Oleh: @kikiavicenna
Puskesmas Desa Lamunasmara
"Bener-bener gila," Ares geleng-geleng. Ko-ass ganteng yang IP-nya selalu tinggi itu terlihat bingung luar biasa. "Kenapa, sih?" Diza mengalihkan pandangannya dari bukunya. "Fungsi promotif puskesmas selama ini gimana, sih? Gila, Diz! Si Mina, asisten apoteker, kebanjiran pertanyaan soal macem-macem ramuan ajaib yang ada di tukang obat di seberang Kali Banyu sana. Terang aja dia nggak ngerti." "Ampuuun, deh, Res," desis Diza. Ditutupnya buku catatan bergambar Doraemon di tangannya, lalu ia beranjak dari kursi panjang yang disediakan untuk pasien. "Di sini nih masih pedalaman! Dokter kepala puskesmas kita juga udah bertahun-tahun gak diganti gara-gara gak ada yang mau gantiin."
Ares mulai berjalan mondar-mandir seperti di kartun-kartun. "Beneran, deh. Aku heran, Diz, kok mereka percaya aja gitu sama dukun dan tukang obat? Dukun, misalnya. Mereka gak perlu belajar bertahun-tahun di sekolah sampe tepar kayak kita. Mereka gak perlu ujian kompetensi, gak perlu kolegium dan segala atribut lainnya, voila! Masyarakat percaya juga!" Diza ikut-ikutan mondar-mandir. "Res, masalahnya kepercayaan. Mereka belum percaya ilmu kedokteran modern, dan tuh dukun udah di situ selama beberapa generasi. Terang aja mereka belum bisa percaya kita!" Diza mendesis. Ares manyun. "Payah juga, nih, kalo gini caranya."
"Apapun itu," sambung Diza, "ini justru tanggung jawab kita!" Diza kembali duduk di kursi panjang ruang tunggu yang senantiasa sepi pasien itu. "Kasihan juga dr. Ardhitama, harus berusaha keras meyakinkan masyarakat model begini tentang pengobatan modern. Makanya, kita di sini untuk itu juga, kan, selain untuk belajar?" "Bener, sih, Diz. Tapi beneran, aku penasaran!"
Pinggir Kali Banyu
Ares menggunakan waktu senggangnya untuk mencoba mengamati keseharian mereka yang begitu dipercaya masyarakat sebagai... 'dukun' dan 'tukang obat'. Ia mencari tahu tempat Bondel -- si tukang obat -- biasa menggelar dagangannya dan mengamati dari kejauhan, tanpa terlihat.
"Wah, habis lagi," wajah Bondel sumringah. "Laris manis!" Dengan senyum gembira, dikemasinya perlengkapan dagangnya hari itu, dan berjalanlah ia menyusuri jalanan Lamunasmara, melewati jembatan, terus mampir ke tempat Ki Joko Sumbang. "Mas Bon!" Ki Joko memanggil dari pintu rumahnya, yang juga berfungsi sebagai 'tempat praktik'. Bondel melambai hangat. "Oh, Ki Joko, gimana pasien hari ini?" "Ah, biasalah, Bon," ujarnya ringan sambil mengisap rokok lintingannya. "Masuk anginlah, pusinglah. Paling banter juga kalo ada yang sampe kesurupan." "Ooh..." Bibir Bondel mengerut, membentuk lingkaran kecil. "Gimana jualannya, Mas Bon?" "Laris manis, Ki Joko! Habis semua ramuanku." Bondel sumringah, dadanya membusung.
Dari balik sebatang pohon sukun, Ares mengamati sambil cemberut. Gile, pikirnya, jadi dukun atau tukang obat lebih sukses daripada jadi dokter di sini.
"Mari, Ki Joko! Saya pulang dulu," Bondel pergi meninggalkan pekarangan rumah Ki Joko Sumbang. Ki Joko membalas pamit Bondel dengan senyuman dan lambaian yang tak kalah hangat daripada lambaian Bondel sebelumnya. Si tukang obat kembali berjalan, terus menyusuri jalanan desa. Ares masih diam-diam mengikuti dan mengamati. Keingintahuannya makin kuat.
Sebuah kalimat menggema dalam pikiran Ares: Sebenernya ramuan ajaibnya itu isinya apa aja, sih?
