibah adalah hukuman dari Tuhan atas dosa manusia? Menganggap bahwa inilah cara Tuhan untuk menyadarkan manusia yang selama ini semakin melenceng dari jalan kebenaran. Apa benar seperti itu? Apa semua orang yang tertimpa bencana adalah para pendosa dan pantas dihukum? Memangnya penderitaan korban bencana belum cukup berat sehingga masih harus dituding sebagai pesakitan cacat moral yang memang sepantasnya mendapatkan semua ini?
Aku pribadi tak mau menebak – nebak apa maksud Tuhan dengan menunjukkan salah satu kebesaranNYA ini, itu hak mutlak Tuhan untuk melakukan apapun. Aku hanya bisa berusaha meyakini bahwa pasti ada hikmah yang bisa dipelajari dan disyukuri dibalik setiap kejadian, aku juga selalu berusaha yakin bahwa Tuhan selalu memberikan yang terbaik untuk hambaNYA (yang sering manusia salah artikan). Lagipula, kalau pengen berubah untuk menjadi lebih baik ya nggak usah nunggu musibah donk. Dan sama sekali tidak bijaksana men-cap para korban itu sebagai para pendosa, karena kita manusia tidak tau pasti siapa yang lebih baik dari siapa.
Bel kereta berbunyi untuk sekian kalinya, kulihat keluar jendela, terpampang tulisan besar “Stasiun Tawang”. Hmm... Touchdown Semarang!
P.S. : Salut kepada para relawan dan pihak – pihak yang berjuang untuk orang lain...