oleh: @rofianisa
“Pulang malam itu dosa, pulang malam itu dosa, pulang malam itu dosa....”
Benakku mengulang kata itu berkali-kali, mencoba menanamnya dalam-dalam di alam bawah sadar. Di depanku sebuah cermin memantulkan bayangan seorang perempuan muda yang sedang mencari jati diri. Sambil menghapus make up yang semalaman menempel di wajah tirusnya perempuan itu menatapku kosong. Matanya dengan tajam bertanya, “Benarkah pulang malam itu dosa? Kata siapa?”
Aku melempar kapas penghapus make up ke tempat sampah di pojok kamar lalu beranjak keluar, mengambil air wudhu. Kulihat ayah sedang menekuni solat malamnya, sementara aku baru saja bergegas mengejar isya.
*
“Dari mana kamu tadi, Nina?” ayah memecah kesunyian jam dua malam di musola ruang keluarga kami. Di tangannya masih tergenggam tasbih.
“Kafe, Yah. Ada temen kantor yang baru naik jabatan, jadi dia traktir makan malam,” jawabku sekenanya, sambil fokus melipat mukena. Aku sudah tahu obrolan ini akan mengarah ke mana.
“Makan malam kan jam delapan selesai, Nin. Jam 1 itu waktunya pegawai kafe ngitung uang. Apa kata tetangga kalo tau kamu pulang malam?”
Sedang apa tetangga belum tidur jam 1? Kita semua punya urusan masing-masing kan? Why can’t we mind our own business?
Argumen itu menggantung di ujung lidahku, tak sanggup terlontar, tak sanggup aku membangunkan seisi rumah dengan bentakan Ayah yang membahana. Maka aku membisu, menyusun rapi mukenaku dalam lemari di sudut ruang, lalu menggantung percakapan kami dalam diam.
“Selamat malam, Ayah.”
*
“Pulang malam itu dosa, pulang malam itu dosa, pulang malam itu dosa....”
“Nin, tar malem jadi ikut gak? Anak-anak rame kayaknya pada mau ke sana.”
Another private party, another excuse to ask to my daddy. ...whatever. My body is mine.
“Hmm. Kali deh nggak! Hehe. Oke ketemu di sana yaa,” aku menghela nafas, mebayangkan reaksi ayah kali ini.
*
“Siapa lagi yang naik jabatan, Nina? Tradisi dari mana itu, boleh keluyuran malam gak ada juntrungan kalo lagi senang. Gak punya agama, teman-teman kamu?” jam tiga pagi, ayah mececarku dengan sebaris kata-kata tajam.
Kali ini batinku tidak bisa diam.
“Nina udah dewasa, Ayah. Nina tahu mana yang benar dan yang salah. Menurut Nina gak ada yang salah dengan pulang larut malam. Nina gak minum-minum! Nina gak bergaul sembarangan! Nina cuma mau tetep berada dalam lingkaran, Ayah. Ini hidup Nina, ini badan Nina! Udah saatnya Ayah percaya Nina bisa nentuin jalan hidup Nina sendiri!” thanks to sinetron scriptwriter, I’ve learned the drama a lot from them.
Di hadapanku muka ayah merah padam. Beberapa kali istighfar keluar dari mulutnya.
Kenapa ayah gak nampar aku? Akan lebih mudah bagiku menerima amarahnya, daripada menyaksikan dirinya terdiam seribu bahasa.
Tiba-tiba aku merasa nista. Aku sudah bukan lagi anak ayah. Aku merasa tak pantas bernaung di bawah atapnya.
“Nina... Nina mau pergi dari rumah.”
Dan ayah tetap diam di tempatnya. Aku meyakininya sebagai jawaban “ya”.
*
Sebelum fajar menyingsing, aku sudah siap dengan koper dan tas-tasku. Sepertinya ini kali terakhir aku mengucapkan kata-kata yang dua dekade ini selalu menutup malam kami. Tak kuingat ada jeda malam dimana tak kuucapkan sebaris kata sederhana yang diajarkan ayah sejak lama. Ajaran-ajarannya yang masih aku laksanakan tanpa banyak tanya. Ini kali terakhir aku menutup sapa untuknya.
“Selamat malam, Ayah.”
*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!