Oleh: @aditstorsi
Hidup. Life. Itulah yang saat ini sedang kita kerjakan. Tentu saja, kalau tidak sedang hidup, kita pasti tidak akan bisa membaca tulisan ini. Sejak kita lahir, kita sudah sah untuk hidup hingga saatnya usia kita dinyatakan cukup oleh-Nya.
Sebuah lirik lagu berbunyi “Dunia ini panggung sandiwara…”. Hidup yang kita jalani adalah sandiwara. Layaknya sandiwara, ada peran-peran yang bermain. Kita adalah aktor dan aktris yang mengisi peran masing-masing. Peran apakah yang kita ambil?
Tak terhitung berapa banyak macam peran yang ada di ‘sandiwara’ ini. Pertanyaan mengenai peran apa yang akan kita ambil, tentu akan terjawab dengan kalimat klasik ‘hidup adalah pilihan’ yang berarti dalam hidup kita harus memilih. Kalau kita tidak memilih, kita nggak punya peran donk? Apa peran kita dalam ‘sandiwara’ ini ya sebagai ‘orang yang tidak memilih’? Sepertinya dengan memilih menjadi ‘orang yang tidak memilih’ itu sudah menjadi pilihan. See, hidup memang harus memilih.
Antar peran tentu saja ada interaksi dan komunikasi. Buah dari interaksi dan komunikasi adalah respon dari masing-masing peran. Misalnya, yang berperan sebagai presiden dengan yang berperan sebagai calon menteri. Respon dari si calon menteri, asumsikan, sumringah karena akan mendapatkan jabatan strategis, sedangkan dari si presiden, dia merasa lega bisa mendapatkan orang yang dianggap dapat bekerja sama dengan baik dan mempunyai sifat loyal.
Contoh lain, interaksi dan komunikasi antara mahasiswa yang sedang sidang skripsi dan dosen penguji yang galak. Si mahasiswa merasa gugup karena bertatap muka dengan dosen penguji dan saking gugupnya ia menjadi lupa materi-materi yang sudah ia pelajari. Si dosen merasa jengkel karena setiap memberikan pertanyaan ke si mahasiswa, selalu dijawab dengan jawaban “tidak tahu” dan “lupa”. Si dosen terpaksa menarik kesimpulan bahwa si mahasiswa tidak layak untuk lulus dan si dosen harus mengatakannya di ujung sidang.
Dua contoh di atas adalah sebagian kecil bentuk kehidupan atau life yang terjadi. Di contoh pertama, bisa dikatakan bahwa l.i.f.e berarti Life Is Fun and Easy (kita sebut saja life fun). Namun di contoh kedua, justru berkebalikan, l.i.f.e menjadi Life Isn’t Fuckin’ Easy (yang ini sebut saja life hard). Sama-sama life tapi bisa dipandang menjadi dua hal yang berbeda.
Namun demikian, kita bisa kok membalikkan life hard menjadi life fun dan sebaliknya. Pada contoh si calon menteri dan si presiden, si calon menteri bisa berpikir kalau tugas sebagai menteri itu berat, tanggung jawab besar, berisiko tinggi, juga waktu dengan keluarga menjadi berkurang. Ditambah lagi ketika dia ingin menyampaikan perasaannya ke si presiden, terkendala perasaan ‘nggak enak’ yang tinggi sekali. Makin life hard saja si calon menteri itu.
Si presiden juga sebenarnya enggan mengambil si calon menteri itu sebagai menteri. Namun karena si calon menteri ini adalah besan si presiden atau ketua parpol koalisinya atau salah satu donatur kampanye presidennya, terpaksa si presiden harus mengambilnya dengan mengabaikan calon menteri lain yang lebih berkualitas. Dilema. Life hard.
Pada contoh kedua, si mahasiswa justru menganggap bahwa sidang skripsi adalah ‘panggung’ dimana ia seakan-akan selebritis yang akan tampil untuk mempresentasikan karyanya. Ia persiapkan slide power point yang artistik. Tentu saja materi skripsi ia kuasi betul untuk mengantisipasi pertanyaan-pertanyaan yang sulit. So fun.
Si dosen justru merasa senang ada mahasiswa yang menurutnya berkualitas untuk ia nyatakan sebagai sarjana dan ia memandang calon mahasiswa ini bakal menjadi calon pegawai yang akan ia rekrut di perusahaan tempat ia bekerja atau akan menjadi anggota tim proyek yang ia pimpin. Life fun.
Apapun peran yang kita ambil dan kondisi dalam peran kita, akan ada hal yang bisa kita ambil, yaitu kita akan menjadikan hidup kita sebagai life fun ataukah life hard. Jika bicara idealnya, tentu, life fun-lah yang kita pilih. Namun tidak selamanya dalam meraih life fun justru hard-lah yang kita temui sehingga kita beralih ke life hard. Ternyata, kembali kita dihadapkan dalam sikap memilih. Setelah kita memilih peran, kita akan memilih kondisi apa yang akan kita hadapi. Itu adalah ketentuan yang abadi yang telah Sang Sutradara rancang dalam ‘sandiwaranya’.
Blog untuk memajang hasil karya partisipan #WritingSession yang diadakan setiap jam 9 malam di @writingsession. Karena tidak ada yang bisa menghentikan kita untuk berkarya, bahkan waktu dan tempat.
Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Selasa, 29 November 2011
Ritual
Oleh: @nainiania (Nathania G.)
“Apa yang sedang kamu pikirkan sekarang?”
Aku hanya diam ketika pertanyaan itu akhirnya terlontar keluar dari bibirmu. Kupandangi kamu dengan tatapan kosong, karena sejujurnya, aku sudah bosan menjawabnya. Hasratku untuk menjawab pertanyaanmu sudah hilang. Kosong. Nol. Nihil.
Apa sih yang membuatmu menanyakan apa yang ada di benakku? Kamu selalu saja begitu. Kamu tak pernah berubah sedikitpun sejak perjumpaan pertama kita. Ironis, karena pertanyaanmu yang sekarang membosankan aku itulah yang membuatku tertarik padamu. Dulu.
Masihkah kamu ingat saat kita pertama kali berjumpa? Lima tahun telah berlalu, namun ingatan akan pertemuan pertama kita masih kuat terpatri dalam benakku. Bagiku, mengingat-ingat peristiwa bersejarah kita itu sama halnya seperti menonton film. Aku dapat melihatnya dengan jelas di pikiranku. Sejelas aku melihat sosokmu di hadapanku saat ini.
Aku ingat dengan jelas hari itu. Di taman itu. Kesendirian itu. Luapan emosi yang dulu kutumpahkan padamu. Kesabaranmu menghadapiku. Tatapanmu yang meredakan emosiku yang meletup. Dan akhirnya, perkenalan kita. Tentu aku masih ingat semua itu.
Sebenarnya kisah itu sederhana. Bahkan, kalau diingat kembali, kata yang kugunakan untung melukiskan pertemuan kita adalah lucu. Ya, lucu. Bisa-bisanya kamu menghampiri aku hari itu. Aku, yang hari itu duduk sendirian di bangku taman favoritku! Aku, yang saat itu mencari solusi dari setumpuk permasalahan yang kuhadapi. Meratap. Merenung. Menjauh dari keramaian. Kesepian memang, terutama karena aku bukanlah orang yang suka sendirian.
Diputuskan pacar. Dikhianati sahabat. Orangtua yang setiap hari bertengkar. Klise memang, tapi itulah masalahku saat itu. Kemana aku harus mengadu, menurutmu? Kemana aku harus menumpahkan segala emosi yang kurasakan? Kemana? Ya, aku tak bisa bercerita. Tak ada yang ingin mendengarkan pikiranku. Tak ada yang pernah menanyakan pendapatku. Dan aku mulai terbiasa hidup dalam kesunyian dan kesendirian. Saat itu.
Dan kamu tentu tahu, kutumpahkan segala emosiku dalam tulisan. Huruf demi huruf yang kutulis menampakkan kesedihanku. Kata demi kata yang tercetak melambangkan kesepianku. Kalimat demi kalimat melukiskan rasa frustrasiku yang tak mampu terucapkan. Paragraf demi paragraf menggambarkan rasa cinta dan benci yang kurasakan terhadap sekelilingku. Dan akhirnya, karangan demi karangan menampakkan jiwaku.
Namun, semua itu tidaklah cukup. Dan seakan memenuhi kebutuhan jiwaku, hari itu kamu datang dan menghampiriku. Kamu mengamatiku sekilas, mencoba membaca wajahku. Mencari, menganalisis. Mencoba membaca dan mengerti isi hati dan benakku. Dan akhirnya kamu menyerah. Pertanyaan itu, pertanyaan legendarismu itupun terlontar keluar dari bibirmu. Melambangkan rasa ingin tahu mu. Melukiskan kepedulianmu.
Ya! Pertanyaan itu! Kamu menanyakan apa yang sedang aku pikirkan saat itu. Kamu, yang saat itu sama sekali asing bagiku. Sederhana, namun itulah obat yang dibutuhkan jiwaku saat itu. Pahit memang, apalagi ditawarkan oleh seorang asing sepertimu. Namun anehnya, saat itu aku menyambar pertanyaan itu. Kuluapkan segala emosi yang ada dalam hatiku saat itu. Semua, tanpa tersisa.
Segala hal yang membentuk emosiku kupaksa keluar, kuberikan semua padamu. Dan dengan kesabaran yang luar biasa, kamu menerima semuanya. Menelannya bulat-bulat, bahkan sebelum kamu mengetahui namaku. Tatapanmu tetap teduh hingga akhir ceritaku. Bukannya marah ataupun menatapku dengan pandangan aneh, kamu malahan menenangkan aku. Setelah emosiku stabil, baru kamu berani mengajakku berkenalan. Membuatku kehilangan kata-kata.
Sejak itu, kamulah inspirasiku. Bukan lagi kesedihan, kesepian, maupun rasa frustrasi yang kurasakan yang membentuk tulisanku. Di dalam tulisanku hanya ada kamu. Kamulah jiwaku.
“Kamu itu nggak pernah bosan ya, bertanya seperti itu?” Akhirnya, setelah jeda yang cukup lama, akupun membalas pertanyaanmu dengan pertanyaan. Seperti biasa.
Kamu terkekeh pelan, menatapku dengan tatapan yang bersinar jahil. Menggoda. “Tentu saja tidak, sayang. Aku nggak akan pernah bosan bertanya, karena aku nggak akan pernah bosan mendengar jawabanmu.”
Nah. Inilah yang menghilangkan hasratku untuk menjawab. Kamu selalu saja senang membuat wajahku merah padam. Membuatku malu setengah mati untuk menjawab pertanyaanmu. Aku mendesah pelan sebelum akhirnya menjawab, “Kamu kan sudah tahu jawabanku. Kalau kamu nggak bosan, lama-lama aku yang bosan! Kamu kan tahu aku nggak terlalu suka pamer romantisme seperti ini.”
Kamu menatapku dengan tatapan memelas seperti biasa, sebelum akhirnya menanyakan pertanyaan terakhir dari ritual kita berdua. Ritual favoritmu, tentu saja.
“Ayolah, sayang. Aku ingin mendengar jawabanmu. Masa kau tega sih membiarkanku merana begini?”
Aku mendesah, dan mengakhiri ritual kita dengan wajah merah padam.
“Tentu saja aku memikirkanmu. Kan kamu ada di depanku. Bagaimana mungkin aku tidak memikirkan jiwaku saat ia ada di hadapanku? Tapi tentunya kamu sudah tahu itu, bukan?”
Dan kamu pun tersenyum puas setelah membuatku menyerah kalah, membuatku menyuarakan jawaban favoritmu.
“Apa yang sedang kamu pikirkan sekarang?”
Aku hanya diam ketika pertanyaan itu akhirnya terlontar keluar dari bibirmu. Kupandangi kamu dengan tatapan kosong, karena sejujurnya, aku sudah bosan menjawabnya. Hasratku untuk menjawab pertanyaanmu sudah hilang. Kosong. Nol. Nihil.
Apa sih yang membuatmu menanyakan apa yang ada di benakku? Kamu selalu saja begitu. Kamu tak pernah berubah sedikitpun sejak perjumpaan pertama kita. Ironis, karena pertanyaanmu yang sekarang membosankan aku itulah yang membuatku tertarik padamu. Dulu.
Masihkah kamu ingat saat kita pertama kali berjumpa? Lima tahun telah berlalu, namun ingatan akan pertemuan pertama kita masih kuat terpatri dalam benakku. Bagiku, mengingat-ingat peristiwa bersejarah kita itu sama halnya seperti menonton film. Aku dapat melihatnya dengan jelas di pikiranku. Sejelas aku melihat sosokmu di hadapanku saat ini.
Aku ingat dengan jelas hari itu. Di taman itu. Kesendirian itu. Luapan emosi yang dulu kutumpahkan padamu. Kesabaranmu menghadapiku. Tatapanmu yang meredakan emosiku yang meletup. Dan akhirnya, perkenalan kita. Tentu aku masih ingat semua itu.
Sebenarnya kisah itu sederhana. Bahkan, kalau diingat kembali, kata yang kugunakan untung melukiskan pertemuan kita adalah lucu. Ya, lucu. Bisa-bisanya kamu menghampiri aku hari itu. Aku, yang hari itu duduk sendirian di bangku taman favoritku! Aku, yang saat itu mencari solusi dari setumpuk permasalahan yang kuhadapi. Meratap. Merenung. Menjauh dari keramaian. Kesepian memang, terutama karena aku bukanlah orang yang suka sendirian.
Diputuskan pacar. Dikhianati sahabat. Orangtua yang setiap hari bertengkar. Klise memang, tapi itulah masalahku saat itu. Kemana aku harus mengadu, menurutmu? Kemana aku harus menumpahkan segala emosi yang kurasakan? Kemana? Ya, aku tak bisa bercerita. Tak ada yang ingin mendengarkan pikiranku. Tak ada yang pernah menanyakan pendapatku. Dan aku mulai terbiasa hidup dalam kesunyian dan kesendirian. Saat itu.
