Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Kamis, 27 Januari 2011

Di Ujung Tanduk

Oleh: Rheza Aditya (@gravelfrobisher)

Aku menelan ludah.
Dengan debar yang masih mendentum-dentum di dadaku, aku mengangkat tangan kananku, membiarkannya menyentuh pucuk rambutku yang pastinya basah oleh peluh. Kakiku gemetar, dan nafasku memburu.
Aku yakin orang akan menganggapku seperti orang gila sekarang. Mataku terbelalak, dan jarang sekali mengedip bahkan untuk mengusir rasa sakit yang merayap dan meraung-raung saat bola mataku kering.
Rasa cemasku bagaikan menduplikasi diri, bertambah banyak dan menumpuk seiring dengan berjalannya sang waktu.
Aku merasa galau.
Takut.
Dan cemas.
Aku memejamkan mataku, cukup lama hingga pedasnya rintihan kedua bola mataku melebur menjadi satu dengan kegelapan yang meninggalkan bercak-bercak cahaya dibalik selimut yang kusebut kelopak mata.
Ketika kubuka kembali lembaran kulit yang menutupi kedua bola penglihatanku itu, aku kembali merasakan sensasi mencekam itu. Sekujur tubuhku bagaikan tersapu oleh angin dingin yang membuat bulu kuduk meremang berkali-kali. Aku juga yakin aliran darahku sudah tidak lancar, mengingat sedari tadi aku berdiri dengan kedua kaki yang gemetar.
Suara desisan tertahan lolos dari sela-sela bibirku, yang tanpa sadar kulakukan berkali-kali seolah aku baru saja menggigit cabai. Peluh yang meluncur jatuh dan terselip diantara katupan gigi dan lidahku membuatku mengecap rasa asin, jadi cepat-cepat kuseka keringatku yang sudah mengucur dengan deras tersebut.
Apakah masih lama?
Tidak sabar, kuraih benda apapun yang dapat kujangkau.
Sebuah gantungan kunci yang belum sempat kugunakan. Tapi itu sudah sangat cukup untuk melerai rasa mencekam yang sedari tadi menghantui diriku. Setidaknya, dengan menggenggam benda tersebut erat-erat, meremasnya dan memainkannya diantara sela-sela jemariku yang kurus aku bisa bernafas dengan sedikit lebih tenang.
Tenang. Aku sudah mengalami ini berkali-kali dalam hidupku. Tarik nafas, hembuskan perlahan. Tenangkan pikiran, biarkan kesunyian menjawab semua kegelisahan yang mempermainkan kondisi hati. Lepaskan semua fokus, dan bayangkanlah hal-hal yang menarik dan beragam.
Oke, usahaku barusan gagal. LAGI.
Aku menghentak-hentakan kaki ke lantai, lalu berjalan-jalan dalam pola yang konstan; berputar-putar didalam lintasan berupa lingkaran yang semakin melebar setiap kali aku mengelilinginya, menjadikannya bukti konkret betapa paniknya diriku sekarang.
Genggaman tanganku terhadap si gantungan kunci terlepas karena keringat yang melumasi telapak tanganku. Otomatis benda mungil itu meluncur dan terjatuh di lantai, menimbulkan suara dentingan pelan karena bendanya yang terbuat dari besi.
Aku menarik nafas dalam-dalam. Namun kali ini aku sadar bahwa aku sudah mencapai batas.
Bergegas, aku mengetuk pintu yang ada di hadapanku, sebuah sekat pemisah yang rasanya ingin kudobrak saja sedari tadi.
“Ayah…toiletnya sudah belum? Aku udah kebelet nih…”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!