Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Kamis, 27 Januari 2011

Menunggu

Oleh: @rezasyam

Gerimis basahi sore-sepulang-kantor yang muram ini. Ia unik; mampu datang di momen yang tepat. Mampu hiasi bumi ketika kian banyak tangan kotori jubahnya. Aku selalu ingat gerimis sebagai penutup gelisah. Kali ini, ia sandingkan aku denganmu. Iya, dengan kamu.
***
Kita bisa menghabiskan semalam, sepekan, atau sebulan penuh dengan terdiam. Mencari kata yang tepat untuk diucap. Menelisik topik menarik untuk disingkap. Atau sekedar melontar joke untuk hadirkan tawa renyah membahana. Tapi pertemuan privat kita ini pun ternyata sebuah kemewahan. Sebab, meski telah sekian lama berada di bawah atap sekolah yang sama, dua kali kehadiranmu di depanku selalu tersambung bisikan rumus matematika dari kawan sebangkumu. Senyum tertundukmu yang malu-malu selalu disambut rapalan produk glikolisis sahabatmu.
Maka, aku selalu bilang pada diriku sendiri—iya, hanya sebatas kata-kata—untuk segera singkirkan hasrat hadirkan kata penuh wibawa. Sebab, mencari kata yang selalu memikat barangkali adalah salah satu sarana terbaik untuk sia-siakan hidup kita. Kita—kamu, aku, dan mereka yang mengaku penyair itu—tak akan dapat menemukannya.
Kamu dan aku bukan perangkai kata yang indah. Barangkali kamu tahu itu. Maka kamu mafhum dan tetap perhatikan pesanku bahkan saat yang kulakukan di depanmu hanya ucapkan sekumpulan gumam tak jelas. Bahkan saat yang kulakukan di depanmu hanya menggaruk-garuk kepalaku yang tak gatal. Kamu perhatikan cermat kalimatku, menunggu; sambil luruskan kata-kata yang mengalir dari lidahku yang tiba-tiba kelu.
Iya, mungkin kamu masih ingat, riwayat obrolan kita hanya sebatas itu.
Tapi sebaris pesan mengejutkan datang. Ketika kita berdua tahu bahwa kita nyaris tak pernah saling bicara, kamu putuskan untuk daraskan janji dalam agendamu: bertemu denganku. Secara pribadi..
***
Ketika ingatanku terbang padamu, satu kata yang perlu diucap, mungkin: hormat—aku tak berani tuliskan kata “cinta”. Aku menghargaimu sebab kedewasaanmu. Sebab kata-katamu di depan kelas dahulu yang selalu kukenang, “Aku menghargai mereka yang memenuhi janji pada waktunya. Mereka tunjukkan cinta, bukan hanya komitmen atau pemenuhan kata yang datang tergesa. Mereka hadirkan rasa nyaman, bukan lagi tuntutan yang seringnya melelahkan.
Tapi kini kamu habiskan waktuku hanya untuk menunggumu—bukan lagi untuk merangkai kata penuh pesona. Bergelas-gelas cappuccino, nyaris-delapan-bab Taiko, dan dentang jam yang menggantung di dinding-bata-merah itu adalah satuan waktu yang menunjukkan lama aku ada di situ. Berulang kali kubuka sebaris pesan singkatmu di ponselku, “Maaf, ada yang perlu kusampaikan padamu. Penting. Bisa kita bertemu di Coffee1, jam setengah 2?”
Aku gugup. Itu pesan singkat pertamamu—dan mungkin juga yang terakhir—yang hinggap di ponselku. Tanganku gemetar saat kuketik jawaban buatmu, “Ya. Aku akan datang jam 1. Sendirian?” Buru-buru kutambahkan kata terakhir untuk menata hati.
“Terima kasih. Aku akan datang bersama ayahku,” jawabmu singkat
Ya, habislah sudah. Aku tak bisa lagi menunggu terlalu lama. Entah kenapa, kian hari aku kian tak sabar pada dunia. Mungkin karena dunia makin sesak oleh cecunguk yang kebanjiran hipokrisi di mulutnya—atau mungkin juga karena hal lain. Maka, setelah pesan singkat yang tak kunjung dijawab itu kukirimkan, kutinggalkan kafe depan kampus itu di tengah gerimis yang menderas.
***
Setengah jam berlalu, ponselku berdering. Sebuah pesan masuk.
“Hanya waktu. Apa yang kuminta terlalu banyak?”
“Mungkin, aku mungkin salah yang ingin jadi sepertimu. Aku terlalu menganggap waktu itu penting.”
“Jangan konyol. Kubawa serta ayahku kemari, kamu pikir untuk apa?”
“Tak tahu. Sudahlah..”
“Sudah? Maksudmu?”
“Toh kau sendiri yang ajariku untuk membenci mereka yang tak tunjukkan cinta. Untuk selalu waspadai mereka yang tak buktikan kata-katanya.”
“Tapi kan hanya waktu..”
“Ironis ya.
Kututup pembicaraan. Kini benci begitu mudah menyelinap. Apa ini karena emosiku telah dominan dengannya—dengan benci?
Aku segera mengusir rasa bersalah—atau apa pun itu namanya—dengan berapologi: bukankah kamu yang membuatku lama menunggu? Lagipula, seandainya kita bertemu, aku selalu tak tahu apa yang harus kukatakan padamu.
***
Setelah enam tahun janji yang tak terlaksana itu, saat ini, di halte bis di bilangan Sudirman ini, kita masih seperti dahulu. Tetap terdiam sambil duduk dan saling menunggu. Kamu mungkin mengharapkan salam dan sapaku—menghangatkan diri dari gerimis yang seperti tak kunjung usai ini, mungkin juga sedang cemas menanti bus yang tak kunjung muncul untuk jurusanmu. Tapi satu yang baru saja kusadari: kita telah—dan sedang—menunggu untuk sesuatu yang benar-benar berbeda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!