Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Sabtu, 13 Agustus 2011

Impian Opa

Oleh: Tyas We (@deboratyaswe)

Opa, begitulah aku memanggilnya. Opa adalah kakek dari garis keturunan ayahku. Jika biasanya seorang kakek cenderung lebih dekat dengan cucu laki-lakinya, berbeda dengan Opa. Opa sangat dekat denganku, padahal aku ini cucu perempuan. Kata ayah, Opa yang memberi aku nama. Sejak kecil, aku selalu bersemangat jika ayah mengajakku mengunjungi Opa. Kami memang sama-sama tinggal di Bandung, tetapi Opa tinggal di daerah pegunungan Bandung Utara yang udaranya lebih sejuk.
Tak pernah lepas dari ingatanku, setiap sore Opa selalu menghabiskan senja dengan bermain harmonika tua miliknya. Aku juga ingat, sewaktu aku kecil Opa selalu mendudukkanku diatas pangkuannya dan bercerita tentang masa mudanya. Opa bilang, Bandung tempo dulu dan sekarang jauh berbeda. Menurutnya, Bandung lama jauh lebih indah daripada saat ini. Opa juga berkata, udara di bandung tidak sedingin dahulu.
Dari sekian banyak cerita Opa ada satu yang paling aku ingat. Tentang impian Opa di masa mudanya. Opa tidak menginginkan sesuatu yang megah, menurutku impiannya sangat sederhana. Opa ingin mendaki gunung semeru dan membentangkan bendera merah putih di puncaknya. Dalam benakku aku bertanya, kenapa tidak Opa wujudkan impiannya? Aku rasa, Opa adalah seorang yang kuat. Bahkan di usianya yang sudah senja, Opa masih segar bugar. Tetapi Opa menjelaskan semuanya kepadaku. Pada tahun 1961 kala Opa masih muda, ia harus membantu kedua orang tuanya yaitu kakek dan nenek buyutku yang baru merintis usaha toko roti. Jadi, Opa sangat sibuk dan tidak bisa meninggalkan pekerjaannya di Bandung. Pertanyaanku terjawab sudah.
Kemudian Opa memberiku sebuah kotak usang, dalam kotak itu berisi sehelai bendera yang tidak kalah usang. Aku bertanya pada Opa, ‘kenapa Opa masih menyimpan ini?’ lalu Opa menjawab dengan lirih, ‘Ini bendera yang mau Opa bentangkan di Semeru..’
Aku tertegun mendengarnya.
***
Di depanku, sudah berdiri dengan gagahnya gunung Semeru. Dadaku berdebar-debar kencang, ini kali pertama aku mendaki gunung. Tidak tanggung-tanggung, aku langsung mendaki gunung tertinggi di pulau jawa. Aku bukanlah seseorang yang gemar mendaki gunung, aku malas bersusah-susah seperti itu. Orang bilang aku ini gadis manja yang terbiasa hidup enak dengan fasilitas yang diberikan orang tua. Selama ini aku selalu memilih untuk liburan ke Kuta, atau ke pantai lainnya. Tidak untuk mendaki gunung. Tidak, sampai kematian Opa tepat satu bulan yang lalu.
Opa meninggalkan aku dan keluargaku begitu mendadak. Aku sangat terpukul dengan kepergian Opa. Hari itu juga, setelah jenazah Opa dikremasi aku langsung menuju rumah Opa dan mengambil kotak usang milik Opa yang pernah Opa tunjukkan kepadaku. Saat itu juga aku berjanji pada diriku sendiri – dan pada Opa, aku akan mengibarkan bendera ini di puncak gunung Semeru. Aku akan mewujudkan impian Opa. Ya, impian Opa yang belum terwujud sampai dirinya menghadap Tuhan.
Beruntung, aku memiliki teman yang gemar mendaki gunung. Namanya Iwan. Iwan adalah teman sekelasku. Aku sudah mendengar rencananya akan mendaki gunung Semeru bulan ini. ketika aku mengutarakan niatku untuk ikut dengannya, ia kaget setengah mati. Tetapi aku berhasil meyakinkannya agar aku dapat ikut dengannya, akhirnya Iwan setuju. Iwan menempa aku dengan segudang latihan fisik dan mental sebelum pendakian dimulai. Hingga sekarang aku siap untuk melakukan pendakian.
Semeru, aku datang.
***
Perjalan panjang selama dua hari ini benar-benar menguras tenaga, tapi sama sekali tidak mengurangi semangat dan tekadku untuk sampai di puncak. Entah sudah berapa banyak lecet di telapak kakiku dan luka karena aku terjatuh. Ranu Kumbolo, Tanjakan Cinta, Kalimati, dan sekarang… aku sudah ada di Arcopodo, bersiap untuk mengibarkan bendera usang Opa di Mahameru.
“Arina, siap untuk ke puncak?” pertanyaan Iwan membuatku tersadar dari lamunanku. Aku menatapnya dan mengangguk.
“Aku siap, Wan.”
Tepat tengah malam, aku, Iwan, dan teman-temanku yang lainnya akan melakukan perjalanan menuju puncak, menuju Mahameru. Dadaku semakin berdebar-debar, rasanya seperti seorang penyanyi yang akan naik panggung pertama kali. Trek menuju puncak yang berpasir dan berbatu, membuat langkahku tersendat. Berkali-kali aku terperosot dan jatuh, bahkan aku sudah tahu bagaimana rasa pasir yang kuinjak ini. Nyaris saja aku menyerah, tetapi aku sudah sejauh ini. Akan menjadi hal yang membuat penasaran seumur hidup jika ini tidak terselesaikan.
Aku lelah, hanya itu yang aku tahu. Tepat ketika matahari mulai tampak, aku berhasil menginjakkan kakiku di Mahameru, puncak dari gunung Semeru. Aku sangat senang, hingga membuat aku menitikkan airmata. Iwan menatapku dengan tatapan haru, entah apa yang ada di dalam pikirannya. Dengan segera, aku mengeluarkan bendera usang milik Opa dari saku jaketku. Kubentangkan bendera usang itu dengan perasaan bahagia yang tak terhingga. Sekarang, bendera merah putih yang warna putihnya kusam dan menguning dimakan usia itu sudah berada di puncak gunung Semeru, sesuai dengan apa yang Opa impikan.
“Iwan, tolong fotoin aku…” pintaku pada Iwan. Tanpa buang waktu Iwan mengangguk dan mengambil potret diriku yang sedang membentangkan bendera merah putih.
Opa, walaupun fisik Opa nggak ada disini.. Arina yakin semangat Opa ada disini. Sekarang, impian Opa udah terwujud. Bendera punya Opa udah terbentang di puncak Gunung semeru. Aku berkata dalam hati dan berharap Opa mendengarnya dari atas sana. Aku menengadahkan kepalaku ke langit, dan tersenyum.
“Arina sayang Opa..” bisikku lirih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!