Puskesmas Desa Lamunasmara
"Duuuh, si Ares lama banget," gumam Diza sambil membolak-balik catatannya. "Ke mana aja sih?"
Mina muncul dari balik pintu apotek. "Hei, kutu buku," panggilnya. Tampangnya tak kalah kusut dengan Ares saat ia mengeluhkan tentang tukang obat dan dukun tadi. "Min, kenapa sih? Kok kusut?" "Itu tuh! Ramuan aneh tukang obat itu bener-bener bikin puyeng! Orang pada nanya aku, ini ramuan isinya apaan dan bisa nggak buat penyakit ini, penyakit itu... Bah!" Mina mengambil komik di tas jinjingnya dan mengambil tempat di samping Diza. "Sepi, ya. Ko-ass yang lain lagi pada pergi nyari bahan buat penyuluhan, ya... Oya, si Ares mana?" "Pergi tadi. Tauk tuh, mau ngapain," jawab Diza tanpa mengalihkan pandangan dari bukunya.
"Diz, bingung gak sih? Ramuan ajaib yang beneran nggak jelas isinya apa aja masih laku aja di masyarakat kayak begini. Coba, efikasi nggak teruji, nggak pake uji lab... ah! Boro-boro serentetan percobaan, ini higienis atau nggak aja kita beneran nggak tahu!" Mina uring-uringan. "Itulah, Min. Gak cuma di Indonesia, kok. Masalah pengujian obat herbal emang masih dipertanyakan di seluruh dunia! Sampe masuk jurnal NEJM* segala," Diza menutup lagi buku catatannya. "Beuh, kirain cuman di negeri kita doang, Diz. Rupanya ini masalah global." "Pengobatan tradisional kan macem-macem bentuknya. Nah, keberadaan dukun juga, nih! Traditional healers, istilah kerennya. Ini juga jadi kontroversi." Diza senyum kecut. "Ares tadi ngomel soal ini, nih!" "Ah, si Ares, ya? Iya, Diz, dia tahu kalo warga pada nanyain ramuan-ramuan ajaib itu!"
Kompak, mereka berdua menghela napas dan kembali pada bacaan masing-masing.
Pekarangan rumah Bondel
Ares meneropong dari balik semak-semak dengan gaya seperti Ace Ventura. Yah, dia sedang jadi Ares Ventura, medicine man detective -- detektif tukang obat (atau detektif dukun). Lensa teropong plastiknya mengarah ke jendela rumah kayu di depannya -- rumah Bondel si tukang obat -- dan agaknya posisinya tepat. Sosok Bondel yang sedang sumringah tertangkap pandangannya. Ia mulai beraksi, mengambil berbagai macam daun-daunan dan bahan-bahan lain yang tak familiar, bahkan bagi Ares, yang semasa SMA sudah sering ikut penelitian tentang tanaman obat. Saking seringnya, ia sampai bosan melihat segala macam tanaman obat. Tapi yang satu ini lain.
Apa lagi itu? Kok rasanya... makin aneh? Ares menyimpan pikirannya sambil terus mengamati.
Dan nyaris saja Ares menjerit ngeri begitu melihat cara kerja Bondel. Dia benar-benar sembrono! Hah! Segala macam ramuan aneh itu, tak jelas lagi panci bekas ramuan apa dicampur dengan rumput ajaib yang mana, dikemas dan ditulisi secara sembarangan.
Dicekam rasa takut yang datang mendadak, ia berlari dari sana. Kembali ke belakang pohon sukun di pekarangan rumah Ki Joko Sumbang.
Puskesmas Desa Lamunasmara
Sunyi. Hanya terdengar suara Mina menggumamkan istilah-istilah dalam bahasa Latin. Diza sudah berhenti membaca catatannya, dan ganti membaca komik Hagemaru yang tadi dibaca Mina. Mendadak Mina berhenti dan bertanya, "Diz! Sepi banget! Mana si Ares? Biasanya dia yang bikin ribut!" "Masalahnya dia nggak bilang mau ke mana, Min," desis Diza. "Ya udah, setel musik aja sana," Diza mengambil kaset dari dalam tas kecilnya dan menyodorkannya kepada Mina. Mina mengambil kaset itu dan segera melangkah menuju tape recorder model lama di meja kecil di sudut ruang tunggu. Lagu lama The Beatles mulai mengalun, memenuhi udara. Get Back.
