Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Senin, 11 Oktober 2010

Hanyut dalam Permainan

Oleh Petjinta Kajoemanis
http://cinnamome37.blogspot.com/2010/03/hanyut-dalam-permainan.html


Debu-debu yang tak terlihat itu membentuk jutaan rambu dengan berbagai bentuk di kiri kanan atas bawah.  Mereka mulai berkonspirasi dengan alam, yang bernyawa dan tidak. Aku hanya merasakan ada yang tenggelam perlahan tak terasa. Tiba-tiba sudah menghanyut mengikuti riak air ke samudra tanya.

Di mana kah kita, aku bertanya. Apa yang terjadi? Kalau aku dalam buai mimpi, bangunkan aku. Bawa aku dalam nyata saja, karena buruknya hanyut dalam nyata masih lebih baik daripada hanyut dalam mimpi. Jangan putar aku berpusing-pusing, hingga tak sadarkan dimana kaki berpijak. 

Kalau bukan mimpi, kenapa kepalaku berat?

Bukan. Bukan riuh ribut lalu lalang memenuhi jalan. Mobil. Manusia. Kepalaku berat karena ribuan bayang dan kenangan berlari dan berdesak-desakkan di dalam, seperti puluhan penumpang mikrolet yang berebut sepetak tapak. 

Hingga tiba-tiba kita berada di halaman luas dan bermain. Sejauh mata memandang masih tak terlihat ada pagar di tepian. 

Petak umpet. Di tengah beratnya kepala masih sempat kau ajak aku bermain-main. Usia kita tidak sama dengan perempuan kecil berkepang dua yang sering meluncur di papan perosotan. Walaupun bukan raga kita yang bermain, rasa kita yang saling bersembunyi dan saling mencari. Jangankan bersembunyi dariku, mungkin kamu tak sadar tengah bersembunyi dari hatimu sendiri yang tengah meronta.

Ketika tiba giliran aku mencari, kamu hanya tersenyum di ujung sana. Senyummu puas, seakan menikmati kebingunganku mengendus-ngendus keberadaanmu. Menikmati aku yang berjalan hanya menggunakan hati entah ke mana arahnya. 

Setelah senyum itu, apa lagi yang kau inginkan?

...

Bercak-bercak memori yang tertinggal di dinding, meninggalkan jejak suka kita. Entah berapa lama mereka akan menggantung. Atau akan hilang terhapus dengan bercak baru. Yang jelas bukan bercak darah dan air mata. Kita tidak memulainya dari situ kan? Dan sampai kapanpun aku tidak menginginkan bercak mereka menghiasi dinding kita. 

Lalu terdengar bisikan-bisikan halus nyaris tak terdengar. Kata-kata pertanda keluar satu per satu. Tidak dari mulutmu. Dari tulisanmu, dari semesta yang berbisik.

Kamu berkata apa? Aku tidak mendengarnya. Aku tidak tahu kamu mau berkata apa. 

Kamu pikir itu yang terbaik, itu katamu. Bagaimana dengan aku, tanyaku. Itu yang kita butuhkan, katamu lagi.

Yang ada hanya keputusan satu jabat. Kamu yang memutuskan. Bukan aku. Hanya asumsi-asumsi bahwa yang kamu lakukan itu yang terbaik untukku. Tidak menyakitkan hatiku. Betulkah? Karena kamu tidak pernah bertanya kepadaku apa yang kuinginkan. 

Mereka bilang kamu tak punya hati. Mereka bilang aku harus berhenti. Tapi aku tak percaya. Kamu sembunyi. Aku mencari. Dan kamu tak pduli betapa lelah aku mencari. Seperti itu perputarannya. Kamu tak peduli.

Sampai kapan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!