Oleh: Intan Kape
Agus dengan tekun menjahit satu persatu kain yang sudah diborongnya dari bulan April lalu. Kain itu diborongnya dengan hitungan kiloan bukan per meter sebagaimana mestinya. Alasannya sederhana, kiloan jauh lebih murah walaupun kadang dijumpai cacat diantaranya.
“Gus, masih ndak kapok le? “ tanya ibunya dari ruang tamu.
Agus masih menatap yakin benang putih yang sudah susah payah dipilinnya. Berkali-kali benang itu terpeleset karena terlalu basah oleh air liurnya. “Ya ndaklah bu, pasti laku tahun ini” jawabnya yakin.
“ Sisa tahun lalu masih ibu simpan di atas kandang ayam”
“Jangan, yang kemaren sudah ndak bisa dijual bu”
Akhir tahun lalu rumahnya sempat terkena air bah. Lumpur berebut menciptakan kotor disetiap sudut rumahnya, tak ketinggalan sisa barang dagangannya. Setelah dicuci dan dijemur hingga berkali-kali warnanya tak kunjung kembali ke warna asalnya. Seolah warna itu telah menemukan jati dirinya dan enggan berganti lagi. Tapi beruntung, ayam-ayam di kandang tidak lagi berkokok panik pagi buta karena kemasukan kucing atau anjing tetangga.
Ibunya sadar, percuma berdebat dengan anak bungsunya. Tekad anaknya seperti istana pasir yang dibangun ditengah omak. Walaupun berkali-kali hancur, susah payah akan dibangunnya lagi. Mendiang suaminya adalah pedagang bendera musiman. Mungkin sifat keras kepala suaminya menurun 80 persen ke anak bungsunya. Memang, bulan Agustus dirasa sangat istimewa bagi suaminya. Selain hari kemerdekan Indonesia, anak bungsunya juga lahir dibulan yang sama tepatnya tanggal 5. Suaminya adalah seorang buruh tani biasa, tapi jiwa dan penghormatan pada bangsanya lebih tinggi dari sikap lurah yang ada di desanya.
“Aku hanya ingin meneruskan pekerjaan bapak, bu” kata Agus lirih.
Bulan Agustus tahun ini bertepatan dengan bulan suci Ramadhan. Kegiatan karnaval dan kegiatan menyambut hari kemerdekaan nyaris tidak ada. Entahlah, mungkin bangsa ini sudah lupa atau sengaja lupa. Agus hanya berusaha menyambut hari kemerdekaan dengan caranya. Berjualan bendera yang sekarang lebih banyak diminati yang berwarna-warni daripada bendera merah putih itu sendiri. Secara sadar Agus yakin keuntungan yang diperolehnya sedikit. Tapi, rasa bangga yang ada di dalam hatinya lebih besar dari semuanya. Susah dijelaskan secara lisan memang, tapi begitulah rasa memang tidak berteman baik dengan kalimat. Agus masih berharap instansi pemerintah dan sekolah sekolah memerlukan bendera baru untuk acara mereka.
“Le, gimana kalo besuk kamu jualan takjil saja? Lebih laku kayaknya” saran ibunya.
Agus tidak menjawab, hanya mampu diam dan kembali memilin benang ditangannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!