Dan kamu tentu tahu, kutumpahkan segala emosiku dalam tulisan. Huruf demi huruf yang kutulis menampakkan kesedihanku. Kata demi kata yang tercetak melambangkan kesepianku. Kalimat demi kalimat melukiskan rasa frustrasiku yang tak mampu terucapkan. Paragraf demi paragraf menggambarkan rasa cinta dan benci yang kurasakan terhadap sekelilingku. Dan akhirnya, karangan demi karangan menampakkan jiwaku.
Namun, semua itu tidaklah cukup. Dan seakan memenuhi kebutuhan jiwaku, hari itu kamu datang dan menghampiriku. Kamu mengamatiku sekilas, mencoba membaca wajahku. Mencari, menganalisis. Mencoba membaca dan mengerti isi hati dan benakku. Dan akhirnya kamu menyerah. Pertanyaan itu, pertanyaan legendarismu itupun terlontar keluar dari bibirmu. Melambangkan rasa ingin tahu mu. Melukiskan kepedulianmu.
Ya! Pertanyaan itu! Kamu menanyakan apa yang sedang aku pikirkan saat itu. Kamu, yang saat itu sama sekali asing bagiku. Sederhana, namun itulah obat yang dibutuhkan jiwaku saat itu. Pahit memang, apalagi ditawarkan oleh seorang asing sepertimu. Namun anehnya, saat itu aku menyambar pertanyaan itu. Kuluapkan segala emosi yang ada dalam hatiku saat itu. Semua, tanpa tersisa.
Segala hal yang membentuk emosiku kupaksa keluar, kuberikan semua padamu. Dan dengan kesabaran yang luar biasa, kamu menerima semuanya. Menelannya bulat-bulat, bahkan sebelum kamu mengetahui namaku. Tatapanmu tetap teduh hingga akhir ceritaku. Bukannya marah ataupun menatapku dengan pandangan aneh, kamu malahan menenangkan aku. Setelah emosiku stabil, baru kamu berani mengajakku berkenalan. Membuatku kehilangan kata-kata.
Sejak itu, kamulah inspirasiku. Bukan lagi kesedihan, kesepian, maupun rasa frustrasi yang kurasakan yang membentuk tulisanku. Di dalam tulisanku hanya ada kamu. Kamulah jiwaku.
“Kamu itu nggak pernah bosan ya, bertanya seperti itu?” Akhirnya, setelah jeda yang cukup lama, akupun membalas pertanyaanmu dengan pertanyaan. Seperti biasa.
Kamu terkekeh pelan, menatapku dengan tatapan yang bersinar jahil. Menggoda. “Tentu saja tidak, sayang. Aku nggak akan pernah bosan bertanya, karena aku nggak akan pernah bosan mendengar jawabanmu.”
Nah. Inilah yang menghilangkan hasratku untuk menjawab. Kamu selalu saja senang membuat wajahku merah padam. Membuatku malu setengah mati untuk menjawab pertanyaanmu. Aku mendesah pelan sebelum akhirnya menjawab, “Kamu kan sudah tahu jawabanku. Kalau kamu nggak bosan, lama-lama aku yang bosan! Kamu kan tahu aku nggak terlalu suka pamer romantisme seperti ini.”
Kamu menatapku dengan tatapan memelas seperti biasa, sebelum akhirnya menanyakan pertanyaan terakhir dari ritual kita berdua. Ritual favoritmu, tentu saja.
“Ayolah, sayang. Aku ingin mendengar jawabanmu. Masa kau tega sih membiarkanku merana begini?”
Aku mendesah, dan mengakhiri ritual kita dengan wajah merah padam.
“Tentu saja aku memikirkanmu. Kan kamu ada di depanku. Bagaimana mungkin aku tidak memikirkan jiwaku saat ia ada di hadapanku? Tapi tentunya kamu sudah tahu itu, bukan?”
Dan kamu pun tersenyum puas setelah membuatku menyerah kalah, membuatku menyuarakan jawaban favoritmu.
Nyata
Oleh: Tarkii Okei
Aku selalu menemani dia.
Membasuhi peluhnya ketika dia terlalu keras menggunakan otaknya untuk berpikir.
Membelai helai demi helai rambutnya ketika dia terlelap.
Mendekapnya erat ketika dia terbangun dari mimpi buruknya.
Mengecup pipinya saat dia melompat kegirangan karena berhasil menyelesaikan masalah-masalahnya.
Tapi dia tak pernah menatap mataku saat aku menatap dalam matanya.
Dia tak mendengarkan saranku ketika sejumlah tumpukan masalah datang kepadanya.
Dia tak membalas pelukanku ketika dingin datang menusuk tulang.
Tak ada sedikitpunkah dia merasakan aku?
Dia pikir aku pergi.
Padahal jelas-jelas aku disini. Hanya raga yang tak bisa menemani.
Aku telah abadi. Sudah mati.
Aku selalu menemani dia.
Membasuhi peluhnya ketika dia terlalu keras menggunakan otaknya untuk berpikir.
Membelai helai demi helai rambutnya ketika dia terlelap.
Mendekapnya erat ketika dia terbangun dari mimpi buruknya.
Mengecup pipinya saat dia melompat kegirangan karena berhasil menyelesaikan masalah-masalahnya.
Tapi dia tak pernah menatap mataku saat aku menatap dalam matanya.
Dia tak mendengarkan saranku ketika sejumlah tumpukan masalah datang kepadanya.
Dia tak membalas pelukanku ketika dingin datang menusuk tulang.
Tak ada sedikitpunkah dia merasakan aku?
Dia pikir aku pergi.
Padahal jelas-jelas aku disini. Hanya raga yang tak bisa menemani.
Aku telah abadi. Sudah mati.
Tidak Jadi Mati
Oleh : Faizal Egi
Twitter: @faizalEGI
Blog: itsjustsomething.tumblr.com
"Apakah mati akan membebaskanku dari rasa sakit?", itulah yang ada di benakku saat ini. Aku sungguh tak tau apa jawabannya, aku belum pernah mati. Yang aku tau hanyalah rasanya hidup, kehidupan dimana sekarang hanyalah rasa sakit yang kurasakan. Ketika aku membungkuk, mendongak, bersungkur, ataupun sekedar bernafas, yang kurasakan hanyalah sakit.
Tapi apalah arti jawaban dari pertanyaan itu sekarang, meskipun sakit juga akan mengikutiku hingga melewati kematian, tidak ada gunanya lagi saat ini. Sudah terlambat.
Tak pernah kubayangkan bahwa aku akhirnya memutuskan untuk menentukan hari kematianku sendiri, beberapa saat yang lalu kumasukkan sekaligus tak kurang dari 2 lusin valium ke dalam mulutku bersamaan dengan seteguk label hitam, satu - satunya yang setia menemaniku 3 bulan terakhir ini. Sungguh konyol bahwa sekarang aku menjadi bagian dari orang - orang yang dulu sering kutertawakan karena kebodohannya, orang - orang yang mengakhiri hidupnya hanya karena ditinggal oleh orang yang dicintainya. Mungkin sesaat lagi giliran orang lain yang akan menertawakanku.
Terserahlah, toh saat mereka menertawakanku nanti aku berada di tempat yang berbeda dengan mereka. Mereka tertawa karena belum pernah merassakannya saja, seperti aku dulu. Mungkin saat itu mereka menganggapku hanya sebagai seorang pesimis tak berTuhan, tapi tau apa mereka tentang rasa pesimis? Apa mereka tau seberapa besar usahaku untuk bangkit dari rasa sakit ini? Dan tau apa mereka tentang hubunganku dengan Tuhan? Mereka tidak pernah berada di tengah garis hubunganku dengan Tuhan, namun tetap saja mereka merasa lebih dekat dengan Tuhan dari pada aku.
Sekarang aku hanya tinggal menunggu, menunggu mataku berat hingga tertidur lelap. Mungkin akan disertai muntah, sesak nafas, atau entahlah. Tapi kuharap itu rasa sakit terakhir yang bisa kurasakan.
Kuremas - remas undangan pernikahanmu yang kuterima tadi malam, pernikahanmu dengan lelaki lain yang sama sekali tak kukenal. Kuremas sekuat mungkin dengan harapan bahwa kau juga akan merasakan sakit yang kurasakan. Dan akan tetap kuremas kertas ini hingga tanganku terlepas darinya seiring dengan terlepasnya nafas terakhir dari tubuhku.
Lama. Apakah menunggu ajal memang terasa lama? Tapi ini sudah terlalu lama kurasa, aku tak tau pasti kapan aku menelan butir - butir valium itu, namun seingatku saat matahari berada di tengah perjalanannya menuju ke barat. Dan sekarang sudah menjelang senja. Kuambil kemasan valium tadi, kubaca perlahan dengan kesadaranku masih utuh. Aku menghela nafas, disana tertera label sebuah merek permen rasa buah. Pasti ini kepunyaan keponakanku, pantas saja rasanya sedikit asam tadi. Ya sudahlah, mungkin Tuhan tidak rela aku mendahuluiNya menentukan nasibku...
Twitter: @faizalEGI
Blog: itsjustsomething.tumblr.com
"Apakah mati akan membebaskanku dari rasa sakit?", itulah yang ada di benakku saat ini. Aku sungguh tak tau apa jawabannya, aku belum pernah mati. Yang aku tau hanyalah rasanya hidup, kehidupan dimana sekarang hanyalah rasa sakit yang kurasakan. Ketika aku membungkuk, mendongak, bersungkur, ataupun sekedar bernafas, yang kurasakan hanyalah sakit.
Tapi apalah arti jawaban dari pertanyaan itu sekarang, meskipun sakit juga akan mengikutiku hingga melewati kematian, tidak ada gunanya lagi saat ini. Sudah terlambat.
Tak pernah kubayangkan bahwa aku akhirnya memutuskan untuk menentukan hari kematianku sendiri, beberapa saat yang lalu kumasukkan sekaligus tak kurang dari 2 lusin valium ke dalam mulutku bersamaan dengan seteguk label hitam, satu - satunya yang setia menemaniku 3 bulan terakhir ini. Sungguh konyol bahwa sekarang aku menjadi bagian dari orang - orang yang dulu sering kutertawakan karena kebodohannya, orang - orang yang mengakhiri hidupnya hanya karena ditinggal oleh orang yang dicintainya. Mungkin sesaat lagi giliran orang lain yang akan menertawakanku.
Terserahlah, toh saat mereka menertawakanku nanti aku berada di tempat yang berbeda dengan mereka. Mereka tertawa karena belum pernah merassakannya saja, seperti aku dulu. Mungkin saat itu mereka menganggapku hanya sebagai seorang pesimis tak berTuhan, tapi tau apa mereka tentang rasa pesimis? Apa mereka tau seberapa besar usahaku untuk bangkit dari rasa sakit ini? Dan tau apa mereka tentang hubunganku dengan Tuhan? Mereka tidak pernah berada di tengah garis hubunganku dengan Tuhan, namun tetap saja mereka merasa lebih dekat dengan Tuhan dari pada aku.
Sekarang aku hanya tinggal menunggu, menunggu mataku berat hingga tertidur lelap. Mungkin akan disertai muntah, sesak nafas, atau entahlah. Tapi kuharap itu rasa sakit terakhir yang bisa kurasakan.
Kuremas - remas undangan pernikahanmu yang kuterima tadi malam, pernikahanmu dengan lelaki lain yang sama sekali tak kukenal. Kuremas sekuat mungkin dengan harapan bahwa kau juga akan merasakan sakit yang kurasakan. Dan akan tetap kuremas kertas ini hingga tanganku terlepas darinya seiring dengan terlepasnya nafas terakhir dari tubuhku.
Lama. Apakah menunggu ajal memang terasa lama? Tapi ini sudah terlalu lama kurasa, aku tak tau pasti kapan aku menelan butir - butir valium itu, namun seingatku saat matahari berada di tengah perjalanannya menuju ke barat. Dan sekarang sudah menjelang senja. Kuambil kemasan valium tadi, kubaca perlahan dengan kesadaranku masih utuh. Aku menghela nafas, disana tertera label sebuah merek permen rasa buah. Pasti ini kepunyaan keponakanku, pantas saja rasanya sedikit asam tadi. Ya sudahlah, mungkin Tuhan tidak rela aku mendahuluiNya menentukan nasibku...
Jumat, 18 November 2011
Keputusan
Oleh: @shelly_fw
Begitu aku menatap kedua matanya yang berapi-api, senyumnya yang menebar indah, juga ekspresinya yang begitu meyakinkan aku jadi teringat salah satu pertanyaan paling bodoh didunia ini, “Siapa yang tidak suka lagu?”
Memang benar, kan? Siapa, sih, pemilik telinga yang rela untuk tidak memberi makanan pada indera satu ini? Atau……siapa yang berani mengakui bahwa tak ada satu lagu pun yang berkesan akan kisah mereka?
Yep, kalian benar. Aku adalah salah satu dari sekian banyak penikmat lagu di planet ini. Bagaimana tidak, aku sendiri dari kecil hingga detik ini masih merasa perlu untuk selalu ditemani lagu. Apapun itu. Tidak peduli pada aliran, ritme, lirik, ataupun sajak indah yang sengaja diselipkan pada lagu karena jika memang satu kali saja hatiku dapat menari ketika mendengarkan lagu itu bahkan untuk yang pertama kalinya, sudah pasti aku akan jatuh cinta pada lagu itu.
Lalu, apa artinya jika seumur hidup kita hanya bisa menikmati lagu? Oke. Aku bakal membiarkan kalian mengejar-ngejar dan menemukan jawaban kalian masing-masing. Sebenarnya tidak susah sih untuk mencerna apa yang kumaksudkan tadi, hanya saja…………..
Tidakkah kau menginginkan
Hal ini diabadikan
Akankah kau melewatkan
Hal indah ini kawan
Marilah kita tersenyum
Pada kameraku
Kita abadikan
Hal ini dengan kameraku
Biarkan aku bernafas dulu. Sebernarnya, kata-kata diatas adalah satu bait dari sekian kumpulan bait yang kuciptakan sendiri. Benar sekali! Aku memang ketagihan untuk menulis lagu belakangan ini. Setidaknya, karena semakin banyak lagu yang kudengar, semakin besar rasa ingin tahuku tentang bagaimana rasanya menjadi penulis lagu.
Tenar. Punya banyak uang. Dipuja banyak penggemar. Semakin kreatif. Kualitas lagu semakin meningkat……ya, semua itu memang tidak dapat dipisahkan dari kata musisi. Sekali lagi, MUSISI.
