Oleh: Dini Afiandri
Benaknya meneriakkan nama gadis itu ketika ia terjaga dari tidurnya.
Terduduk tergesa di atas pembaringannya, pria itu mengumpat pelan. Sekujur tubuhnya berbalur keringat, meski tak ada hubungannya bahwa saat itu pertengahan musim panas. Membasahi kerah baju kelasinya. Ia mengutuk karena tadi jatuh tertidur tanpa mengganti baju ataupun setidaknya menengguk secawan anggur. Pasti itulah yang membuatnya memimpikan Azrael.
Menyelubungkan selimutnya lebih rapat ke tubuhnya, ia meraih rantai jam saku emasnya dan menjentikkan kapnya. Dua puluh menit sebelum tengah malam. Dua hari lagi sebelum Equinox. Meski menantikan upacara suci peringatan hari terpanjang musim panas dimana matahari berada pada titik puncaknya, beserta Perayaan Sumpah Darah desa setempat, ia tak memungkiri bahwa ia juga merasa takut. Kegusaran itu memainkan sebuah pentas teater dalam kepalanya tentang peri-peri dan makhluk musim dingin yang bergentayangan saat Halloween dan Midsummer’s Night.
“Dua kali setahun, tepat pertengahan musim panas dan musim dingin, gerbang menuju alam nyata terbuka di dunia gaib. Saat itu, matahari, bulan dan bintang berada dalam satu garis lurus. Kau bisa menemuinya saat itu.” Begitulah Hazel, sang pendeta tinggi, bersabda saat ia membawa pernak-pernik Parsi untuk persembahan rutinnya pada Gaia. Bibirnya bergetar mengingat sebuah suara. Gema nyanyian yang iringi lingkar tarian para peri di tengah hutan purnama. Tempat ia pertama kali takjub pada pesona makhluk yang asing, namun mendebarkan hati.
Matanya terpejam, sebuah senandung memanggil-manggil.
Tak ingin segera lelapkan mata malam ini,
Ia tersembunyi dalam alam syahdu
Esmeraldaku.......
Hampiri jiwaku kini,
Esmeraldaku......
Menantimu penuhi janji
Saat angkasa tak bersetubuh dengan bumi
Satu tetes entah air mata atau keringat terasa asin di bibirnya. Dipan di bawahnya berderit-derit ketika ia berayun pelan menyanyikan lagu hatinya. Sebuah pengantar tidur yang ia pelajari darinya dulu. Betapa ia mendamba percakapan yang diselingi teguk demi teguk rebusan rempah di pondok kecil miliknya, kampung halamannya, bersama gadis itu. Gadis yang telah mengisi harinya hingga ia lupa segalanya. Masih terngiang nyanyian lembutnya kala bermain sembunyi-sembunyian di hamparan ladang jagung. Sampai suatu waktu, tugas yang memanggilnya angkat sauh mencerabut gadis itu dan dirinya ke seberang dunia. Cinta mereka semu kini, terpisah oleh jarak, lautan, bahkan benua.
Jendela bulat kamar kapal itu menampakkan samudra yang gelap gulita berhiaskan jutaan bintang di atas cakrawala. Mendadak ia merasa letih. “Ahhhh...” erangnya.
“Tengkukku kaku... Tenggorokanku kelu... Jiwaku bisu... Aahhhh....”
Azrael Sang Malaikat Maut pasti akan kembali sebentar lagi.
Cepat datang, Jelita.....
Ia menjatuhkan diri di atas kasurnya. Sakit dan rindu yang tak tertahan menancapkan kuku-kukunya ke jantungnya. Sejenak ia bertanya-tanya apa sang Nahkoda masih meneropong bintang mencari rasi Orion di geladak atas. Ia ingin minta air. “Esmeraldaku..........”
Doanya membumbung ke angkasa: Tuhan, bila memang kematian dan fana dunia ini yang pisahkan kami, izinkan rohku untuk melayang pergi ke dunianya yang maya, sebelum waktuku habis sama sekali. Hanya raga ku tak peduli. Surga kutak mintai. Aku ingin cintaku abadi. “Esmeraldaku.............”
Tepat tengah malam. Kantuk akhirnya menjemputnya. Memberinya jeda untuk istirahatkan tubuhnya yang masih muda. Ia terlelap dan tak melihat ketika peri kecil bersayap keemasan menyelipkan dirinya di kisi-kisi jendela, hinggap di bahunya, memercikkan serbuknya ke wajah sang pengembara, kemudian melayang pergi ke samudra luas di luar sana.
Cristoforo Esteban del Camillo tersenyum dalam tidurnya.
Sejumput pikiran bahagia telah dihadiahkan padanya, antara terjaga dan tiada. Akhirnya untuk pertama kalinya ia mencumbui impi, bukan mati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!