"Jah, si Diza," dengusnya, "rupanya dia suka lagu-lagu angkatan babe gue juga." Tapi Mina tak memprotes pilihan Diza. Lebih baik daripada sunyi senyap dan istilah Latin, pikirnya kemudian sambil meringis.
Pekarangan rumah Ki Joko Sumbang
Bau kemenyan samar-samar tercium di udara. Ares mengernyitkan dahi. Apaan nih?
"Hoooong wilaheeeeng..." Suara berat dan fals Ki Joko Sumbang terdengar, kemudian mantra-mantra aneh terucap silih berganti. Ares tak mengerti. Bahasa Latin? Wuets! Mana mungkin? Bahasa Sansekerta atau Jawa Kawi atau Navajo, lama-lama ia tak peduli lagi. Bau kemenyan makin pekat memenuhi udara di sekitarnya.
"Hooong wila-- huatchiiii!" Suara bersin mulai menginterupsi mantra-mantra ajaib itu. "Bah, sialan! Kurang ajar! Tak tahu diuntung! Pergi sana!" Beberapa detik kemudian, seekor kucing mengeong keras dan melompat keluar dari jendela sumber asap kemenyan itu.
Ares terkekeh. Agaknya Ki Joko Sumbang ini alergi kucing, ia menebak.
Ritual berlanjut. "Hoooong wilaheeeeng..." Mantra-mantra sumbang masih terus terdengar.
Kok bisa, ya, orang percaya sama yang kayak begini? Ares melengos dan berbalik arah. Kembali ke puskesmas. Ingin segera menemui Diza dan menceritakan kekonyolan yang ia temukan. Aku serius, ini gila!
Puskesmas Desa Lamunasmara
"Dizaaaa! Minaaaa!" Dengan suara lebay dan agak slow-motion Ares menghambur masuk. "Ares! Ke mana aja sih?!" Mina baru saja hendak memulai omelannya jika Ares tak buru-buru menjawab, "Investigasi, siztaaa! Penasaran bener aku, kenapa bisa orang semacem Ki Joko Sumbang atau Bondel bisa dipercaya orang!"
Ares menceritakan semua temuan gilanya pada Mina dan Diza. Diza geleng-geleng. Mina langsung speechless. Mulai dari kerancuan ramuan Bondel sampai mantra-mantra fals Ki Joko Sumbang (yang ternyata memang bersuara sumbang, berdasarkan pengakuan Ares yang mendengar sendiri).
"Res," desis Diza, "kita bakal kerja keras buat penyuluhan lusa. Bisa kacau ini kalo dibiarin!"
Keesokan harinya -- Puskesmas Desa Lamunasmara
Sam, sesama ko-ass yang satu kelompok dengan Ares, datang membawa berita yang benar-benar membuat pusing seisi puskesmas.
"Eh, denger, deh! Masa' ada warga yang ngomel, ngeluhin soal minyak ajaib yang konon bisa buat nyembuhin seratus macem penyakit kulit, sementara pas dia pake malah jadi makin parah. Dia komplain ke tukang obat Bondel itu, dan dia bener-bener gak bisa ngejelasin kecuali satu kalimat, Kawan-kawan!!"
Diza, Ares, Mina, juga para ko-ass, asisten apoteker, dokter, apoteker, perawat, beserta staf lainnya, kompak bertanya, "Apa kalimatnya?"
Sam menarik napas dan mengumumkan dengan suara dimirip-miripkan dengan Bondel...
"Waduh, maaf, Mbakyu, memang minyak ini bisa untuk seratus macem penyakit kulit. Tapi, penyakit Mbakyu ini yang keseratus satu!"
Shock! Hening seketika. Benar-benar hening. Suara dr. Ardhitama memecah keheningan itu. Beliau menghela nafas, "Yah, baiklah, adik-adik ko-ass, mari kita persiapkan penyuluhan besok dengan sebaik-baiknya..."
Diza, Ares dan Mina geleng-geleng. Dalam pikiran mereka, ada satu kata: parah!
# # #
(tema: pekerjaan paling aneh, dan seorang rekan memberi ide yang luar biasa!)
(*note: NEJM = New England Journal of Medicine)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!