Tapi tetap saja hal ini membuatku menelan ludah beberapa kali. Bayangkan saja, untuk gadis berumur enam belas tahun sepertiku menjadi musisi terkenal pastilah tidak akan mudah. Akan ada banyak momen yang terlewatkan. Aka nada banyak materi pelajaran yang takkan bisa kukejar. Akan ada banyak……………………..
Tidak, tidak tidak! Aku tidak bisa membiarkan pikiran-pikiran itu menghantuiku. Apalagi jika harus memikirkannya matang-matang. Tidak,, itu tidak perlu. Yang aku perlukan saat ini adalah satu, yaitu keyakinan. Karena keputusan apapun yang kuambil, setidaknya telah menegaskan bahwa aku memang berani mengambil resiko apapun. Resiko apapun!
Jadi, setelah menelan ludah yang sempat tercekat di sekitar kerongkongan dan menghela nafas panjang, aku berkata pada wanita yang ada dihadapanku ini dengan gamblang.
“Pasti. Saya pasti akan menerima tawaran Anda…..jika saya sudah benar-benar siap.” ujarku, lalu beranjak dari kursi putar untuk meninggalkan ruangan manajer kantor studio rekaman ini.
Aku tidak salah, ‘kan? Jika-benar-benar-siap.
Begitu aku menatap kedua matanya yang berapi-api, senyumnya yang menebar indah, juga ekspresinya yang begitu meyakinkan aku jadi teringat salah satu pertanyaan paling bodoh didunia ini, “Siapa yang tidak suka lagu?”
Memang benar, kan? Siapa, sih, pemilik telinga yang rela untuk tidak memberi makanan pada indera satu ini? Atau……siapa yang berani mengakui bahwa tak ada satu lagu pun yang berkesan akan kisah mereka?
Yep, kalian benar. Aku adalah salah satu dari sekian banyak penikmat lagu di planet ini. Bagaimana tidak, aku sendiri dari kecil hingga detik ini masih merasa perlu untuk selalu ditemani lagu. Apapun itu. Tidak peduli pada aliran, ritme, lirik, ataupun sajak indah yang sengaja diselipkan pada lagu karena jika memang satu kali saja hatiku dapat menari ketika mendengarkan lagu itu bahkan untuk yang pertama kalinya, sudah pasti aku akan jatuh cinta pada lagu itu.
Lalu, apa artinya jika seumur hidup kita hanya bisa menikmati lagu? Oke. Aku bakal membiarkan kalian mengejar-ngejar dan menemukan jawaban kalian masing-masing. Sebenarnya tidak susah sih untuk mencerna apa yang kumaksudkan tadi, hanya saja…………..
Tidakkah kau menginginkan
Hal ini diabadikan
Akankah kau melewatkan
Hal indah ini kawan
Marilah kita tersenyum
Pada kameraku
Kita abadikan
Hal ini dengan kameraku
Biarkan aku bernafas dulu. Sebernarnya, kata-kata diatas adalah satu bait dari sekian kumpulan bait yang kuciptakan sendiri. Benar sekali! Aku memang ketagihan untuk menulis lagu belakangan ini. Setidaknya, karena semakin banyak lagu yang kudengar, semakin besar rasa ingin tahuku tentang bagaimana rasanya menjadi penulis lagu.
Tenar. Punya banyak uang. Dipuja banyak penggemar. Semakin kreatif. Kualitas lagu semakin meningkat……ya, semua itu memang tidak dapat dipisahkan dari kata musisi. Sekali lagi, MUSISI.
Tapi tetap saja hal ini membuatku menelan ludah beberapa kali. Bayangkan saja, untuk gadis berumur enam belas tahun sepertiku menjadi musisi terkenal pastilah tidak akan mudah. Akan ada banyak momen yang terlewatkan. Aka nada banyak materi pelajaran yang takkan bisa kukejar. Akan ada banyak……………………..
Tidak, tidak tidak! Aku tidak bisa membiarkan pikiran-pikiran itu menghantuiku. Apalagi jika harus memikirkannya matang-matang. Tidak,, itu tidak perlu. Yang aku perlukan saat ini adalah satu, yaitu keyakinan. Karena keputusan apapun yang kuambil, setidaknya telah menegaskan bahwa aku memang berani mengambil resiko apapun. Resiko apapun!
Jadi, setelah menelan ludah yang sempat tercekat di sekitar kerongkongan dan menghela nafas panjang, aku berkata pada wanita yang ada dihadapanku ini dengan gamblang.
“Pasti. Saya pasti akan menerima tawaran Anda…..jika saya sudah benar-benar siap.” ujarku, lalu beranjak dari kursi putar untuk meninggalkan ruangan manajer kantor studio rekaman ini.
Aku tidak salah, ‘kan? Jika-benar-benar-siap.
Creep (-by Radiohead)
Oleh: @meiizt
When you were here before
Couldn’t look you in the eye
Tiap kali kamu mendekat, perasaan aneh menyergapku. Seperti ada ratusan pemain drum yang menjadikan jantungku sebagai tempat mereka memukul-mukulkan stick kayu. Bola mataku langsung berputar, mencoba mencari objek pandang lain, apapun, asalkan bukan kamu. Dan badanku akan segera mencari kesibukan, entah tanganku yang tiba-tiba gatal menulis atau menggambar sesuatu yang tak jelas, tali sepatuku yang kuikat lagi padahal sudah menyimpul sempurna, atau sekedar mencari sesuatu yang fiktif di dalam tas. Apapun kulakukan, asalkan pandang ini tak bertemu dengan mata teduhmu. Apapun.
You’re just like an angel
Your skin makes me cry
You float like a feather
In a beautiful world
Bukan, bukan aku membencimu. Bukan aku tak menyukaimu. Bukan aku tak menginginkan keberadaanmu. Di mataku, kamu adalah sebentuk jawaban atas harap yang kugantungkan di ujung Venus tiap pagi. Di mataku, kamu adalah sebentuk dunia lain yang mempunyai daya tarik kuat dan memikat. Di mataku, kamulah cinta itu sendiri.
I wish I was special
You’re so fucking special
But I’m a creep
I’m a weirdo
What the hell I’m doing here
I don’t belong here
Akulah pungguk, dan kamulah bulan. Akulah bulan, dan kamulah matahari. Akulah matahari, dan kamulah Bimasakti. Akulah Bimasakti, dan kamulah semesta. Ah, mungkin bahkan untuk sekedar menjadi pungguk saja terlalu hebat untukku. Sejak awal telah kusadari, tak akan ada aku dimanapun di duniamu. Duniamu, duniamu, bukan dunia kita.
I don’t care if it hurts
I want to have control
I want a perfect body
I want a perfect soul
I want you to notice
When I’m not around
Tapi rasa ini begitu menyiksa, memaksa, berdentum-dentum dalam tiap aliran darah, menyuruhku untuk menggapaikan tangan padamu. Dalam diam, dalam diam, aku bahkan sempat berharap terlahir kembali, menjadi seseorang yang pantas menyukaimu, yang pantas kau sukai, yang pantas bersanding denganmu, yang pantas kau sanding. Mencintaimu, sebegitu meluapkah perasaanku hingga aku berani-berani mengutuk kehidupan?
You’re so fucking special
I wish I was special
What the hell I’m doing here
I don’t belong here
Akulah pungguk, dan kamulah bulan. Akulah pungguk, dan kamulah matahari. Akulah pungguk, dan kamulah bimasakti. Akulah pungguk, dan kamulah semesta. Sudah pantaskah aku menjadi pungguk? Bahkan dunia kita tak pernah bersentuhan, bertabrakan, pun berada pada orbit yang sejajar. Dari kejauhan saja aku memandangmu, mengharapmu, mencintaimu.
Duniaku bahkan tak punya orbit.
When you were here before
Couldn’t look you in the eye
Tiap kali kamu mendekat, perasaan aneh menyergapku. Seperti ada ratusan pemain drum yang menjadikan jantungku sebagai tempat mereka memukul-mukulkan stick kayu. Bola mataku langsung berputar, mencoba mencari objek pandang lain, apapun, asalkan bukan kamu. Dan badanku akan segera mencari kesibukan, entah tanganku yang tiba-tiba gatal menulis atau menggambar sesuatu yang tak jelas, tali sepatuku yang kuikat lagi padahal sudah menyimpul sempurna, atau sekedar mencari sesuatu yang fiktif di dalam tas. Apapun kulakukan, asalkan pandang ini tak bertemu dengan mata teduhmu. Apapun.
You’re just like an angel
Your skin makes me cry
You float like a feather
In a beautiful world
Bukan, bukan aku membencimu. Bukan aku tak menyukaimu. Bukan aku tak menginginkan keberadaanmu. Di mataku, kamu adalah sebentuk jawaban atas harap yang kugantungkan di ujung Venus tiap pagi. Di mataku, kamu adalah sebentuk dunia lain yang mempunyai daya tarik kuat dan memikat. Di mataku, kamulah cinta itu sendiri.
I wish I was special
You’re so fucking special
But I’m a creep
I’m a weirdo
What the hell I’m doing here
I don’t belong here
Akulah pungguk, dan kamulah bulan. Akulah bulan, dan kamulah matahari. Akulah matahari, dan kamulah Bimasakti. Akulah Bimasakti, dan kamulah semesta. Ah, mungkin bahkan untuk sekedar menjadi pungguk saja terlalu hebat untukku. Sejak awal telah kusadari, tak akan ada aku dimanapun di duniamu. Duniamu, duniamu, bukan dunia kita.
I don’t care if it hurts
I want to have control
I want a perfect body
I want a perfect soul
I want you to notice
When I’m not around
Tapi rasa ini begitu menyiksa, memaksa, berdentum-dentum dalam tiap aliran darah, menyuruhku untuk menggapaikan tangan padamu. Dalam diam, dalam diam, aku bahkan sempat berharap terlahir kembali, menjadi seseorang yang pantas menyukaimu, yang pantas kau sukai, yang pantas bersanding denganmu, yang pantas kau sanding. Mencintaimu, sebegitu meluapkah perasaanku hingga aku berani-berani mengutuk kehidupan?
You’re so fucking special
I wish I was special
What the hell I’m doing here
I don’t belong here
Akulah pungguk, dan kamulah bulan. Akulah pungguk, dan kamulah matahari. Akulah pungguk, dan kamulah bimasakti. Akulah pungguk, dan kamulah semesta. Sudah pantaskah aku menjadi pungguk? Bahkan dunia kita tak pernah bersentuhan, bertabrakan, pun berada pada orbit yang sejajar. Dari kejauhan saja aku memandangmu, mengharapmu, mencintaimu.
Duniaku bahkan tak punya orbit.
On the nite like this.
Oleh: @farfarfarah
Rintik hujan, gitar, mocca, dan kamu. Ramuan sempurna untuk menikmati waktu di senja ini. Melihatmu bergitar dan menikmati senyumanmu, di depanmu malu-malu. Dari lengkungan bibir dan pandangan mata yang bertemu, kita bercerita dalam diam. Terlalu banyak rasa yang ingin kutunjukkan padamu. hingga aku tak menemukan satu kalimat yang pas untuk menggambarkannya.
On the nite like this, there’s so many things I wanna tell you.
On the nite like this there’s so many things I wanna show you.
Cause when you’re around I feel save and warm
Derasnya hujan di senja itu, terasa hangat dikulitku, mendengar tawamu yang bergema di telingaku. Kupu-kupu terbang di dalam perutku seolah membisikan kalimat cinta untukmu, cause when you’re around I can falling love everyday.
Pelan kau dendangkan lagu untukku. Dalam diam aku berbisik, jika boleh kuminta sesuatu darimu, hentikan waktu untukku. In the case like this, there’s a thousand good reasons I want you to stay....
On the nite like this ~ mocca.
Yogyakarta, 2010
Rintik hujan, gitar, mocca, dan kamu. Ramuan sempurna untuk menikmati waktu di senja ini. Melihatmu bergitar dan menikmati senyumanmu, di depanmu malu-malu. Dari lengkungan bibir dan pandangan mata yang bertemu, kita bercerita dalam diam. Terlalu banyak rasa yang ingin kutunjukkan padamu. hingga aku tak menemukan satu kalimat yang pas untuk menggambarkannya.
On the nite like this, there’s so many things I wanna tell you.
On the nite like this there’s so many things I wanna show you.
Cause when you’re around I feel save and warm
Derasnya hujan di senja itu, terasa hangat dikulitku, mendengar tawamu yang bergema di telingaku. Kupu-kupu terbang di dalam perutku seolah membisikan kalimat cinta untukmu, cause when you’re around I can falling love everyday.
Pelan kau dendangkan lagu untukku. Dalam diam aku berbisik, jika boleh kuminta sesuatu darimu, hentikan waktu untukku. In the case like this, there’s a thousand good reasons I want you to stay....
On the nite like this ~ mocca.
Yogyakarta, 2010
Senin, 14 November 2011
Audisi
Oleh:(millaty ismail)
Aku berdiri di depan kaca.
Bingung untuk mencari watak.
Peran apakah yang harus aku mainkan untuk audisi menjadi bintang sinetron?
Poster-poster telah tertempel di sekitar rumah kos, menggodaku untuk mengikuti audisi pemain sinetron ini, siapa tahu aku yang terpilih… Terkenal… Kaya Raya …
Aku berusaha mengingat-ingat, cerita-cerita di sinetron yang merajalela di jam tayang primadona yang terkenal dengan sebutan “Prime Time”. Tapi yang aku ingat hanya peran istri muda yang licik dan berkhianat terhadap suaminya yang jauh lebih tua dan kaya raya.
Atau peran wanita muslim yang pasrah dimadu. Hmm peran apa lagi yah? Oh iya peran tante yang ingin membunuh keponakannya karena keponakannya memiliki tabungan yang bisa menghidupinya tujuh turunan. Atau peran pembantu yang latah yang berusaha melucu tapi tidak lucu. Atau peran wanita dalam sangkar emas, yang disiksa oleh suaminya yang kaya raya. Atau juga peran remaja yang tertukar, yang kaya jadi miskin, yang miskin jadi kaya.
