Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Kamis, 27 Januari 2011

Di Sudut Stasiun

Oleh Dilla D. P. (@dilladp)

Aku berlari sekuat tenaga menerobos kerumunan orang di depanku, mencari jalan untuk bisa cepat sampai di stasiun. Kereta Ekonomi AC terakhir menuju Bogor sore ini pukul 15.43 dan baru akan ada lagi dua jam setengah ke depan. Aku tak akan mau membuang waktuku selama itu untuk bisa sampai di rumah, maka aku mengerahkan tenaga untuk berlari menuju stasiun dan mengejar kereta sore ini.
            “Mas, Eko AC Bogor satu!” dengan setengah ngos-ngosan aku menyerahkan selembar uang sepuluh ribuan pada mas-mas penjual karcis.
            “Maaf Mbak, lagi ada gangguan. Kereta AC berikutnya baru akan ada pukul setengah tujuh,” kata mas-mas penjual karcis dari balik loket yang seketika membuat kakiku lemas. Dengan langkah gontai, aku keluar dari antrean dengan selembar karcis kereta Ekonomi. Mau bagaimana lagi, masa iya aku harus menunggu dua setengah jam untuk naik kereta? Belum lagi setibanya di Stasiun Bogor aku masih harus menyambung naik angkot dua kali untuk sampai di rumah. Dengan setengah hati, aku berjalan menuju peron 1 untuk menunggu kedatangan kereta, meskipun rangkaiannya masih berada di Stasiun Jakarta Kota.
            Aku duduk termangu di bangku stasiun seorang diri. Tidak banyak hal yang bisa kulakukan di sini selain menunggu, duduk, dan bengong. Jujur, aku sangat membenci kegiatan ini. Waktu yang kupunya seharusnya bisa kulakukan untuk melakukan hal berguna lainnya, tetapi, yah.. hanya ini yang bisa kulakukan saat ini. Tidak lebih.
Ada sesosok ibu betubuh gemuk sambil menggandeng anaknya yang masih berusia PAUD lewat di hadapanku. Ia membawa plastik belanjaan yang cukup berat, ditambah lagi anaknya rewel merengek ingin dibelikan es krim sepertinya membuat ibu itu cukup kewalahan. Ia celingukan di sekitar stasiun sepertinya mencari sebuah tempat untuk istirahat.
            Aku melihat sekitar, bangku di sepanjang peron ini sudah penuh. Akhirnya aku bangkit berdiri, menghampiri ibu tersebut, dan menawarkannya untuk duduk di bangku yang tadi aku tempati. Ibu tersebut tersenyum sambil menyapu peluh di dahinya, tanda ia sangat bersyukur akhirnya mendapatkan tempat duduk.
            Tapi.. akhirnya kini aku yang harus berdiri. Tak apalah. Entah mengapa, saat sudah melakukan sesuatu hal pada orang lain meskipun hal tersebut sepele, aku merasa seolah ada perasaan membucah pada hati ini. Aku tersenyum simpul, teringat bahwa dulu aku pernah mengalami kejadian yang sama seperti ini belasan tahun lalu.
            Dulu, aku dan mama juga pernah seperti mereka. Kala itu aku masih berusia sekolah dasar, dan sehabis pulang sekolah mama mengajakku untuk jalan-jalan ke Tanah Abang untuk membeli baju lebaran. Saking bersemangatnya, aku dan mama memborong segala sesuatu yang ada di sana. Bukan hanya baju, tapi juga kerudung, mainan, makanan untuk berbuka puasa, dan segala macam hal sampai hal yang gak penting. Akibatnya, mama kewalahan menenteng kantong belanjaan sepulang dari sana, apalagi waktu itu papa gak bisa jemput karena masih ada kerjaan. Aku merengek kelelahan, lapar, dan ingin cepat sampai di rumah, sementara mama dengan wajah lelahnya tetap tersenyum menenangkanku meskipun aku baru menyadari bahwa mama pasti lebih capek dibanding aku.
            Saat itulah ada sesosok remaja seusiaku sekarang yang tiba-tiba menghampiri kami dan mempersilakan kami duduk di tempat yang tadi ia duduki. Aku girang bukan main, meninggalkan mama dengan kantung belanjaannya, dan tanpa perasaan langsung duduk di bangku tersebut.
            Ah, betapa indahnya kala itu. Masa kecil yang penuh kepolosan dan tanpa beban, dan juga masa kecil yang indah terukir bersama mama. Aku menerawang sejenak, menengadahkan kepala ke langit, mencari sosoknya di sana. Aku merindukanmu, Ma, aku bergumam dalam hati. Sepuluh tahun sudah berlalu semenjak kepergian mama, dan tak ada satu hal pun yang bisa menyembuhkan luka ini sampai kapanpun. Juga, tak ada seorang pun yang mampu menggantikan posisinya, baik dalam hati maupun dalam hidupku.
