Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Rabu, 05 Januari 2011

Selamat Tidur, Ayah

oleh Septy Aprilliandary (@aprsept)

‘Selamat tidur, Nak. Jangan lupa berdoa ya.’
Andai saja kata-kata itu diterimanya sejak dulu, mungkin Hefa tidak akan pernah mimpi buruk. Tapi kini, di usianya yang tujuh belas tahun? Cih, apa gunanya, batin Hefa. Diambilnya baterai handphone lalu dilemparnya ke sudut kamar. Menonaktifkan handphone akan membuat tidurnya lebih nyenyak malam ini.
Sudah seminggu pesan selamat malam selalu terkirim ke nomor Hefa. Beberapa kali disertai panggilan telepon yang tak pernah dijawabnya. Cukup tahu siapa si penelepon sudah membuat Hefa muak, apalagi mendengar suaranya.
“Dia hanya ingin menebus kesalahannya, Nduk.”
“Ibu terlalu baik, apa Ibu lupa apa saja yang sudah dia lakukan ke kita? Berapa tahun dia pergi, Bu? Inget kita, nggak? Sekarang tiba-tiba muncul dengan sms sok perhatian. Hefa nggak butuh, Bu, pahlawan kesiangan seperti itu.”
Benar, tujuh belas tahun lalu, ayah Hefa pergi, tanpa pesan, tanpa kabar. Selama itu pula Hefa menantikan ucapan selamat tidur dari sosok ayah yang tak pernah dilihatnya. Hefa selalu tidur sendiri, sebab Ibu hampir setiap hari pulang larut malam dari kantor. Membanting tulang untuk mereka berdua, semenjak ayah pergi. Entah sudah berapa kalimat doa yang diucapkan Hefa kepada Tuhan agar membawa kembali ayahnya yang pergi. Beribu janji polos masa kanak-kanak telah dibuatnya.
“Hefa bakalan rajin sikat gigi, deh Bu, asal ayah mau nemenin Hefa tidur”
“Ibu, nilai Hefa A semua nih, Ayah pasti dateng kan, Bu? Kan Ayah mau dateng kalo nilai Hefa bagus.”
Pada akhirnya Hefa lelah dengan semua angan kosong. Dimatikan hatinya, ditulikan telinganya, tak mau lagi ia menipu mata dengan melihat pintu kamar sebelum tidur, bahwa ayahnya disana, meniupkan ciuman selamat tidur untuknya. Berapa kali purnama dilewatkannya dengan naik ke atap rumah dan melihat ke langit luas. ‘Dimanakah Ayah?’ adalah pertanyaan klasik di otak Hefa.
Hefa ingin ayahnya tahu, bagaimana sakitnya diabaikan selama bertahun-tahun. Bukan dendam, Ibu tidak mengajarkannya untuk mendendam. Hanya egonya yang berteriak minta keadilan. Ayahnya boleh seenaknya meninggalkan Hefa dan Ibu tanpa kabar sama sekali. Tujuh belas tahun, apapun bisa terjadi pada mereka berdua dan ayahnya tak tahu apa-apa. Tapi, Hefa menekankan dalam hati, Ayah harus tahu, tidak semudah itu kembali kepada sesuatu yang pernah kau tinggalkan.
‘Selamat tidur, Ayah.’

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!