Aku tidak ingin peran itu. Peran itu tidak membuat aku bangga, kalau istilah kerennya tidak membuat aktingku total. Aku ingin ikut audisi menjadi zombie dalam film seperti Walking Dead. Atau aku ingin ikut audisi penjadi pembunuh bayaran berdarah dingin yang menghabisi para koruptor. Dan peran-peran lain yang membuat penonton bertanya-tanya apa yang akan terjadi bukan peran yang diulur-ulur dengan tidak jelas.
Tapi mungkinkah? Mungkin belum pada saat ini, jadi kuputuskan untuk menunggu yah menunggu, entah sampai kapan sinetron di negara ini akan membuat aku tergerak untuk mengikuti audisinya…
Aku berdiri di depan kaca.
Bingung untuk mencari watak.
Peran apakah yang harus aku mainkan untuk audisi menjadi bintang sinetron?
Poster-poster telah tertempel di sekitar rumah kos, menggodaku untuk mengikuti audisi pemain sinetron ini, siapa tahu aku yang terpilih… Terkenal… Kaya Raya …
Aku berusaha mengingat-ingat, cerita-cerita di sinetron yang merajalela di jam tayang primadona yang terkenal dengan sebutan “Prime Time”. Tapi yang aku ingat hanya peran istri muda yang licik dan berkhianat terhadap suaminya yang jauh lebih tua dan kaya raya.
Atau peran wanita muslim yang pasrah dimadu. Hmm peran apa lagi yah? Oh iya peran tante yang ingin membunuh keponakannya karena keponakannya memiliki tabungan yang bisa menghidupinya tujuh turunan. Atau peran pembantu yang latah yang berusaha melucu tapi tidak lucu. Atau peran wanita dalam sangkar emas, yang disiksa oleh suaminya yang kaya raya. Atau juga peran remaja yang tertukar, yang kaya jadi miskin, yang miskin jadi kaya.
Aku tidak ingin peran itu. Peran itu tidak membuat aku bangga, kalau istilah kerennya tidak membuat aktingku total. Aku ingin ikut audisi menjadi zombie dalam film seperti Walking Dead. Atau aku ingin ikut audisi penjadi pembunuh bayaran berdarah dingin yang menghabisi para koruptor. Dan peran-peran lain yang membuat penonton bertanya-tanya apa yang akan terjadi bukan peran yang diulur-ulur dengan tidak jelas.
Tapi mungkinkah? Mungkin belum pada saat ini, jadi kuputuskan untuk menunggu yah menunggu, entah sampai kapan sinetron di negara ini akan membuat aku tergerak untuk mengikuti audisinya…
Dua Teman Terpilih
Oleh: (@TengkuAR)
“Selamat Ulang Tahun ke 7, Jagoanku yang manis! Maaf Ayah belum bisa memberikanmu yang terbaik atau bahkan membuatkanmu sebuah pesta ulang tahun. Semoga kamu mengerti dan menjadi anak yang penurut dan sayang dengan Ayahmu. Kado apa yang kamu mau, Nak?”, ucapku seraya menyemangatinya.
“Aku mau hewan peliharaan, Yah.”, mulut kecilnya menjelaskan.
“Hewan apa?”
“Belum tau Yah. Ayo sekarang kita ke toko hewan aja.”, dia bergegas menarik tanganku untuk mengajak ke toko hewan.
“Ayo!”
Dan kami pun sudah berada di dalam perut taksi menuju kawasan di daerah Jakarta Selatan yang terkenal menjual banyak hewan peliharaan.
***
Di tempat penjualan hewan.
“Kamu mau yang mana Nak?”, tanyaku sambil memegang tangannya yang mungil dan melihat-lihat keadaan sekitarnya.
“Sebentar ya Yah. Aku masih bingung.”, jawabnya disertai senyuman khas yang dihiasi lesung pipi.
“Oh, baiklah, Ayah akan menunggu. Tapi bagaimana kalau kamu pelihara ini?”, aku menawarkan seekor kucing kecil berwarna abu-abu yang sedang tidur telentang dalam kandangnya.
“Iya itu lucu, tapi aku nggak mau kucing. Nanti pipisnya sembarangan. Terus kalo aku lagi main keluar rumah siapa yang kasih makan?”, cerocosnya.
“Loh dia kan nanti bisa makan sendiri. Kamu tinggal taruh makanannya di tempat makannya dia dan pipisnya diajarin, kalau kamu sabar nanti dia bakal nurut kok.”
“Ah aku nggak mau, Yah.”
“Ya sudah. Kalau ini bagaimana?”, aku menunjuk hewan tanpa bulu yang sedang melingkar dan terdapat sisa kulit di sebelahnya, menurut pedagangnya memang baru berganti kulit tadi pagi.
“Itu seram Ayah! Dia itu nakal, sukanya makan daging!”, nadanya meninggi karena ketakutan akibat apa yang pernah ditontonnya di televise.
“Baiklah. Maafin Ayah. Yang ini aja ya Nak? Mau nggak?”, kali ini dengan rasa mulai menyerah, aku tetap mencoba untuk menawarkan seekor burung kecil berparuh bengkok berwarna hijau dan memakan biji-bijian.
“Hmm…tapi kalo aku peliharanya satu nanti dia kasian nggak punya teman. Itu aja dia rame-rame dikandangnya. Ayah…biarin aku pilih sendiri ya. Aku juga lagi audisi siapa yang bakal jadi hewan peliharaanku di hari aku ulang tahun ini.”, anakku pun terlihat mulai tidak mau dicampuri urusan kado yang akan kuberikan padanya hari ini.
Lalu kami melanjutkan mendatangi setiap toko yang menjual peliharaan di area tersebut.
Lima menit. Sepuluh menit. Tiga puluh menit.
“Ayah, aku udah nemu apa yang aku mau. Aku mau ini.”, dengan suara semangat dan bola mata yang membundar karena akhirnya anakku menemukan hewan pilihannya.
Dia menunjukkan seekor hewan dengan bulu halus dan aktif mirip seperti tikus namun ukurannya lebih kecil, orang-orang biasa menyebutnya Hamster. Dia menjatuhkan pilihannya pada hewan kecil itu. Hewan yang menurutnya tidak akan terlalu merepotkan bila dipelihara. Dia ingin membeli sepasang dan berjanji untuk merawat hewan-hewan itu. Aku pun mengiyakan pilihannya.
Kandang. Makanan. Dua teman terpilih yang mungil. Kemudian kami pun pulang kembali ke rumah.
***
“Selamat Ulang Tahun ke 7, Jagoanku yang manis! Maaf Ayah belum bisa memberikanmu yang terbaik atau bahkan membuatkanmu sebuah pesta ulang tahun. Semoga kamu mengerti dan menjadi anak yang penurut dan sayang dengan Ayahmu. Kado apa yang kamu mau, Nak?”, ucapku seraya menyemangatinya.
“Aku mau hewan peliharaan, Yah.”, mulut kecilnya menjelaskan.
“Hewan apa?”
“Belum tau Yah. Ayo sekarang kita ke toko hewan aja.”, dia bergegas menarik tanganku untuk mengajak ke toko hewan.
“Ayo!”
Dan kami pun sudah berada di dalam perut taksi menuju kawasan di daerah Jakarta Selatan yang terkenal menjual banyak hewan peliharaan.
***
Di tempat penjualan hewan.
“Kamu mau yang mana Nak?”, tanyaku sambil memegang tangannya yang mungil dan melihat-lihat keadaan sekitarnya.
“Sebentar ya Yah. Aku masih bingung.”, jawabnya disertai senyuman khas yang dihiasi lesung pipi.
“Oh, baiklah, Ayah akan menunggu. Tapi bagaimana kalau kamu pelihara ini?”, aku menawarkan seekor kucing kecil berwarna abu-abu yang sedang tidur telentang dalam kandangnya.
“Iya itu lucu, tapi aku nggak mau kucing. Nanti pipisnya sembarangan. Terus kalo aku lagi main keluar rumah siapa yang kasih makan?”, cerocosnya.
“Loh dia kan nanti bisa makan sendiri. Kamu tinggal taruh makanannya di tempat makannya dia dan pipisnya diajarin, kalau kamu sabar nanti dia bakal nurut kok.”
“Ah aku nggak mau, Yah.”
“Ya sudah. Kalau ini bagaimana?”, aku menunjuk hewan tanpa bulu yang sedang melingkar dan terdapat sisa kulit di sebelahnya, menurut pedagangnya memang baru berganti kulit tadi pagi.
“Itu seram Ayah! Dia itu nakal, sukanya makan daging!”, nadanya meninggi karena ketakutan akibat apa yang pernah ditontonnya di televise.
“Baiklah. Maafin Ayah. Yang ini aja ya Nak? Mau nggak?”, kali ini dengan rasa mulai menyerah, aku tetap mencoba untuk menawarkan seekor burung kecil berparuh bengkok berwarna hijau dan memakan biji-bijian.
“Hmm…tapi kalo aku peliharanya satu nanti dia kasian nggak punya teman. Itu aja dia rame-rame dikandangnya. Ayah…biarin aku pilih sendiri ya. Aku juga lagi audisi siapa yang bakal jadi hewan peliharaanku di hari aku ulang tahun ini.”, anakku pun terlihat mulai tidak mau dicampuri urusan kado yang akan kuberikan padanya hari ini.
Lalu kami melanjutkan mendatangi setiap toko yang menjual peliharaan di area tersebut.
Lima menit. Sepuluh menit. Tiga puluh menit.
“Ayah, aku udah nemu apa yang aku mau. Aku mau ini.”, dengan suara semangat dan bola mata yang membundar karena akhirnya anakku menemukan hewan pilihannya.
Dia menunjukkan seekor hewan dengan bulu halus dan aktif mirip seperti tikus namun ukurannya lebih kecil, orang-orang biasa menyebutnya Hamster. Dia menjatuhkan pilihannya pada hewan kecil itu. Hewan yang menurutnya tidak akan terlalu merepotkan bila dipelihara. Dia ingin membeli sepasang dan berjanji untuk merawat hewan-hewan itu. Aku pun mengiyakan pilihannya.
Kandang. Makanan. Dua teman terpilih yang mungil. Kemudian kami pun pulang kembali ke rumah.
***
Kita SATU
Oleh: (@TengkuAR)
“Apa yang sedang kamu rasakan saat ini?”
“Sama denganmu.”
“Apa?”
“Kamu merasakan apa?”
“Aku sedang bertanya padamu! Kenapa kamu balik bertanya!”
“Sedikit pusing.”
“Kenapa kita merasakan hal yang sama? Sejak kapan kamu merasakan pusing?”
“Sejak kamu bertanya tadi.”
“Begitu ya? Ini aneh, aku pun juga merasa seperti itu. Dan itu kenapa aku bertanya padamu.”
“Oh ya?”
“Iya! Ini aneh! Bagaimana bisa?”
“Entahlah. Kamu yang punya jawabannya.”
“Aku ingin pusingku hilang.”
“Bagaimana caranya?”
“Belumku dapatkan. Biarkanku berpikir.”
***
Sejam kemudian.
“Aha! Aku sudah dapat jawabannya!”
“Apa?”
“Ini! Aku dapatkan dari laci kaca dekat jendela”
“Untuk apa itu?”
“Rileks. Maka pusingmu akan hilang. Kita ini satu raga dan jiwa. Kamu tahu itu.”
CROOOTTT!!
Darah pun muncrat dari lehernya dan membasahi seprai di tempat tidurnya. Rasa pusing mereka hilang bersamaan dengan kepala dan nyawanya.
***
“Apa yang sedang kamu rasakan saat ini?”
“Sama denganmu.”
“Apa?”
“Kamu merasakan apa?”
“Aku sedang bertanya padamu! Kenapa kamu balik bertanya!”
“Sedikit pusing.”
“Kenapa kita merasakan hal yang sama? Sejak kapan kamu merasakan pusing?”
“Sejak kamu bertanya tadi.”
“Begitu ya? Ini aneh, aku pun juga merasa seperti itu. Dan itu kenapa aku bertanya padamu.”
“Oh ya?”
“Iya! Ini aneh! Bagaimana bisa?”
“Entahlah. Kamu yang punya jawabannya.”
“Aku ingin pusingku hilang.”
“Bagaimana caranya?”
“Belumku dapatkan. Biarkanku berpikir.”
***
Sejam kemudian.
“Aha! Aku sudah dapat jawabannya!”
“Apa?”
“Ini! Aku dapatkan dari laci kaca dekat jendela”
“Untuk apa itu?”
“Rileks. Maka pusingmu akan hilang. Kita ini satu raga dan jiwa. Kamu tahu itu.”
CROOOTTT!!
Darah pun muncrat dari lehernya dan membasahi seprai di tempat tidurnya. Rasa pusing mereka hilang bersamaan dengan kepala dan nyawanya.
***
Satu Hari
Oleh: Clarice Natasha (@C_arice)
Sosok itu adalah sosok yang sangat berharga dalam hidupku. Entah kenapa aku tak dapat membiarkannya begitu saja. Dari kejauhan, cukup dari kejauhan saja aku melihatnya. Padahal setiap hari berbicara padanya, padahal setiap hari berjalan pergi ke sekolah dengannya. Tapi entah mengapa, aku tak dapat berhenti melihat wajahnya. Apalagi melihat keseriusan di wajahnya saat sedang bermain sepak bola. Sungguh keren.
“Hei, Christa. Lagi-lagi negliatin si…”
“Uwaaa! Stop! Stop! Jangan sebut namanya!” Aku mencoba untuk menutup mulutnya dengan tanganku. Tapi dia berhasil menangkisnya. Namun dia tak melanjutkan kata-katanya dan malah tersenyum.
“Dasar, kau suka banget ya sama dia?”
Aku melihat ke arah muka Chika yang walau memperlihatkan sebuah senyum, namun tergambar keseriusan dimatanya. Dengan keras, aku mencoba menggeleng dan tersenyum balik. “Sudahlah, lupakan, habis ini ulangan biologi kan? Mati aku belom belajar! Ayo!” Dengan perasaan tak enak, aku berlari menuju kelas terlebih dahulu. Meninggalkan Chika, sosok itu dan aku juga meninggalkan sebuah kebohongan.
