Oleh:Wenny Sri Widowati
“Jangan dekat-dekat dengan Bagas! Lidahnya tajam,”
Semua orang yang mengenalmu menyerukan hal yang sama. Semua seolah sepakat akan ketajaman lidahmu. Aku penasaran, karena kau tak tampak setajam itu, setidaknya dalam cerminanku, karena kau tersenyum saat aku dengan sengaja menabrak bahumu.
“Ah—maaf!”
Klasik. Aku mengucapkan sebuah kata yang biasa dilantunkan semua orang bila tidak sengaja menabrak orang lain, dalam hal ini, aku sengaja, ingin tahu reaksimu. Kau tidak sekejam yang mereka katakan, kau memesona, dan aku terjatuh. Aku jatuh sungguhan di atas hamparan rumput, dengan lembar-lembar kertas yang berserakan.
Kau hanya tersenyum, lebih tepatnya senyum sinis, tetapi guratan itu semakin mempertegas bentuk rahangmu, mempertegas bentuk alismu, dan aku bisa mendengar penduduk langit sedang memainkan musik-musik kesukaan Dewi Aphrodite. Aku memang payah, kentara sekali bila saat ini aku sedang dibuat kagum olehmu. Oke, para pemain musik yang sedang memetik harpa di langit ke lima, berhentilah sebentar, aku tidak mau pingsan di depan si ‘lidah tajam’.
Kau diam, tanpa basa-basi, dan tidak membantuku berdiri. Tanganmu dengan cekatan meraih kertas-kertas yang berserakan dalam urutan acak, kertas-kertas milikku. Aku berdiri dengan bantuan tanganku sendiri, hell yeah, terserah bila ada rumput kering yang terselip diantara rambutku yang terurai. Aku bukan gadis berstandar manis yang lemah gemulai, aku dengan sengaja menepuk-nepuk bagian belakang tubuhku yang terbentur dengan Bumi, gerakan ini jelas tidak ada dalam adegan film-film romantis.
“Ini!” ujarmu dengan setumpuk lembar kertas yang disodorkan di depan wajahku.
“Thanks!” balasku sambil tersenyum, kertas-kertas itu berpindah tangan.
Hanya begitu saja, lalu kau menyambar tas ranselmu yang terjatuh akibat tabrakan tadi, berlalu, tanpa mengucapkan kata-kata lain. Kau benar-benar meninggalkan aku seorang diri, dan hembusan angin dengan sangat baik meninggalkan jejakmu disini. Oh sial, kau wangi sekali. Wangi yang mengingatkanku pada hamparan rumput selepas hujan. Aku tergila-gila dengan aroma ini. Kau membuatku gila hanya dengan satu kata, “Ini!”
Sebulan berlalu, dan seperti yang telah aku duga sebelumnya, penduduk langit membuka sebuah jalan cinta untukku dan Bagas. Mereka telah memainkan musik di awal pertemuan kami, pertemuan yang aku sengajakan dengan sebuah tabrakan bahu. Semakin hari, petikan harpa mereka semakin riuh. Aku tidak bisa menolak, dan Bagas—dia tidak bisa mengelak.
Hari ini, kami adalah sepasang kekasih. Ratusan bibir mempertanyakan kewarasanku. Bagaimana aku bisa menjadi kekasih si ‘lidah tajam’? Aku hanya tersenyum, kapan aku pernah peduli dengan kata-kata mereka. Ah—tapi aku memang peduli, aku penasaran dengan tuduhan yang telah mereka berikan pada kekasihku. Kejam sekali mereka, tetapi akan aku buktikan.
“Cium aku!” ujarku malam itu, setelah dia telah sampai mengantar di teras rumah.
“Apa?” kau pura-pura tidak mendengar, tetapi senyummu menyiratkan kebalikannya.
“Kiss me! Just do it, Bagas!”
Dan hatiku bersorak dalam mata terpejam. Aku merasakan aroma rumput selepas hujan, dekat sekali dengan syaraf penciumanku. Dalam imajinasiku, aku berada di tengah hamparan rumput yang masih basah, sinar matahari menerpa tubuhku yang memakai terusan selutut tanpa lengan. Mendebarkan, aku menari kesana kemari, hingga imajinasi itu redup, samar-samar, aroma rumput selepas hujan menipis, dan aku kembali sadar dalam dunia yang nyata.
Tuduhan palsu.
Lidahmu tidak tajam, bibirku tetap utuh, tidak ada darah disana.
-end-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!