Semenjak Azure pergi, Fuchsia merana. Di sisi lain, pekerjaannya membaik. Dia bisa mengumpulkan air mata lebih cepat dan lebih banyak daripada staf-staf lain. Bosnya sungguh senang hingga dia memberi bonus khusus untuk Fuchsia. Berangsur-angsur gadis itu melupakan kesedihannya – walaupun air mata masih terus ditampungnya.
Hingga hari itu datang.
Hari ketika air matanya kering, dan dia tak bisa menangis lagi, dan klien-kliennya sudah beralih pada agen pengumpul air mata yang lain, bencana demi bencana mulai bermunculan. Pendapatan air matanya merosot drastis. Puncaknya, Fuchsia dipanggil bos dan dipulangkan. Gadis itu ingin menangis, karena sungguh perih. Setelah kehilangan Azure, dia harus kehilangan pekerjaannya pula. Parahnya lagi, dia tak bisa menangis.
Hari-hari berikutnya ia habiskan membaca halaman iklan lowongan kerja di surat kabar. Badut. Pendongeng. Patung. Kekasih bayaran. Troubadour. Supernova. Dengan sabar, ditelusurinya baris demi baris iklan lowongan kerja itu, tetapi tak satu pun sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya. Fuchsia hanya tahu mengumpulkan air mata. Dia tak tahu bagaimana menjadi troubadour – karena dia tak bisa membuat syair dan menyanyikannya dengan baik. Dia juga tak bisa menjadi badut karena tak satu pun hidung merah yang dijual di pasaran sebagai seragam badut muat di hidungnya. Hidung-hidung merah itu selalu melorot, nangkring di atas bibir, lalu jatuh ke tanah. Menjadi pendongeng, Fuchsia tak punya cukup banyak dongeng. Azurelah yang suka mendongeng. Dari bibir laki-laki itu Fuchsia mengenal kisah si Putri dan Kulit Keledai, atau cerita Rapunzel si rambut panjang, atau Ariel si Putri Duyung, dan juga kisah Gadis Korek Api, Gadis Berkerudung Merah, dan si Itik Buruk Rupa.
Fuchsia mengingat dongeng itu di luar kepala, tetapi dia tak bisa mendongengkannya kembali sebaik Azure. Penontonnya akan tertidur, atau melemparinya dengan tomat. Dia tak mau mengambil resiko itu. Sedangkan pilihan lainnya, menjadi kekasih bayaran dan supernova, dia merasa tak cukup cemerlang. Dan baginya, profesi kekasih bayaran itu terlalu suram dan mengerikan. Bukan jenis karir yang sesuai dengan kepribadiannya.
Berminggu-minggu, Fuchsia mencari pekerjaan baru. Namun, tak satu pun menawarkan pekerjaan yang paling dikuasainya: mengumpulkan air mata. Selama beberapa saat itu, akhirnya dia menerima pekerjaan yang paling mudah: menjadi patung. Kau tahu kan? Di pertigaan jalan di kota itu ada sebuah patung laki-laki yang selalu menoleh ke arah kiri, dengan pandangan penuh penantian. Konon, suatu waktu, ketika laki-laki itu masih manusia, kekasihnya berpamitan pergi untuk membunuh Iblis. Hingga beratus-ratus tahun lamanya, perempuan itu tak pernah kembali. Akan tetapi, lelaki itu terus menunggu. Menunggu hingga dia menjadi patung.[1]
Fuchsia berniat menjadi patung juga. Menjadi patung itu cukup mulia. Patung membuat Pygmalion bahagia karena menemukan pasangan hidupnya.
Hari pertama menjadi patung sungguh membuat Fuchsia menderita. Dia tak tahan panas, dijemur di bawah terik matahari, apalagi dalam keadaan seluruh tubuh kaku berbalut semen. Orang-orang di sini aneh, menempelkan poster-poster ke tubuh patung Fuchsia. Ketika sore tiba, tubuhnya sudah penuh dengan tempelan. Poster menonton sirkus, poster guru privat mencari murid, juga poster calon artis minta dicasting.
Dia pulang sambil mengumpulkan poster-poster yang menempel di tubuhnya dan menumpuknya di meja dekat kamar mandi. Dengan perasaan luar biasa lelah, dia mandi, membersihkan semen dari tubuhnya. Ketika selesai mandi, tertumbuklah matanya pada selembar kertas yang melayang jatuh di bawah meja.