“Chika! Aku pulang dulu ya!” Aku melambaikan tanganku ke arahnya. Tapi Chika hanya membalasnya dengan senyuman dan matanya, seperti biasa. Walau begitu, aku merasa ada sesuatu yang aneh. Akhir-akhir ini Chika jadi nggak bawel kayak dulu lagi, sekarang entah kenapa Chika lebih pendiam dan cuek. Apa yang sebenarnya telah terjadi padanya?
“Hoi, Chris, jangan ngelamun atau nggak kamu bakal…”
“Ap…”
Sebelum sempat membalas perkataannya, aku menabrak sesuatu di depanku hingga jatuh ke tanah. Sial. Aku melihat benda yang aku tabrak tadi, pohon sialan, gede banget sih. Kutukku dalam hati. Jonathan yang melihat hal itu bukannya bantuin berdiri kek atau apa kek, eh malah ketawa-tawa nggak jelas. Aku memegangi kepalaku. Sakit.
“Hei, kamu bisa berdiri nggak? Sumpah, kalo ngelawak jangan terang-terangan di depan umum kayak begini.”
“Aku nggak ngelawak, ini sih namanya sakit bodoh.”
“Iya deh, sini, aku bantu berdiri.”
Jo mengulurkan tangannya padaku. Ah, baiknya. Ini memang termasuk hal yang kusukai dari dirinya. Ya, dialah sosok yang kupandang sepanjang hari tanpa mengetahui apa arti kata bosan. Aku sangat menyukainya. “Itu,” Katanya memulai pembicaraan sementara aku masih memegangi kepalaku yang sakit karena tertabrak pohon tadi. “Aku mau curhat dong.” Begitu mendengar kata itu, aku langsung menengok ke arah mukanya dan melupakan rasa sakitku tadi. Aku menatapnya dengan datar sekaligus mengejek lalu tertawa kecil. “Tentu. Raja patah hati.”
Setiap kali jonathan ini patah hati, selalu aku yang kena imbasnya, aduh capeknya menjadi teman baiknya. Tapi justru, aku merasa hal ini menarik karena akupun dapat introspeksi diri dari hal-hal yang diceritakannya. Kira-kira, siapa kali ini orang yang disukainya?
“Aku mau nembak orang.” Katanya dengan nada datar. Oh… nembak orang, itu sih sudah hal biasa… eh… tunggu. Nembak?! Aku memberhentikan langkahku dan menatap dia dengan ketidak percayaan. Pertama kalinya sejak aku pernah bertemu dengan Jonathan, dia bilang kalau dia akan menembak seseorang! Aku memegangi pipiku dan mulai berkhayal. Siapa tau, kali ini aku yang hoki. Aku tersenyum. Tapi jangan disini, aku menggelengkan kepalaku dan mulai berjalan lagi.
“Siapa?”
“Rahasia dong.”
“Kapan mau nembak?”
“Nggak tentu.”
“Payah.” Aku mendengus. “Ah aku udah di rumah, yaudah ya, makasih udah anterin, bye bye!”
“Bye…” Dia tersenyum lemah.
“YA AMPUN!” Aku berteriak keras. Ternyata, hari ini saat aku melihat tanggal, tercantum tanggal 11 November 2011! 11-11-11! Angka hoki yang tak akan muncul lagi seumur hidupku! Mungkin, memang hari ini. Mungkin, hari ini adalah hari yang tepat untuk menyatakan perasaanku yang sudah terpendam sekian lama. Mungkin, memang sudah saatnya.
Aku berlari menuruni tangga begitu bel berbunyi dan mulai mencari kelas Jonathan hari ini. Kira-kira dimana ya? Aku melihat ke sekitar. Ah, itu dia! Apa yang dia lakukan di depan gym yang sepi banget? Apa yang dia lakukan? Tapi, saat ini mungkin memang saat yang tepat bukan? Tempat yang sepi dan tanggal yang menunjukan angka 1 berderet. Semoga Tuhan memberkatiku.
“Jo!” Aku meneriakan namanya, tapi sepertinya dia tak mendengar. Lalu perlahan, aku mendekat ke tubuhnya yang membelakangiku. Baru saja aku akan menepok punggungnya saat…
“Aku suka kamu.”
Tunggu, apa yang dia katakan? Bukan, dia tidak menunjukan kata-katanya itu padaku. Bukan. Dia menunjukannya kepada orang yang di hadapannya. Yang tertutup tubuhnya yang besar. Orang itu adalah, Chika.
Chika. Teman baikku. Chika lah orang yang disukai Jonathan. Aku menarik kembali tanganku dan perlahan, aku berjalan mundur. Namun ketika itu, tanpa sengaja aku mendengar balasan Chika. “Aku juga.” Cukup. Berhenti. Sudah cukup. Aku sudah tak tahan lagi. Ketika aku akan berlari, sempat aku bertatapan mata dengan Chika. Yang malah membuat rasa pedihku bertambah. Aku berlari meninggalkan kedua orang itu dan menahan airmataku. Namun tak dapat kutahan. Ada apa denganku. Kenapa, hatiku terasa pedih sekali.
Aku pun jatuh menghantam lantai. Kenapa, aku merasa seperti dikhianati? Aku menangis. Apakah aku tak dapat merasakan bahagia? Apakah aku harus mengalami hal seperti ini? Cinta pertamaku.
Sampai jumpa.
Sosok itu adalah sosok yang sangat berharga dalam hidupku. Entah kenapa aku tak dapat membiarkannya begitu saja. Dari kejauhan, cukup dari kejauhan saja aku melihatnya. Padahal setiap hari berbicara padanya, padahal setiap hari berjalan pergi ke sekolah dengannya. Tapi entah mengapa, aku tak dapat berhenti melihat wajahnya. Apalagi melihat keseriusan di wajahnya saat sedang bermain sepak bola. Sungguh keren.
“Hei, Christa. Lagi-lagi negliatin si…”
“Uwaaa! Stop! Stop! Jangan sebut namanya!” Aku mencoba untuk menutup mulutnya dengan tanganku. Tapi dia berhasil menangkisnya. Namun dia tak melanjutkan kata-katanya dan malah tersenyum.
“Dasar, kau suka banget ya sama dia?”
Aku melihat ke arah muka Chika yang walau memperlihatkan sebuah senyum, namun tergambar keseriusan dimatanya. Dengan keras, aku mencoba menggeleng dan tersenyum balik. “Sudahlah, lupakan, habis ini ulangan biologi kan? Mati aku belom belajar! Ayo!” Dengan perasaan tak enak, aku berlari menuju kelas terlebih dahulu. Meninggalkan Chika, sosok itu dan aku juga meninggalkan sebuah kebohongan.
“Chika! Aku pulang dulu ya!” Aku melambaikan tanganku ke arahnya. Tapi Chika hanya membalasnya dengan senyuman dan matanya, seperti biasa. Walau begitu, aku merasa ada sesuatu yang aneh. Akhir-akhir ini Chika jadi nggak bawel kayak dulu lagi, sekarang entah kenapa Chika lebih pendiam dan cuek. Apa yang sebenarnya telah terjadi padanya?
“Hoi, Chris, jangan ngelamun atau nggak kamu bakal…”
“Ap…”
Sebelum sempat membalas perkataannya, aku menabrak sesuatu di depanku hingga jatuh ke tanah. Sial. Aku melihat benda yang aku tabrak tadi, pohon sialan, gede banget sih. Kutukku dalam hati. Jonathan yang melihat hal itu bukannya bantuin berdiri kek atau apa kek, eh malah ketawa-tawa nggak jelas. Aku memegangi kepalaku. Sakit.
“Hei, kamu bisa berdiri nggak? Sumpah, kalo ngelawak jangan terang-terangan di depan umum kayak begini.”
“Aku nggak ngelawak, ini sih namanya sakit bodoh.”
“Iya deh, sini, aku bantu berdiri.”
Jo mengulurkan tangannya padaku. Ah, baiknya. Ini memang termasuk hal yang kusukai dari dirinya. Ya, dialah sosok yang kupandang sepanjang hari tanpa mengetahui apa arti kata bosan. Aku sangat menyukainya. “Itu,” Katanya memulai pembicaraan sementara aku masih memegangi kepalaku yang sakit karena tertabrak pohon tadi. “Aku mau curhat dong.” Begitu mendengar kata itu, aku langsung menengok ke arah mukanya dan melupakan rasa sakitku tadi. Aku menatapnya dengan datar sekaligus mengejek lalu tertawa kecil. “Tentu. Raja patah hati.”
Setiap kali jonathan ini patah hati, selalu aku yang kena imbasnya, aduh capeknya menjadi teman baiknya. Tapi justru, aku merasa hal ini menarik karena akupun dapat introspeksi diri dari hal-hal yang diceritakannya. Kira-kira, siapa kali ini orang yang disukainya?
“Aku mau nembak orang.” Katanya dengan nada datar. Oh… nembak orang, itu sih sudah hal biasa… eh… tunggu. Nembak?! Aku memberhentikan langkahku dan menatap dia dengan ketidak percayaan. Pertama kalinya sejak aku pernah bertemu dengan Jonathan, dia bilang kalau dia akan menembak seseorang! Aku memegangi pipiku dan mulai berkhayal. Siapa tau, kali ini aku yang hoki. Aku tersenyum. Tapi jangan disini, aku menggelengkan kepalaku dan mulai berjalan lagi.
“Siapa?”
“Rahasia dong.”
“Kapan mau nembak?”
“Nggak tentu.”
“Payah.” Aku mendengus. “Ah aku udah di rumah, yaudah ya, makasih udah anterin, bye bye!”
“Bye…” Dia tersenyum lemah.
“YA AMPUN!” Aku berteriak keras. Ternyata, hari ini saat aku melihat tanggal, tercantum tanggal 11 November 2011! 11-11-11! Angka hoki yang tak akan muncul lagi seumur hidupku! Mungkin, memang hari ini. Mungkin, hari ini adalah hari yang tepat untuk menyatakan perasaanku yang sudah terpendam sekian lama. Mungkin, memang sudah saatnya.
Aku berlari menuruni tangga begitu bel berbunyi dan mulai mencari kelas Jonathan hari ini. Kira-kira dimana ya? Aku melihat ke sekitar. Ah, itu dia! Apa yang dia lakukan di depan gym yang sepi banget? Apa yang dia lakukan? Tapi, saat ini mungkin memang saat yang tepat bukan? Tempat yang sepi dan tanggal yang menunjukan angka 1 berderet. Semoga Tuhan memberkatiku.
“Jo!” Aku meneriakan namanya, tapi sepertinya dia tak mendengar. Lalu perlahan, aku mendekat ke tubuhnya yang membelakangiku. Baru saja aku akan menepok punggungnya saat…
“Aku suka kamu.”
Tunggu, apa yang dia katakan? Bukan, dia tidak menunjukan kata-katanya itu padaku. Bukan. Dia menunjukannya kepada orang yang di hadapannya. Yang tertutup tubuhnya yang besar. Orang itu adalah, Chika.
Chika. Teman baikku. Chika lah orang yang disukai Jonathan. Aku menarik kembali tanganku dan perlahan, aku berjalan mundur. Namun ketika itu, tanpa sengaja aku mendengar balasan Chika. “Aku juga.” Cukup. Berhenti. Sudah cukup. Aku sudah tak tahan lagi. Ketika aku akan berlari, sempat aku bertatapan mata dengan Chika. Yang malah membuat rasa pedihku bertambah. Aku berlari meninggalkan kedua orang itu dan menahan airmataku. Namun tak dapat kutahan. Ada apa denganku. Kenapa, hatiku terasa pedih sekali.
Aku pun jatuh menghantam lantai. Kenapa, aku merasa seperti dikhianati? Aku menangis. Apakah aku tak dapat merasakan bahagia? Apakah aku harus mengalami hal seperti ini? Cinta pertamaku.
Sampai jumpa.
Kamis, 10 November 2011
Sunday Morning
Oleh: Khairunnisa Putri K (@Pupuutc)
Alunan lagu Fireworks dari Katy Perry membuatku terjaga seketika. Kamarku tak lagi gelap meski aku tak pernah lupa mematikan lampu. Meskipun begitu, tak ada sinar matahari yang menembus masuk melalui jendelaku. Dengan mata masih sarat kantuk, aku beranjak dari tempat tidurku yang nyaman dan menyingkap tirai berwarna pastel di samping meja belajar.
Gerimis.
Aku kembali bergelung di tempat tidurku, memeluk guling dan bersembunyi di bawah selimut. Tanganku meraih ponsel. Selama lebih dari lima menit, pandanganku terkunci pada layar mungilnya. Tak peduli berapa kali pun aku mengingkarinya, harapan itu masih ada. Masih sangat kuat mengakar pada hati dan benakku. Namun, yang kutunggu tak kunjung datang. Tak ada vibrasi singkat pada ponselku maupun pesan masuk darimu.
Kesal, kulangkahkan tungkaiku keluar kamar. Livia, adik perempuanku, tampak sedang menikmati hidangan paginya, sepiring pisang goreng yang masih hangat. Aku menarik kursi di hadapannya.
“Tumben Kak Anti jam segini udah keluar kamar, biasanya masih tidur-tiduran di kasur, teleponan, ketawa-ketawa sendiri sampai jam sepuluh,” ujarnya membuka pembicaraan. Sudah hapal betul tabiatku.
Aku melirik jam dinding di ujung ruangan. Jarum jamnya menunjukkan pukul enam lebih lima belas. Memang agak terlalu pagi bagi seorang aku untuk duduk di meja makan dan bergabung dengannya. Aku tersenyum simpul.
“Emang kamu nggak tahu?” tanyaku. Tentu saja Livia tidak tahu.
Kening Livia berkerut sesaat kemudian menggeleng clueless. “Ngga tahu, emang apaan sih Kak yang harus aku tahu?”
Aku hanya angkat bahu dan mengedip jahil. “Ada deh,” ujarku seraya bangkit berdiri. Aku mencomot sebuah pisang goreng dan berjalan kembali ke kamar.
Lagi-lagi aku terpaku menatap ponselku. Aku benci diriku yang tuerus-menerus menunggunya. Detik berikutnya, kuletakkan ponselku di meja belajar yang jauh dari tempat tidur dan berpikir. Pagi ini sangat berbeda dengan pagi-pagiku sebelumnya.
