Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Selasa, 02 November 2010

Bukan Jawaban

Oleh Josephine Ruminda



Malam ini Aurum tidur sendirian, biasanya tidak. Ia biasa tidur dengan sahabatnya, malaikat maut. Nama malaikat maut itu Hydragirum, biasa ia panggil Hyd.
Malam ini Hyd ada tugaas, jarang-jarang ia pergi malam-malam. Ia malaikat tingkat bawah. Ia hanya bertugas di satu kota, pada siang hari. Tapi malam ini lain. katanya, malam ini ia mau tes untuk naik tingkat. Ia akan jadi malaikat tingkat atas, ia akan meninggalkan Aurum.
Aurum tidak terima ditinggalkan, paginya ia akan marah-marah, ia akan bilang kalau ia tidak suka kalau Hyd pergi.
*
“Pagi, Aurum,” Hyd membangunkan Aurum pagi ini.
“Pagi, kamu lulus?” Aurum langsung bertanya dengan nada datar, matanya tidak berani mengarah pada malaikat junior itu.
“Lulus. Mulai bulan depan aku bekerja penuh waktu,” Hyd duduk di sebelah aurum yang cemberut.
“Hyd, aku gak suka kamu pergi. aku maunya kamu disini. Apa kamu gak ngerasa dosa? Kamu harus bunuh orang banyak tiap hari! Kamu harus jadi pembunuh, Hyd! Apa kamu gak ngerasa?” Air matanya mulai mengalir, ia sedih, ia menangis.
“Tapi, aku harus jalanin tugas!” Hyd membelai punggung Aurum.
“Sebenernya, apa yang kamu rasain kalau cabut nyawa orang?” Aurum masih bertanya dengan nada benci.
“Aku… aku salah, aku terlalu banyak main sama manusia. Kalau aku cabut nyawa orang, aku jadi seperti pelacur. Aku tahu itu salah –walaupun bukan salah-salah amat bagiku, tapi itu tugasku! Aku harus melaksanakannya,” sekarang Hyd yang serba salah.
“Tapi pelacur dapat uang, Hyd. Kamu nggak! Apa yang kamu cari?” Aurum melepas tangan Hyd yang sedari tadi ada di punggungnya.
“Aku mengabdi, Aurum. Kamu mengabdi pada Tuhan dengan beribadah, aku dengan mencabut nyawa orang.”
“Kamu enak, kamu punya tempat yang layak bagi Tuhan, bahkan kamu tidak dosa walaupun harus membunuh. Kenapa kamu mau jadi malaikat maut?”
“Untukku, memilih itu bukan pilihan. Aku tidak pernah menyetujui jadi malaikat maut, bahkan tidak pernah tahu kenapa aku jadi malaikat maut.”
“Terus? Kamu gak protes?”
“Nggak. Protes juga bukan pilihan, tugas malaikat ya menjalankan tugas. Bukan yang lain.”
“Kalau aku rasa-rasa, kamu itu jauh ya?” Aurum membelai tangan Hyd dengan jari kelingkingnya.
“Aku disini, Aurum.”
“Tapi… kamu terlalu dekat dengan surga, seakan kamu bisa cabut nyawaku tiba-tiba tanpa sengaja. Apa itu mungkin?”
“Mungkin, karena aku masih tingkat dua, aku belum terlalu mahir jadi malaikat.”
“Oke, cabut nyawaku sekarang.”
“Lalu aku jadi iblis karena membiarkan seseorang mati bukan karena takdirnya.”
“Buat seakan-akan itu tidak sengaja. Aku tidak mau berpisah darimu.”
“Aku tidak bisa, Aurum.”
“Ya sudah! Kamu jangan pergi! tetap disini dan temani aku tiap hari!”
“Sadar, Aurum. Aurum akan larut oleh Hydragirum! Emas takkan bertahan dengan air raksa! Kamu terlalu berharga untuk larut di tanganku, kamu harus cari logam lain yang bisa bertahan denganmu tanpa larut satu sama lain. Tugasku bukan bersamamu!”
Aurum terhenyak, ia sadar, bukan seharusnya ia bersama Hyd. Itu salah, semuanya salah.
“Oke, kamu boleh pergi. tapi kapan-kapan kita pasti ketemu, waktu aku harus mati, dan aku akan puas karena dibunuh olehmu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!