Persis seperti yang diinginkannya. Sebuah pelarian. Ke tempat asing. Tempatnya tak perlu mengingat Azure karena dia harus berada di tempat baru dengan pekerjaan baru yang sepertinya menarik. Banyak yang bisa dieksplorasi dari sebuah tempat baru. Fuchsia menyambar kertas itu ke kamarnya dan berpakaian.
Tak banyak yang melamar pekerjaan itu. Tak ada orang yang cukup gila meninggalkan semua hal yang dikenal dan diketahui seumur hidupnya demi sesuatu yang sama sekali baru, demi sesuatu yang tidak jelas, sesuatu dalam area abu-abu. Bahkan dengan alasan patah hati sekali pun, dan iming-iming berlian pula.
Dari yang tidak banyak itu, hanya dua orang pelamar yang diterima. Fuchsia, dan satu lagi yang tidak dikenalnya. Tidak, karena perusahaan mensyaratkan mereka harus mengenakan topeng yang menutupi penuh wajah mereka dan semua pemandu wisata dilarang bersuara. Untuk bekerja, mereka diberi sebuah alat untuk menerjemahkan isyarat dan pikiran tanpa kata-kata. Aturan lainnya adalah kau tidak boleh mengobrol dengan sesama pemandu.
Pelatihan berlangsung selama satu bulan. Berupa pengenalan wilayah dan keistimewaannya. Mulai dari sejarah, proses terbentuknya, bagaimana cara menamai wilayah tersebut, apa saja hasil alam yang dikandung oleh wilayah tersebut, bagaimana kebudayaannya. Sebenarnya Fuchsia agak saru antara menjadi pemandu wisata atau agen real estate, karena di wilayah baru yang belum disebutkan namanya itu.
Pada akhir pelatihan, guru yang juga bertopeng menyalami mereka berdua. Fuchsia dan orang satunya lagi – mereka tak pernah berkenalan. Fuchsia terlalu asyik dengan dunianya sendiri untuk peduli pada teman sekelasnya.
“Kita akan pergi ke dunia paralel,” ujar Guru menutup kelas terakhir. “Jangan lupa, kita akan mempersilakan orang-orang kelas atas memilih penghidupan yang lebih baik daripada di bumi. Kita harus bersikap semeyakinkan mungkin. Bahwa pilihan mereka tinggal di dunia baru ini adalah pilihan yang tepat. Bahwa dunia baru ini ideal dan bisa membuat kita lebih bahagia.”
Fuchsia tak tahu seperti apa dunia paralel itu. Yang ia mengerti hanya bekerja dan melupakan Azure. Jika ada Azure-meter di hatinya, kali ini level ingat-pada-Azure sudah pada level 40%, dan itu adalah hal yang baik. Dia bertekad untuk terus mengurangi angka itu menjadi 0%. Konsep orang awamnya sebagai dunia paralel adalah semacam dunia cermin. Seperti Alice yang melangkah masuk ke dalam cermin dan menemui segala sesuatunya terbalik. Tetapi dunia paralel bisa saja berupa apa pun. Bisa jadi Oz tempat angin puting beliung mendaratkan rumah Dorothy. Bisa saja Sekolah Sihir Hogwart. Bisa saja pintu dalam lemari menuju Narnia. Bisa juga lautan yang tiba-tiba muncul di Chickentown dan menghanyutkan Cindy ke Abarat. Bisa saja mimpi-mimpimu.
Atau, bisa saja, konstelasi bintang.
Seperti tempat Fuchsia mendarat. Menjadi bintang. Salah satu bintang paling muda di konstelasi bintang Gemini. Berada di antara alpha geminorum dan beta geminorum. Castor dan Pollux. Dioscuri. Ayah bintang-bintang di sekelilingnya.
Pelanggan pertama adalah bintang baru yang sedang melihat-lihat rumah. Dia dulunya adalah seorang penjahit tua keliling dan baru saja berkunjung dari Taurus yang tak jauh dari Gemini. Dia tak menemukan tempat tinggal yang nyaman di sana dan menjajaki kemungkinan untuk bisa tinggal di Gemini. Tentu saja, Fuchsia harus selektif memilih bintang. Kalau tidak, nanti langit akan penuh sesak dengan bintang, bukan? Hanya orang-orang baik yang boleh tinggal di Gemini. Yang lainnya boleh jatuh. Jadi bintang jatuh. Terbenam di dasar samudera.