Biasanya, Adrian selalu mengirimiku sms selamat pagi dengan kata-katanya yang sederhana dan manis. Kemudian, ia akan meneleponku dan kami akan menghabiskan sepanjang pagi berbincang dan tertawa mengenai apa pun. Sering kali kami membicarakan pagi. Ia akan menceritakan pagi harinya di Bali dan aku akan menceritakan pagi hariku di Jakarta.
Mengapa pagi? Karena kami sama-sama menyukai pagi. Waktu dimana matahari belum naik ke singgasananya, burung-burung berkicau lembut, udara sejuk menyusup melalui ventilasi kamar, dan bertetes-tetes embun mampir di jendela kami. Sekarang, setelah Adrian tak lagi menjadi milikku, rasanya aku benci pagi.
Aku menyalakan televisi, channel 271, MTV Asia. Mereka sedang menayangkan video klip lama lagu Sunday Morning milik Maroon 5. Kudengarkan liriknya baik-baik dan sampai pada baris dimana aku hampir menangis.
But things just get so crazy living life gets hard to do
And I would gladly hit the road get up and go if I knew
That someday it would bring me back to you
That someday it would bring me back to you
Air mataku jatuh dan membasahi bantal winnie the pooh-ku, salah satu hadiah dari Adrian. Mungkin seterusnya, seperti inilah pagi yang harus kulewati tanpa adanya ia di dekatku. Entah harus berapa kali kudengar lagu ini sampai hatiku benar-benar terbiasa tanpa dirinya.
***
Alunan lagu Fireworks dari Katy Perry membuatku terjaga seketika. Kamarku tak lagi gelap meski aku tak pernah lupa mematikan lampu. Meskipun begitu, tak ada sinar matahari yang menembus masuk melalui jendelaku. Dengan mata masih sarat kantuk, aku beranjak dari tempat tidurku yang nyaman dan menyingkap tirai berwarna pastel di samping meja belajar.
Gerimis.
Aku kembali bergelung di tempat tidurku, memeluk guling dan bersembunyi di bawah selimut. Tanganku meraih ponsel. Selama lebih dari lima menit, pandanganku terkunci pada layar mungilnya. Tak peduli berapa kali pun aku mengingkarinya, harapan itu masih ada. Masih sangat kuat mengakar pada hati dan benakku. Namun, yang kutunggu tak kunjung datang. Tak ada vibrasi singkat pada ponselku maupun pesan masuk darimu.
Kesal, kulangkahkan tungkaiku keluar kamar. Livia, adik perempuanku, tampak sedang menikmati hidangan paginya, sepiring pisang goreng yang masih hangat. Aku menarik kursi di hadapannya.
“Tumben Kak Anti jam segini udah keluar kamar, biasanya masih tidur-tiduran di kasur, teleponan, ketawa-ketawa sendiri sampai jam sepuluh,” ujarnya membuka pembicaraan. Sudah hapal betul tabiatku.
Aku melirik jam dinding di ujung ruangan. Jarum jamnya menunjukkan pukul enam lebih lima belas. Memang agak terlalu pagi bagi seorang aku untuk duduk di meja makan dan bergabung dengannya. Aku tersenyum simpul.
“Emang kamu nggak tahu?” tanyaku. Tentu saja Livia tidak tahu.
Kening Livia berkerut sesaat kemudian menggeleng clueless. “Ngga tahu, emang apaan sih Kak yang harus aku tahu?”
Aku hanya angkat bahu dan mengedip jahil. “Ada deh,” ujarku seraya bangkit berdiri. Aku mencomot sebuah pisang goreng dan berjalan kembali ke kamar.
Lagi-lagi aku terpaku menatap ponselku. Aku benci diriku yang tuerus-menerus menunggunya. Detik berikutnya, kuletakkan ponselku di meja belajar yang jauh dari tempat tidur dan berpikir. Pagi ini sangat berbeda dengan pagi-pagiku sebelumnya.
Biasanya, Adrian selalu mengirimiku sms selamat pagi dengan kata-katanya yang sederhana dan manis. Kemudian, ia akan meneleponku dan kami akan menghabiskan sepanjang pagi berbincang dan tertawa mengenai apa pun. Sering kali kami membicarakan pagi. Ia akan menceritakan pagi harinya di Bali dan aku akan menceritakan pagi hariku di Jakarta.
Mengapa pagi? Karena kami sama-sama menyukai pagi. Waktu dimana matahari belum naik ke singgasananya, burung-burung berkicau lembut, udara sejuk menyusup melalui ventilasi kamar, dan bertetes-tetes embun mampir di jendela kami. Sekarang, setelah Adrian tak lagi menjadi milikku, rasanya aku benci pagi.
Aku menyalakan televisi, channel 271, MTV Asia. Mereka sedang menayangkan video klip lama lagu Sunday Morning milik Maroon 5. Kudengarkan liriknya baik-baik dan sampai pada baris dimana aku hampir menangis.
But things just get so crazy living life gets hard to do
And I would gladly hit the road get up and go if I knew
That someday it would bring me back to you
That someday it would bring me back to you
Air mataku jatuh dan membasahi bantal winnie the pooh-ku, salah satu hadiah dari Adrian. Mungkin seterusnya, seperti inilah pagi yang harus kulewati tanpa adanya ia di dekatku. Entah harus berapa kali kudengar lagu ini sampai hatiku benar-benar terbiasa tanpa dirinya.
***
Selasa, 08 November 2011
Terima Kasih Penemu Jarum
Oleh: @TengkuAR
TEEETTT!
Bel istirahat berbunyi.
“Malesnya karena hari ini ada pelajaran kesenian setelah jam istirahat nanti. Sebegitu pentingnya pelajaran ini sampai harus ada di kurikulum kesenian. Memangnya nanti kita mau buka toko jahit? Apalagi terlalu mengada-ada untuk sekolah menengah umum ini. Harusnya pelajaran ini kan adanya di sekolah kejuruan. Ah! Menyebalkan.”, keluhku dalam hati saat memasukkan buku dan bersiap untuk istirahat.
Tiba-tiba…
“Eh Li, loe udah bawa keperluan buat kesenian nanti?”, tanya Ayi, teman sebangku sambil menuju keluar kelas untuk ke kantin.
“Bawalah dan benar-benar bikin tas gue berat tahu nggak! Bete banget!”, aku menunjukan amarah.
“Nyantai dong Li, toh juga cuma sejam kan tuh pelajaran. Semoga nanti kita satu kelompok ya!”
“Kelompok? Memang bakal dibuat kelompok?”
“Katanya sih gitu. Udah yuk ah kita ke kantin daripada kehabisan makanan.”
Aku dan Ayi pun meluncur dengan gesit ke kantin tanpa memedulikan tentang pelajaran kesenian nanti akan seperti apa.
***
TEEETTT!
Tanda bahwa istirahat telah berakhir.
“Inilah saatnya.”, pikirku
“Selamat pagi menjelang siang anak-anak. Nah! Ibu sekarang akan membagikan kalian ke dalam kelompok karena hari ini kita masuk Bab 4 tentang pelajaran jenis-jenis tusuk dalam menjahit. Ingatkan kalian sudah Ibu minta untuk membawa peralatannya.”, suara Ibu Ira terdengar sangat antusias untuk mengajarkan pelajaran jenis-jenis tusuk ini.
“Lia, Lukman, Lardo dan Lisa. Kalian satu kelompok ya.”, akhirnya namaku disebut sesuai dengan urutan abjad.
“Tapi, siapa yang sekelompok sama gue tadi? Lukman? Apa gue nggak salah dengar? Lukman? Ah! Ternyata benar karena tiba-tiba Lisa menarik tangan gue buat duduk di tempat yang sudah disediain sama Lardo.”, lagi-lagi aku berkata dalam hati.
Lukman memang bukan yipe cowok favorit di sekolah atau bahkan di kelas. Tapi sejujurnya aku telah suka padanya dari kelas satu lalu, saat hari pertama Masa Orientasi Siswa (MOS). Dia berpostur tubuh tinggi, berkulit cokelat dan memakai kacamata.
Entah rasa dari mana, aku tiba-tiba suka begitu saja. Dan baru kali ini aku sekelas dengannya. Rasa ini sengaja kusimpan karena memang aku tak ingin ada orang yang tahu karena aku takut menjadi ejekan anak-anak di kelas. Hanya aku saja yang cukup merasakannya.
Lalu, Ibu Ira pun lanjut menerangkan tentang jenis-jenis tusukan dan mempraktekkan bagaimana caranya untuk melakukan tusukan-tusukan itu.
“Haduh gue nggak bawa jarumnya lagi nih. Gue lupa, semalam soalnya baru balik dari rumah sakit jam sebelas malam.”, tiba-tiba Lukman bersuara dengan muka panik.
“Loe nggak bawa? Di sini ada yang bawa jarum cadangan nggak, ladies?”, Lardo coba membantu temannya itu.
“Yah, gue nggak ada Do. Lia kali tuh punya.”, balas Lisa.
“Sebentar, kayaknya sih gue ada deh. Semoga aja ada. Nah! Ini dia ketemu. Nih Man jarumnya.”, aku berusaha mencari ke dalam dompet kecil tempat peralatan jahit yang semalam sudah kusiapkan.
“Thanks ya Li.”, ucap Lukman dengan disuguhi senyum termanisnya.
Saat itu aku merasa waktu berjalan lambat. Lukman, pria yang kukagumi dan akhirnya aku bisa saling menyapa karena selama ini aku yakin kita hanya saling tahu nama dan muka masing-masing. Aku seolah sedang menaiki balon terbang dengan bantuan rasa yang kupunya untuk bisa terbang. Indah.
***
TEEETTT!!!
Bel pulang sekolah pun berbunyi.
Kemudian…
“Li ini jarumnya. Thanks ya. Sorry jadi ngerepotin loe.”, seperti bayangan, Lukman sudah berada di depan mejaku saat ku sedang merapikan buku-buku pelajaran ke dalam tas.
“Oh iya, sama-sama.”, balasku berusaha untuk tidak kelihatan gugup.
“By The Way, pulang sama siapa?”
“Hmm… naik angkot.”
“Oh, Okay! Sekali lagi thanks ya Li.”
Dan aku hanya membalas dengan tersenyum.
“Tuhan! Akhirnya. Ak-hir-nya! Ini udah lama gue mau. Meskipun hanya sekedar obrolan sesaat. Tapi setidaknya gue bisa ngobrol. Terima kasih Tuhan! Dan terima kasih kepada penemu Jarum, mungkin ini terlalu berlebihan tapi kalau bukan karena jarum, gue nggak akan bisa ngobrol-ngobrol kayak tadi.”
Mulai dari hari ini aku tak sabar untuk setiap pelajaran kesenian.
TEEETTT!
Bel istirahat berbunyi.
“Malesnya karena hari ini ada pelajaran kesenian setelah jam istirahat nanti. Sebegitu pentingnya pelajaran ini sampai harus ada di kurikulum kesenian. Memangnya nanti kita mau buka toko jahit? Apalagi terlalu mengada-ada untuk sekolah menengah umum ini. Harusnya pelajaran ini kan adanya di sekolah kejuruan. Ah! Menyebalkan.”, keluhku dalam hati saat memasukkan buku dan bersiap untuk istirahat.
Tiba-tiba…
“Eh Li, loe udah bawa keperluan buat kesenian nanti?”, tanya Ayi, teman sebangku sambil menuju keluar kelas untuk ke kantin.
“Bawalah dan benar-benar bikin tas gue berat tahu nggak! Bete banget!”, aku menunjukan amarah.
“Nyantai dong Li, toh juga cuma sejam kan tuh pelajaran. Semoga nanti kita satu kelompok ya!”
“Kelompok? Memang bakal dibuat kelompok?”
“Katanya sih gitu. Udah yuk ah kita ke kantin daripada kehabisan makanan.”
Aku dan Ayi pun meluncur dengan gesit ke kantin tanpa memedulikan tentang pelajaran kesenian nanti akan seperti apa.
***
TEEETTT!
Tanda bahwa istirahat telah berakhir.
“Inilah saatnya.”, pikirku
“Selamat pagi menjelang siang anak-anak. Nah! Ibu sekarang akan membagikan kalian ke dalam kelompok karena hari ini kita masuk Bab 4 tentang pelajaran jenis-jenis tusuk dalam menjahit. Ingatkan kalian sudah Ibu minta untuk membawa peralatannya.”, suara Ibu Ira terdengar sangat antusias untuk mengajarkan pelajaran jenis-jenis tusuk ini.
“Lia, Lukman, Lardo dan Lisa. Kalian satu kelompok ya.”, akhirnya namaku disebut sesuai dengan urutan abjad.
“Tapi, siapa yang sekelompok sama gue tadi? Lukman? Apa gue nggak salah dengar? Lukman? Ah! Ternyata benar karena tiba-tiba Lisa menarik tangan gue buat duduk di tempat yang sudah disediain sama Lardo.”, lagi-lagi aku berkata dalam hati.
Lukman memang bukan yipe cowok favorit di sekolah atau bahkan di kelas. Tapi sejujurnya aku telah suka padanya dari kelas satu lalu, saat hari pertama Masa Orientasi Siswa (MOS). Dia berpostur tubuh tinggi, berkulit cokelat dan memakai kacamata.
Entah rasa dari mana, aku tiba-tiba suka begitu saja. Dan baru kali ini aku sekelas dengannya. Rasa ini sengaja kusimpan karena memang aku tak ingin ada orang yang tahu karena aku takut menjadi ejekan anak-anak di kelas. Hanya aku saja yang cukup merasakannya.
Lalu, Ibu Ira pun lanjut menerangkan tentang jenis-jenis tusukan dan mempraktekkan bagaimana caranya untuk melakukan tusukan-tusukan itu.
“Haduh gue nggak bawa jarumnya lagi nih. Gue lupa, semalam soalnya baru balik dari rumah sakit jam sebelas malam.”, tiba-tiba Lukman bersuara dengan muka panik.
“Loe nggak bawa? Di sini ada yang bawa jarum cadangan nggak, ladies?”, Lardo coba membantu temannya itu.
“Yah, gue nggak ada Do. Lia kali tuh punya.”, balas Lisa.