            Aku menepuk pipiku sendiri, mengajak diriku untuk sadar agar tidak terlalu jauh berkhayal. Tuhan, tolong sampaikan pada mama, di manapun ia berada, aku akan baik-baik saja..
            “Mbak, uangnya, Mbak,” tutur seseorang memecah lamunanku. Aku memerhatikan, ternyata suara tersebut berasal dari seorang kakek yang menyodorkan kantong bekas permen ke arahku. Tubuhnya kucel, pakaiannya lusuh, dan yang lebih membuatku miris, kakek itu berjalan dengan menyeret tubuhnya karena kakinya tidak dapat berfungsi dengan baik.
            “Uangnya Mbak, saya belum makan..” katanya lagi.
Aku berpikir sejenak, kemudian tanpa peduli dengan pandangan orang di sekitar, aku berjongkok, menyetarakan tinggi badanku dengan kakek tersebut. “Kakek belum makan? Saya beliin ya?” kataku sambil tersenyum. Kakek tersebut sedikit terkejut mendengar tawaranku, dan tanpa persetujuannya aku menghampiri warung nasi padang yang terletak tidak jauh dari tempatku. Aku membelikan kakek itu nasi, telur, dan sepotong ayam untuk dibungkus.
Setelah membayar, aku pun kembali ke tempat semula di mana kakek tersebut masih menungguku dengan pandangan heran. Mungkin baru kali ini selama mengemis ia diberikan makanan langsung, bukan berupa uang.
“Ini Kek, semoga kakek kenyang ya,” kataku sambil menyodorkan sebungkus nasi dan sebotol air minum.
Kakek tersebut menerimanya masih dengan mimik heran, tetapi sejurus kemudian ia pun tersenyum. “Makasih Mbak, makasih banyak! Semoga Allah membalas semua kebaikan Mbak dan melipatgandakan pahala Mbak. Makasih!” katanya sambil menggebu-gebu, kulihat ada setitik kristal terukir di sudut matanya, tanda ia terharu.
“Sama-sama, Pak,” balasku singkat. Kakek tersebut pun berlalu dan melanjutkan perjalanannya, meninggalkanku dengan perasaan campur aduk.
Ya Tuhan, betapa aku haru sangat bersyukur atas segala kecukupan yang telah aku dapatkan hingga kini. Hingga aku tidak perlu hidup dari meminta-minta, tidak perlu hidup dari belas kasihan orang lain, dan aku menyadari bahwa betapa aku masih sering merasa kurang, padahal orang lain di sana hidup dari mengais sampah. Semoga kakek itu senantiasa dilindungi oleh Tuhan dan ditambahkan rezekinya, amin.
BRUKK!!
Sesosok wanita menabrakku hingga membuatku limbung, aku mencari pegangan agar tidak sampai jatuh. Ternyata yang menabrakku adalah seorang mbak-mbak kantoran dengan make-up tebal dan pakaian ala sekretaris, menggunakan kemeja dan rok mini. Ia sedang asyik dengan handphone-nya saat sedang berjalan di pinggir stasiun hingga ia menabrakku.
“Aduh, hati-hati dong, Mbak,” kataku setengah jengkel sambil menepuk-nepuk bajuku yang kotor terkena debu.
“Maaf, maaf, saya nggak sengaja,” balasnya dengan nada menyesal. “hah, ELO?” lanjutnya, setelah beberapa saat melihatku dengan mimik setengah tak percaya.
“ARINI?” tanyaku, sama tak percayanya dengan apa yang baru saja kulihat.
“Iya, ini gue! Lo Manda kan?” tanyanya antusias.
Tak percaya rasanya, aku hampir melonjak kegirangan dapat bertemu kembali dengan Arini, sahabatku ketika kami sama-sama masih duduk di bangku SMP. Sayang, sehabis lulus dari SMP, Arini harus pindah ke luar negeri mengikuti ayahnya yang bekerja di KBRI. Setelah hampir lima tahun kini tak bertemu, kami malah dipertemukan kembali pada saat yang tak terduga, dengan diri kami masing-masing yang telah jauh berbeda dengan diri kami yang dulu.
Arini masih sama cantiknya seperti Arini yang dulu, tetapi kini ia sudah jago berdandan sehingga make up di wajahnya justru malah membuatnya terlihat seperti mbak-mbak umur dua puluh tahun menengah. Namun, bagaimanapun juga, aku melihatnya tetap Arini yang sama seperti dirinya lima tahun yang lalu.
