Oleh Gisha Prathita (@geeshaa)
kamukayakuya.tumblr.com
Ah, sumpah, sumpah. Aku sudah menyukaimu semenjak setahu yang lalu, semenjak sahabatku mengenalkanmu padaku sebagai pacarnya. Miris sebetulnya, padahal aku tahu itu cinta pada pandangan pertama yang sebelumnya kuanggap tidak mungkin terjadi pada hidupku.
“Jadi gimana donk, Sha? Indira benar-benar gak bisa dihubungin. Dia bener-bener marah sama gue kayanya. Dari tadi telepon gue gak diangkat.” Gefan memijit –mijit pelipisnya—galau—sambil terus mencoba menghubungi Indira dengan HP-nya. Ah, bahkan ekspresi cemasnya pun terlihat sangat indah di mataku!
“Ini udah tengah malam, Fan. Mungkin dia udah tidur,” aku mencoba menenangkannya.
“Ah gak mungkin, Sha. Dia besok ada deadline ngumpulin tugas pagi-pagi, dia pasti begadang hari ini.” Ia masih mencoba menghubungi sahabatku yang satu itu—untuk keseribu kalinya mungkin.
“Mungkin dia gak mau diganggu,” aku berpendapat lagi.
“Ya tapi gue kan Cuma—..”
“Atau mungkin dia ngerjain tugas di ruang tamu dan HP-nya ditinggal di kamar dengan mode silent.” Potongku. Kenapa sih dia begitu khawatir pada indira? Halo, Indira itu sudah kuliah tingkat II dan seyogyanya dia bisa jaga diri walaupun tidak bisa dihubungi.
Gefan menatapku dengan sengsara. “Dia beneran marah kayanya, Sha. Sumpah, gue gak mau ini terjadi. Gue gak mau nyakitin Indira lagi.”
Aku mengangkat bahu, “Ya wajar. Lo gak pernah nurut apa kata dia, mungkin ini keseribu kalinya lo nyakitin dia. Dengan alasan yang sama.”
Aku tersenyum miris, kasihan sahabatku, mendapatkan pacar seperti Gefan—…
“Iya, tapi masalahnya, gue pikir lebih baik gue ceritain yang sebenernya kan? Daripada gue bohong sama dia terus… dan nyakitin dia terus? Dengan gini, gue plong, dan dia juga bisa tahu apa yang sebenernya terjadi.” Gefan masih ngotot setengah mati.
“Ini kan lebih baik, menurut lo, Fan. Bukan berarti keputusan yang terbaik, dengan nyeritain semuanya, yang sebenarnya.” Aku menimpalinya. Aku melihat ke arah sekeliling, berpikir juga kenapa aku bisa ada di kamar ini. Di kamar kost Gefan, demi membuatnya lebih tenang akibat masalahnya dengan Indira. Padahal aku kan menyukainya!
“Gue nyerah, Sha. Mungkin sebaiknya lo yang menelepon dia. Mungkin kalo lo yang telepon dia, dia mau angkat teleponnya.” Gefan menyerahkan HP-nya ke arahku.”Pake pulsa gue aja!” Aku mengernyitkan keningku. Orang ini agak aneh ya? Kalau aku menelepon Indira dengan nomornya ya apa bedanya aku atau dia yang menelepon? Memangnya dia cenayang?
“Ya mesti pake pulsa gue lah!” aku tertawa. Gefan memang suka kikuk saat panik. Inilah yang membuatnya semakin menyukainya meskipun ia pacar sahabatku!
Akhirnya aku menelepon Indira dengan HP-ku. Beberapa lama, benar saja, telepn diangkat.
“Halo, Dir? Lo dimana?”
“Gue di kamar, Sha…” ia menjawab dengan tangisan yang tersisa.
“Tenangin diri lo, Dir.. lo masih marah sama Gefan soal tadi siang?” aku bertanya dengan pelan. Kahawatir semakin membuat hatinya terluka akibat pengakuan Gefan tadi siang.
“Gue masih marah banget, Sha! Dia bilang ada orang lain! Dia bilang dia sekarang sayang pada orang lain! Dan dia bilang gitu karena gak mau bohongin gue lagi! tapi apa maksudnya semua itu, Sha?! Gue bener-bener kecewaaa…” ada nada amarah di sela tangisnya. Aku merasa harus berempati… perasaannya pasti sangat terluka saat ini. Kasihan sahabatku, mendapatkan pacar seperti Gefan—…
Gefan tiba-tiba berjalan mondar-madir karena gusar di sekeliling kamar, tanpa disengaja ia menabrak meja kecil di sudut ruangan dan hampir mengaduh, aku kaget, dan spontan mengisyaratkan dia diam dengan menempelkan telunjukku di bibir. Gefan yang clumsy! Tak pernah berubah!
“Ya udahlah, Dir. Cowok kaya gitu jangan lo pikirin lagi! seenggaknya dia udah jujur, daripada lo terus disakiti, dibohongin. Sekarang—mending lo istirahat. tugas lo udah beres kan?” tanyaku.
“i-iya sih. Ah, Tuhaaan, terimakasih telah menunjukkan kebrengsekan Gefan sebelum ia menjadi suamiku.” Suara Indira masih bergetar. “Tugas gue… udah beres sih, jadi kayanya mendingan gue tidru sekarang.”
“Iya, tidur sekarang, jagan lupa pakai cream mata ya, Dir. Supaya besok mata lo gak kaya ikan koki karena habis nangis. Hehehe.” Aku mencoba bercanda supaya ia sedikit lebih tenang. Ia kemudian tertawa kecil—tuh, kan, aku berhasil.
“Makasih ya, Sha. Lo udah ngebela-belain telepon gue tengah malem begini. Guetidur dulu ya. Met malem, Sha.”
“Iya, Dir. Selamat tidur ya saaay. Good night.”
Sambungan telepon ditutup. Aku menatap Gefan, dan Gefan menatapku. Aku lalu menghela napas panjang sambil tersenyum ke arahnya, dengan isyarat tenang-gue-udah-berhasil-nenangin-dia. Ia tersenyum ke arahku.
“Gue bener-bener cowok jahat, ya, Sha?” tanyanya ke arahku. Aku mengangkat bahu sekali lagi. lalu tersenyum.
“Tergantung,” jawabku. “Lo lebih jahat lagi kalau gak jujur sama perasaan lo sendiri—…” aku merapikan rambutnya yang sedikit berantakan karena frustasinya barusan. “..terhadap gue.”
Gefan tersenyum, kemudian ia mengecup keningku. “Tidur gih, biar gue tidurnya ngungsi ke kamar Igo. Selamat malam, Sha.” Aku tersenyum, memperhatikannya beranjak keluar kamar kost-nya.
Kasihan sahabatku, mendapatkan pacar seperti Gefan—dan sahabat sepertiku!
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!