“Sebentar, kayaknya sih gue ada deh. Semoga aja ada. Nah! Ini dia ketemu. Nih Man jarumnya.”, aku berusaha mencari ke dalam dompet kecil tempat peralatan jahit yang semalam sudah kusiapkan.
“Thanks ya Li.”, ucap Lukman dengan disuguhi senyum termanisnya.
Saat itu aku merasa waktu berjalan lambat. Lukman, pria yang kukagumi dan akhirnya aku bisa saling menyapa karena selama ini aku yakin kita hanya saling tahu nama dan muka masing-masing. Aku seolah sedang menaiki balon terbang dengan bantuan rasa yang kupunya untuk bisa terbang. Indah.
***
TEEETTT!!!
Bel pulang sekolah pun berbunyi.
Kemudian…
“Li ini jarumnya. Thanks ya. Sorry jadi ngerepotin loe.”, seperti bayangan, Lukman sudah berada di depan mejaku saat ku sedang merapikan buku-buku pelajaran ke dalam tas.
“Oh iya, sama-sama.”, balasku berusaha untuk tidak kelihatan gugup.
“By The Way, pulang sama siapa?”
“Hmm… naik angkot.”
“Oh, Okay! Sekali lagi thanks ya Li.”
Dan aku hanya membalas dengan tersenyum.
“Tuhan! Akhirnya. Ak-hir-nya! Ini udah lama gue mau. Meskipun hanya sekedar obrolan sesaat. Tapi setidaknya gue bisa ngobrol. Terima kasih Tuhan! Dan terima kasih kepada penemu Jarum, mungkin ini terlalu berlebihan tapi kalau bukan karena jarum, gue nggak akan bisa ngobrol-ngobrol kayak tadi.”
Mulai dari hari ini aku tak sabar untuk setiap pelajaran kesenian.
Jarum, dan Benang Merah Antara Kau dan Aku
oleh : @meiizt
Kuaduk kenangan sampai kutub selatan diantara kita terbentuk.
Aku mengerling melewati pucuk-pucuk cemara, menyeka setiap salju yang menghalang mata.
Mencari bayanganmu, mengorek-ngorek lagi ingatan tentangmu. Kamu.
Ya, Kamu.
Aku begitu mencintaimu, tapi aku tak mengenalmu!
Kugali tumpukan air beku, udara beku, wajah beku, senyuman beku, memori beku.
Kuketuk-ketuk simpul beku yang melilit otakku. Mencarimu.
Mencari jarum beku yang menyimpan benang merah antara kau dan aku.
Semua beku mengaburkan tentangmu.
Begitu beku menyimpanmu rapat-rapat dari ujung indraku.
Kuaduk kenangan sampai persawahan diantara kita terbentang.
Kukocar-kacir jerami dalam gudang mencari jarum, yang mengait benang merahku dengan benang merahmu.
Tak ketemu.
Hanya kutemu kering-kering jerami yang mengejekku, menyembunyikanmu.
Hanya kutemu repih-repih lumpur sepi, mereka tak tahu dimana kamu!
Hanya kutemu bangkai serangga yang hanya tergolek tak peduli kehilanganku, kehilanganmu.
Mencari, aku menanyai tiap yang kering dan basah.
Mencari, aku menanyai tiap yang nafas dan yang bekas.
Aku mencintaimu, tapi aku bahkan tak mengingatmu!
Kuaduk kenangan sampai galaktika diantara kita mengembang.
Kujelajah Saturnus untuk mencari jarum diantara cincin-cincinnya.
Kuterobos Jupiter andaikata badai menyembunyikannya dari mataku.
Tak ada, tak ada, jarum berbenang merah.
Jarum pengait benang merah takdirmu dan takdirku.
Ah, tajam, tajam! Andromeda menghujaniku berbagai perasaan yang tajam.
Kehilangan.
Kamu.
Kahilangan bagai jarum menusukku hingga jantung,
Jantungku yang terus bertahan berdetak demi mencari jarum.
Jarum.
Pengikat kau dan aku.
ada dimana?
...
...
Ah, ketemu.
Jarum. Ada di dia. Di kakinya. Dihancurkannya.
Kekasihmu.
Memungut jarum dan benang merah yang mengikat aku dan kau dan menginjaknya sampai berkeping.
Sampai menjelma debu.
Abu.
Kuaduk kenangan sampai kutub selatan diantara kita terbentuk.
Aku mengerling melewati pucuk-pucuk cemara, menyeka setiap salju yang menghalang mata.
Mencari bayanganmu, mengorek-ngorek lagi ingatan tentangmu. Kamu.
Ya, Kamu.
Aku begitu mencintaimu, tapi aku tak mengenalmu!
Kugali tumpukan air beku, udara beku, wajah beku, senyuman beku, memori beku.
Kuketuk-ketuk simpul beku yang melilit otakku. Mencarimu.
Mencari jarum beku yang menyimpan benang merah antara kau dan aku.
Semua beku mengaburkan tentangmu.
Begitu beku menyimpanmu rapat-rapat dari ujung indraku.
Kuaduk kenangan sampai persawahan diantara kita terbentang.
Kukocar-kacir jerami dalam gudang mencari jarum, yang mengait benang merahku dengan benang merahmu.
Tak ketemu.
Hanya kutemu kering-kering jerami yang mengejekku, menyembunyikanmu.
Hanya kutemu repih-repih lumpur sepi, mereka tak tahu dimana kamu!
Hanya kutemu bangkai serangga yang hanya tergolek tak peduli kehilanganku, kehilanganmu.
Mencari, aku menanyai tiap yang kering dan basah.
Mencari, aku menanyai tiap yang nafas dan yang bekas.
Aku mencintaimu, tapi aku bahkan tak mengingatmu!
Kuaduk kenangan sampai galaktika diantara kita mengembang.
Kujelajah Saturnus untuk mencari jarum diantara cincin-cincinnya.
Kuterobos Jupiter andaikata badai menyembunyikannya dari mataku.
Tak ada, tak ada, jarum berbenang merah.
Jarum pengait benang merah takdirmu dan takdirku.
Ah, tajam, tajam! Andromeda menghujaniku berbagai perasaan yang tajam.
Kehilangan.
Kamu.
Kahilangan bagai jarum menusukku hingga jantung,
Jantungku yang terus bertahan berdetak demi mencari jarum.
Jarum.
Pengikat kau dan aku.
ada dimana?
...
...
Ah, ketemu.
Jarum. Ada di dia. Di kakinya. Dihancurkannya.
Kekasihmu.
Memungut jarum dan benang merah yang mengikat aku dan kau dan menginjaknya sampai berkeping.
Sampai menjelma debu.
Abu.
Sabtu, 05 November 2011
Idul Kurban
Oleh: (@RuriOnline)
Masjid Al Muhaimin.10 Dzulhijjah.
Roy Chandra tersenyum lebar pada puluhan kamera yang menyorot wajahnya. Dengan cerdik ia bergeser sedikit ke dekat para aktifis masjid yang sedang sibuk memotong-motong daging. Daging dari hewan-hewan kurban yang ia sumbangkan.
Biarlah semua kamera itu melihatnya. Makin banyak orang yang melihat kedermawanannya, makin bagus. Staf humasnya yang menyarankan begitu. Pemilu masih lama, tapi tak ada salahnya tebar pesona sedini mungkin, bukan? Membentuk citra diri.
Politisi setengah baya itu menjawab pertanyaan wartawan dengan wajah simpatik.
"Berkurban menjadi agenda rutin Bapak tiap tahun, apa benar Pak?"
"Yaahh memang seperti itu. Tapi di masjid yang berbeda-beda tiap tahunnya."
Padahal ini kali pertamanya!
"Ohya? Apa yang menjadi motivasi Bapak untuk berkurban?"
"Sekedar upaya menyenangkan Tuhan saya saja.. sekaligus berbagi pada sesama."
Juga untuk menyenangkan hati para calon pemilih saya di pemilu berikutnya, tentu!
"Menurut sumber kami, tahun ini Pak Roy menyumbangkan 20 ekor sapi dan 40 ekor kambing?"
Roy membelalakkan mata, "Sumber yang mana? Ah, Saudara bisa saja. Jumlahnya tak perlulah saya sebut!"
Sebetulnya, orang-orang suruhan Roy sendirilah yang memberitahukan jumlah itu pada wartawan.
Yah, sandiwara perlu juga kadang-kadang kan?
Di sudut lain masjid itu, para penerima daging kurban berdesak-desakan mengantri dengan kupon lusuh di tangan. Kupon itu pun kemarin mereka dapat setelah susah payah mengantri. Beberapa orang yang licik mengantri lebih dari sekali tanpa sepengetahuan panitia.
Rohmin mengusap peluh yang berleleran di wajah legamnya. Ia kipasi badannya yang berkeringat dengan topi hitam bututnya. Lelaki setengah baya itu tersenyum. Ditatapnya bungkusan plastik di tangan, jatah daging kurban dari panitia masjid. Alhamdulillah.
Akan dimasak menjadi apakah daging sapi ini nanti oleh Paini, istrinya? Sop daging sapi, seperti tahun kemarin? Atau gulai daging, seperti tahun kemarinnya lagi? Ah, mungkin enaknya dibuat sate, dimakan dengan sambal kacang! Rohmin mendengar perutnya berteriak minta diisi. Dia baru ingat, belum makan sejak pagi. Ia bergegas pulang.
Tapi langkahnya terhenti di dekat mulut gang. Seorang kakek renta duduk tertunduk di atas sebongkah batu. Beberapa kali ia mengusap mata dengan lengan bajunya yang kumal. Rohmin tahu, kakek itu menangis dalam diam.
Rohmin mendekat perlahan. Takut dikira sok ikut campur urusan orang.
"Kek.. Kakek kenapa?"
Kakek itu menggeleng.
"Habis kecopetan?"
Gelengan lagi.
"Kakek nyasar?"
"Bukan, Nak.." Akhirnya ia buka suara. "Kakek nggak kebagian kupon kemarin.. Kakek nggak kuat desek-desekan antri kupon.."
Rohmin ikut duduk di sebelah kakek kurus itu.
"Tadi Kakek kesini, yah kali-kali masih bisa dapet jatah daging.. Biar cuma seiris juga Kakek mau.."
Rohmin tahu, bagi orang-orang semacam dia dan kakek ini, makan daging adalah kemewahan yang boleh jadi cuma ada setahun sekali. Ya saat Idul Adha begini.
"Kakek mah nggak apa-apa nggak makan daging. Tapi cucu Kakek yang masih kecil, dia dari kemarin nangis terus ingin nyoba makan daging, katanya pingin tahu rasanya kayak apa sih.."
"Lho memang cucunya belum pernah makan daging sapi, Kek?"
"Sejak mbrojol ditinggal mati emaknya, saya gedein sampe umur 6 taun, belum pernah, Nak. Kakek mah nggak sanggup beli daging. Dapat daging kurban juga jaraaang.. Kakek kalah gesit antrinya.."
Rohmin menatap lagi plastik di genggamannya. Ading dan Jajang, dua jagoan kecilnya pasti sudah menunggu-nunggu daging kurban ini. Menu luar biasa yang hanya bisa mereka nikmati setahun sekali. Tapi...
Rohmin bergegas pulang. Langkahnya ringan. Bungkusan berisi daging sapi itu bukan miliknya lagi sekarang.
"Daging ini... buat Kakek?" Kedua mata yang penuh keriput di sudut-sudutnya itu membelalak. Rohmin mengangguk.
"Tapi.. tapi Anak sendiri.. gimana? Ini kan.. rezekinya Anak, sama keluarga Anak.." Tangan berbonggol-bonggol itu gemetar menggenggam plastik yang disurukkan Rohmin ke situ.
"Keluarga saya mah gampang, Kek. Taun kemarin aja kita udah makan daging kurban kok!"
"Alhamdulillah.. kalau Anak ikhlas.. Biar Tuhan.. yang balas kebaikan Anak.." Si Kakek menitikkan airmata, memeluk bungkusan daging sapi erat-erat di dada. Rohmin ikut terharu.
Paini dan Ading akan bertanya-tanya mengapa ia pulang dengan tangan kosong. Jajang, si bungsu, mungkin akan merajuk semalaman karena tidak jadi makan daging sapi. Tak apalah. Rohmin sudah merelakan daging kurban itu. Kakek itu lebih berhak menerimanya.
*End*
Masjid Al Muhaimin.10 Dzulhijjah.
Roy Chandra tersenyum lebar pada puluhan kamera yang menyorot wajahnya. Dengan cerdik ia bergeser sedikit ke dekat para aktifis masjid yang sedang sibuk memotong-motong daging. Daging dari hewan-hewan kurban yang ia sumbangkan.
Biarlah semua kamera itu melihatnya. Makin banyak orang yang melihat kedermawanannya, makin bagus. Staf humasnya yang menyarankan begitu. Pemilu masih lama, tapi tak ada salahnya tebar pesona sedini mungkin, bukan? Membentuk citra diri.
Politisi setengah baya itu menjawab pertanyaan wartawan dengan wajah simpatik.
"Berkurban menjadi agenda rutin Bapak tiap tahun, apa benar Pak?"
"Yaahh memang seperti itu. Tapi di masjid yang berbeda-beda tiap tahunnya."
Padahal ini kali pertamanya!
"Ohya? Apa yang menjadi motivasi Bapak untuk berkurban?"
"Sekedar upaya menyenangkan Tuhan saya saja.. sekaligus berbagi pada sesama."
Juga untuk menyenangkan hati para calon pemilih saya di pemilu berikutnya, tentu!
"Menurut sumber kami, tahun ini Pak Roy menyumbangkan 20 ekor sapi dan 40 ekor kambing?"
Roy membelalakkan mata, "Sumber yang mana? Ah, Saudara bisa saja. Jumlahnya tak perlulah saya sebut!"
Sebetulnya, orang-orang suruhan Roy sendirilah yang memberitahukan jumlah itu pada wartawan.
Yah, sandiwara perlu juga kadang-kadang kan?
Di sudut lain masjid itu, para penerima daging kurban berdesak-desakan mengantri dengan kupon lusuh di tangan. Kupon itu pun kemarin mereka dapat setelah susah payah mengantri. Beberapa orang yang licik mengantri lebih dari sekali tanpa sepengetahuan panitia.