“Lo sekarang kuliah di sini, Man?” tanyanya.
Aku tersadar dari lamunanku, masih sulit memercayai bahwa kini aku bertemu lagi dengan sahabatku. “Iya Rin, lo sendiri?”
“Habis lulus SMA di luar gue langsung kerja part-time setahun, dan sekarang sepulangnya gue ke sini pun gue dapet tawaran untuk kerja di perusahaan temen bokap gue,” jawabnya.
“Terus lo kapan pulang ke sini? Jahat banget gak pernah ngabarin gue,” tuturku dengan nada kecewa.
“Baru enam bulan yang lalu, Man. Gue tadinya mau ngehubungin elo, taunya lo ganti nomer, dan gak ada satupun temen se-SMP kita yang tau nomer baru lo. Sepulangnya ke sini, niatnya gue mau ngelanjutin kuliah yang sempet tertunda setahun, tapi ternyata gue dapet tawaran untuk kerja. Kalau dipikir-pikir, lebih enak begini Man, gue ngerasa jadi lebih mandiri dengan kerja sendiri. Meskipun bokap gue bukan berasal dari kalangan ekonomi bawah, tapi dengan hidup seperti ini gue sadar bahwa ternyata nyari uang itu gak gampang. Gue baru sadar ternyata membiayai diri sendiri aja sulit, apalagi nanti kalau gue udah berkeluarga. Sekarang juga gue lagi berusaha untuk nabung, dan semoga tahun depan gue bisa kuliah dengan biaya gue sendiri,” ia bercerita dengan panjang lebar. Tak kusangka bahwa Arini yang ada di hadapanku kini sudah berubah menjadi Arini yang pemikirannya sudah jauh lebih dewasa, sama sekali berbeda dengan Arini yang manja yang kukenal dulu.
Sebenarnya aku tahu bahwa ia berasal dari keluarga yang cukup terpandang, dan aku tahu Arini menyadari hal itu. Dulu, itu yang menyebabkan ia menjadi manja dan sangat bergantung pada kedua orang tuanya. Tak kusangka lima tahun dapat mengubah seseorang menjadi sangat berbeda.
“Oh iya, lo kuliah di jurusan apa, Man?” tanyanya.
“Psikologi, Rin, “ jawabku.
“Astaga, astaga,” tuturnya. “Mungkin emang ini yang dinamakan takdir ya, Man. Kebetulan perusahaan gue lagi butuh banget seorang part-timer di bagian HRD, dan kalau lo berminat, dengan senang hati,” lanjutnya seraya mengeluarkan sebuah kartu nama dari balik dompetnya. Aku menyambutnya dengan mulut menganga, tak menduga akan mendapat kejutan seperti ini.
“Lo tahu aja gue lagi butuh sambilan, Rin. Makasih banget ya, akan gue pertimbangin,” jawabku, mencoba menguasai diri akan segala kejutan ini.
“Sip, nanti lo hubungi gue aja. Nomer gue sama nomer kantor semuanya tercantum kok di situ,” katanya lagi. “Eh, udah dulu ya! Gue lupa kalau masih ada janji sore ini. See ya next time ya, Man,” tutupnya dengan sebuah cipika-cipiki pada kedua pipiku.
Aku tersenyum sambil memerhatikannya berlalu dari pandanganku. Semua kejadian yang terjadi di sudut stasiun ini sungguh benar-benar membuatku ‘melek’ akan sebuah kehidupan. Hanya dengan berdiri di sini, aku bisa melihat berbagai macam orang berlalu-lalang dengan masing-masing kehidupannya, namun terkadang orang asing seperti mereka justru lebih banyak mengajari kita bagaimana hidup yang sesungguhnya itu. Mereka bisa mengembalikanku pada kenangan lama, mempertemukanku dengan sahabatku, juga mengajariku arti sebuah keikhlasan. Sungguh, hidup berjalan sangat rapi sesuai dengan skenario yang telah dirancang-Nya.
Kereta Ekonomi tujuan Bogor saat ini memasuki stasiun Universitas Indonesia. Bagi penumpang yang ingin naik, harap menunggu di peron satu. Hati-hati, jangan nyebrang dulu,” sebuah pengumuman menandakan bahwa kereta akan segera tiba. Aku melirik arloji, ternyata sudah satu jam berlalu dan tak sedikitpun aku merasakannya. Baru kali ini, menunggu kereta terasa sungguh sangat menyenangkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!