Penjahit tua keliling itu menjelajahi setiap pelosok Gemini, Fuchsia menjelaskan semua keistimewaan tempat itu, tapi tampaknya tak menemukan tempat yang cocok. Dia berpamitan untuk melanjutkan perjalanan ke konstelasi sebelah.
Cukup lama hingga Fuchsia bertemu bintang baru yang mencari tempat tinggal. Rasanya seperti bertahun-tahun lamanya, dan Fuchsia hanya terdiam sambil menatap bumi yang semakin renta.
Hingga datanglah bintang baru paling cemerlang yang pernah Fuchsia lihat.
Bagaimana cara mendeskripsikan bintang yang cemerlang selain sinarnya yang terang? Kau bisa mendeskripsikan wajah seseorang ketika kau jatuh cinta. Kau bisa menggambarkan alis tebalnya, atau hidung mungilnya, atau bibir penuhnya, atau wajah tirusnya, tetapi bagaimana cara menggambarkan bintang yang tampan, selain bahwa terangnya sungguhlah sangat terang?
Dan bintang itu mirip;
Azure!
Lalu berkelebatlah pemandangan itu: Naga biru yang menyeret-nyeret piano Steinway. Naga bersisik biru yang menjulurkan lidah ungunya ketika Fuchsia tak dapat mendengar alunan denting piano si naga. Dan mendadak, Azure-meter di hatinya naik menjadi 60%.
Terbata-bata, Fuchsia menyapa. Seandainya dia masih punya lutut, pasti lututnya gemetaran, tulang keringnya berubah menjadi jelly. Untunglah sekarang dia bintang pemandu.
“Hai, nama saya Fuchsia. Ada yang bisa saya bantu?”
Bintang itu tersenyum. Setiap kali ia tersenyum, sinarnya semakin terang. Seandainya kita tak sengaja menatap dua bintang saling bersebelahan dari bumi malam ini, kita akan melihat dua bintang terang. Yang satu karena tersenyum, yang satu lagi karena hatinya membuncah bahagia.
Seandainya Fuchsia masih punya mata, pasti sekarang dia telah buta karena terangnya.
“Masih tersedia tempat di Konstelasi Gemini untuk ditinggali beberapa bintang lagi, tetapi sebelumnya saya harus mengetahui latar belakang anda dulu,” Fuchsia meneruskan. “Karena Gemini hanya untuk orang-orang baik.”
“Saya tidak berminat tinggal di sini,” jawab bintang itu jumawa.
Seketika Fuchsia mati rasa.
“Kalau begitu, ada hal lain yang bisa saya bantu?”
“Tentu,” bintang yang baru datang itu kembali tersenyum.
“Saya membawakan cincin saturnus untukmu, apakah kau mau tinggal bersamaku di Virgo?”
Fuchsia terkesiap mendengar lamaran yang tak disangka-sangka itu. Siapa bintang ini? Apakah benar ia Azure seperti yang diperkirakannya?
Kini ia terbata lagi berkata; “A-a-azure?”
Bintang terang itu tak menjawab, hanya tersenyum sambil mengangsurkan cincin saturnus. “Saya serius,” katanya. “Tinggallah bersamaku di Virgo. Biarkan aku mengalungkan cincin saturnus ini jika kau berkenan, dan kita akan menjadi bintang paling terang di sana.”
“Kamu pernah pergi.” Fuchsia merajuk.
“Itu takkan terulang.”
Fuchsia tersenyum. Dan senyum itu membuatnya lebih terang dari Azure. “Aku tak bisa ikut bersamamu,” katanya.
“Mengapa? Apakah karena aku pernah meninggalkanmu?”
“Tidak, aku bisa mengatasi perasaanku sendiri. Tetapi tinggal di sini, di Gemini, adalah takdirku. Adalah pekerjaan mulia membantu orang-orang baik yang sedang mencari tempat tinggal. Aku tidak bisa pergi.”
“Lalu, apa yang harus kulakukan dengan cincin saturnus ini?”
“Bukankah kita masih bisa saling mengunjungi? Tidak bisakah kita tetap saling mencintai meski kita dipisah oleh beberapa konstelasi?”
“Kalau begitu, kutinggalkan cincin saturnus untukmu. Cincin itu akan menyala setiap kali aku merindukanmu.”
Fuchsia tersenyum lagi.
Kali ini, kepergian Azure tak lagi membuatnya hancur.
*) cerpen ini pernah dimuat dalam Hermes E-magz, Hermes Constellation.
enak bacanya
BalasHapusmakasih :)
BalasHapus