Rohmin mengusap peluh yang berleleran di wajah legamnya. Ia kipasi badannya yang berkeringat dengan topi hitam bututnya. Lelaki setengah baya itu tersenyum. Ditatapnya bungkusan plastik di tangan, jatah daging kurban dari panitia masjid. Alhamdulillah.
Akan dimasak menjadi apakah daging sapi ini nanti oleh Paini, istrinya? Sop daging sapi, seperti tahun kemarin? Atau gulai daging, seperti tahun kemarinnya lagi? Ah, mungkin enaknya dibuat sate, dimakan dengan sambal kacang! Rohmin mendengar perutnya berteriak minta diisi. Dia baru ingat, belum makan sejak pagi. Ia bergegas pulang.
Tapi langkahnya terhenti di dekat mulut gang. Seorang kakek renta duduk tertunduk di atas sebongkah batu. Beberapa kali ia mengusap mata dengan lengan bajunya yang kumal. Rohmin tahu, kakek itu menangis dalam diam.
Rohmin mendekat perlahan. Takut dikira sok ikut campur urusan orang.
"Kek.. Kakek kenapa?"
Kakek itu menggeleng.
"Habis kecopetan?"
Gelengan lagi.
"Kakek nyasar?"
"Bukan, Nak.." Akhirnya ia buka suara. "Kakek nggak kebagian kupon kemarin.. Kakek nggak kuat desek-desekan antri kupon.."
Rohmin ikut duduk di sebelah kakek kurus itu.
"Tadi Kakek kesini, yah kali-kali masih bisa dapet jatah daging.. Biar cuma seiris juga Kakek mau.."
Rohmin tahu, bagi orang-orang semacam dia dan kakek ini, makan daging adalah kemewahan yang boleh jadi cuma ada setahun sekali. Ya saat Idul Adha begini.
"Kakek mah nggak apa-apa nggak makan daging. Tapi cucu Kakek yang masih kecil, dia dari kemarin nangis terus ingin nyoba makan daging, katanya pingin tahu rasanya kayak apa sih.."
"Lho memang cucunya belum pernah makan daging sapi, Kek?"
"Sejak mbrojol ditinggal mati emaknya, saya gedein sampe umur 6 taun, belum pernah, Nak. Kakek mah nggak sanggup beli daging. Dapat daging kurban juga jaraaang.. Kakek kalah gesit antrinya.."
Rohmin menatap lagi plastik di genggamannya. Ading dan Jajang, dua jagoan kecilnya pasti sudah menunggu-nunggu daging kurban ini. Menu luar biasa yang hanya bisa mereka nikmati setahun sekali. Tapi...
Rohmin bergegas pulang. Langkahnya ringan. Bungkusan berisi daging sapi itu bukan miliknya lagi sekarang.
"Daging ini... buat Kakek?" Kedua mata yang penuh keriput di sudut-sudutnya itu membelalak. Rohmin mengangguk.
"Tapi.. tapi Anak sendiri.. gimana? Ini kan.. rezekinya Anak, sama keluarga Anak.." Tangan berbonggol-bonggol itu gemetar menggenggam plastik yang disurukkan Rohmin ke situ.
"Keluarga saya mah gampang, Kek. Taun kemarin aja kita udah makan daging kurban kok!"
"Alhamdulillah.. kalau Anak ikhlas.. Biar Tuhan.. yang balas kebaikan Anak.." Si Kakek menitikkan airmata, memeluk bungkusan daging sapi erat-erat di dada. Rohmin ikut terharu.
Paini dan Ading akan bertanya-tanya mengapa ia pulang dengan tangan kosong. Jajang, si bungsu, mungkin akan merajuk semalaman karena tidak jadi makan daging sapi. Tak apalah. Rohmin sudah merelakan daging kurban itu. Kakek itu lebih berhak menerimanya.
*End*
Sapi Dan Nenek
Oleh: (Ardi)
Kami terhenyak, keringat dingin menetes dari dahi kami. Ayah tampak tak percaya pada apa yang terjadi, begitupula aku. Sementara itu, ibu susah payah menenangkan adikku yang masih berusia lima tahun agar tidak panik. Anak yang masih bau minyak telon itu menangis sejadi-jadinya. Wajar dia panik. Di tengah jalan yang sekelilingnya hutan belantara ini, mobil kami mogok. Benar-benar mogok, tidak bisa jalan sedikitpun.
“Akinya mungkin yah,” kataku.
“Tidak mungkin! Ayah sudah mengecek berulang kali, mana mungkin ayah tidak teliti setelah kejadian tahun lalu?”
Aku terdiam. Ya, setahun lalupun kami mengalami hal yang sama. Mobil macet di tengah jalan yang disekelilingnya hutan belantara. Bedanya, kami beruntung menemukan sebuah warung makan. Letaknya tidak jauh dari situ. Namun, justru di situlah kami menemukan masalah. Ketika itu, pemilik warung tidak bisa membantu kami memperbaiki mobil. Ia hanya bisa menjanjikan bahwa pagi-pagi ia akan ke kota untuk membeli bahan baku, saat itu ayahku bisa ikut untuk mencari bengkel. Ketika ayahku menawarkan untuk menjaga warungnya sementara si pemilik warung pergi untuk mencarikan bengkel, pemilik warung menolak. Pokoknya kalau mau, besok pagi dia akan mengantarkan ayahku, opsi selain itu ditolak. Alhasil, malam itu kami harus menginap di mobil. Untuk makanan, kami bisa membeli di warung itu.
“Kalian mau makan apa?” kata ayah menawarkan pada ibu, aku, adik dan nenek.
“Aku sate sapi,” kataku lantang menyebutkan nama makanan kesukaanku.
“Aku gulai sapi aja mas,” kata ibuku.
“Burger Mcd!” kata adikku dengan suara kekanak-kanakan. Dasar anak-anak, sejak kapan burger di jual di warung?
“Apa saja, asal jangan sapi!” kata nenek.
Ayah mengernyitkan dahi. Tapi karena sudah lama hidup dengan nenek, ia paham keyakinan nenek yang tak mau makan sapi ini. Akhirnya ia memesankan pesanan kami pada pemilik warung. Pemilik warung lalu mengangguk-angguk. Hanya saja ia lalu bertanya lagi pada ayahku.
“Begini mas, kebetulan menu yang ada mengandung daging sapi semua. Bagaimana ya?” kata pemilik warung.
“Waduh, masalahnya ibu saya itu sangat anti-sapi. Bagi dia sapi sama haramnya dengan babi!” kata ayah kebingungan.
Mendengar pembicaraan ayah, aku jadi kasihan. Aku lalu mendekati nenek dan mencoba membujuknya agar bisa berkompromi. Yah, kalau sudah terdesak begini apa mau dikata bukan?
“Nek, kalau sekali ini saja makan sate sapi bagaimana?”
“Tidak, nenek tetap saja tidak mau makan sapi,” kata nenek ketus dan keras. “Nenek lebih baik makan rumput daripada sapi!”
Aku sempat berpikir untuk memetik daun-daunan di pohon untuk kemudian direbus dan dihidangkan sebagai salad pada nenek. Akan tetapi, niatku itu aku urungkan setelah aku mengembalikan akal sehatku. Lagipula, apa kata dunia jika aku sampai melakukan hal itu? Bisa disebut anak kurang ajar kalau aku melakukan hal seperti itu.
“Jadi bagaimana mas? Masa kita mau makan sendiri sementara nenek tidak?” kata ibu.
Ayah berpikir sejenak sambil mengusap dahinya yang kotak. Sejurus kemudian, ia ingat bahwa ibu membawa biskuit bayi di tasnya. Biasanya biskuit bayi itu untuk cemilan adik kalau sedang dalam perjalanan. Kali ini, biskuit itu tampaknya akan dimanfaatkan ayah untuk mencegah nenek dari kelaparan gara-gara ideologi anti-sapiismenya.
“Bu, ini ada biskuit, ibu mau makan?” kata ayah sembari menyodorkan biskuit bayi itu pada nenek. Dengan berat hati nenek mengambil biskuit itu. Ia lalu membaca tulisan yang tertera di bungkusnya.
“Ini rasa sapi panggang!” kata nenek ketus.
“Ah masa sih,” kata ayah. Ia tahu nenek buta huruf, seharusnya nenek tak bisa membaca apa rasa biskuit itu.
Ayah lalu mengambil bungkus biskuit itu, melihatnya baik-baik dan ia amat sebal. Ternyata maskot bungkus biskuit itu adalah tokoh kartun berbentuk sapi. Tentu saja nenek mengira bahwa biskuit itu mengandung sapi. Rasanya emosi ayah memuncak ke ubun-ubun. Ada saja hal aneh yang terjadi. Ibu lalu mengelus punggung ayah untuk menenangkannya.
“Terserah ibu saja!” kata ayah. Nenek hanya membuang muka untuk menanggapinya. Tinggallah aku sendiri yang bisa berpikir sehat. Saat itu terbesit ide di kepala. Ide yang rada kurang ajar memang.
“Nek, kalau makan dengan nasi tidak masalah kan?”
Nenek mengangguk.
“Kalau makan nasi dengan garam saja mau tidak nek?” kataku.
Nenek memandangku tajam. Ia menimbang-nimbang sejenak.
“Terakhir kali nenek makan nasi dengan garam adalah ketika krisis ekonomi 1966, kalau sekarang harus makan nasi dengan garam lagi nenek tak masalah. Asalkan jangan ada sapi!”
Aku tersenyum. Akhirnya jadilah kami berlima makan. Aku, ayah, ibu dan adik dengan menu normal serta nenek yang makan nasi dengan garam. Ketika ayah akan membayar tagihan, pemilik warung menolak pembayaran untuk nasi dan garam.
“Tidak usahlah pak yang nasi dan garam,” kata pemilik warung itu. “Toh saya tidak mengeluarkan apa-apa untuk nasi dan garam itu, Tuhan bisa jadi akan mengutuk saya kalau saya minta bayaran untuk hal sepele itu.”
Demikian akhirnya ayah tidak membayar sepeserpun untuk nasi dan garam.
* * *
Masa sekarang...
Ayah tersenyum puas meski keringat mengucur deras dan tangannya kotor penuh oli. Mobil kami akhirnya berhasil hidup lagi. Ibu tersenyum lega, demikian juga aku. Sekarang kami bisa melanjutkan perjalanan lagi ke Cirebon, tempat asal ayah dan saudara-saudaranya.
Tak seberapa lama, mobil kami telah melaju di jalanan. Ibu dan adik tampak lelah sehingga mereka tertidur, sementara itu aku dan ayah duduk di depan mengobrol beberapa hal, termasuk soal nenek. Ya, entah kenapa perjalanan ini mengingatkan kita semua pada insiden anti-sapiismenya nenek.
“Sampai sekarang aku penasaran kenapa nenek tidak mau makan sapi yah,” kataku.
“Hmmmm, ayah juga tidak mengerti, akan tetapi dulu tantemu pernah cerita sedikit soal itu.”
“Wow, apa katanya?”
“Jadi begini,” kata ayah. “Dulu nenekmu itu pegawai di peternakan sapi. Suatu hari ia harus melihat penyembelihan sapi. Nah, dia trauma gara-gara melihat hal itu.”
Aku mengernyitkan dahi. Perasaan dulu nenek nyaman-nyaman saja ketika menyembelih ayam, melihat ‘pembantaian’ kambing pada Idul Adhapun tidak masalah. Lalu, kenapa sapi bisa menyebabkan ia trauma?
“Kata tantemu sih waktu itu ia melihat sesuatu yang manusiawi dari sapi itu,” kata ayah.
“Sesuatu yang manusiawi?” kataku bingung.
“Yap, katanya sapi itu menangis sebelum golok menebas lehernya.”
“Menangis?” kataku. Aku hampir tak percaya saat mendengar alasan itu. Aku lalu tertawa kecil. Ayah juga.
Kami benar-benar tak percaya pada alasan itu. Sapi menangis? Yang benar saja...
Kami terhenyak, keringat dingin menetes dari dahi kami. Ayah tampak tak percaya pada apa yang terjadi, begitupula aku. Sementara itu, ibu susah payah menenangkan adikku yang masih berusia lima tahun agar tidak panik. Anak yang masih bau minyak telon itu menangis sejadi-jadinya. Wajar dia panik. Di tengah jalan yang sekelilingnya hutan belantara ini, mobil kami mogok. Benar-benar mogok, tidak bisa jalan sedikitpun.
“Akinya mungkin yah,” kataku.
“Tidak mungkin! Ayah sudah mengecek berulang kali, mana mungkin ayah tidak teliti setelah kejadian tahun lalu?”
Aku terdiam. Ya, setahun lalupun kami mengalami hal yang sama. Mobil macet di tengah jalan yang disekelilingnya hutan belantara. Bedanya, kami beruntung menemukan sebuah warung makan. Letaknya tidak jauh dari situ. Namun, justru di situlah kami menemukan masalah. Ketika itu, pemilik warung tidak bisa membantu kami memperbaiki mobil. Ia hanya bisa menjanjikan bahwa pagi-pagi ia akan ke kota untuk membeli bahan baku, saat itu ayahku bisa ikut untuk mencari bengkel. Ketika ayahku menawarkan untuk menjaga warungnya sementara si pemilik warung pergi untuk mencarikan bengkel, pemilik warung menolak. Pokoknya kalau mau, besok pagi dia akan mengantarkan ayahku, opsi selain itu ditolak. Alhasil, malam itu kami harus menginap di mobil. Untuk makanan, kami bisa membeli di warung itu.
“Kalian mau makan apa?” kata ayah menawarkan pada ibu, aku, adik dan nenek.
“Aku sate sapi,” kataku lantang menyebutkan nama makanan kesukaanku.
“Aku gulai sapi aja mas,” kata ibuku.
“Burger Mcd!” kata adikku dengan suara kekanak-kanakan. Dasar anak-anak, sejak kapan burger di jual di warung?
“Apa saja, asal jangan sapi!” kata nenek.
Ayah mengernyitkan dahi. Tapi karena sudah lama hidup dengan nenek, ia paham keyakinan nenek yang tak mau makan sapi ini. Akhirnya ia memesankan pesanan kami pada pemilik warung. Pemilik warung lalu mengangguk-angguk. Hanya saja ia lalu bertanya lagi pada ayahku.
“Begini mas, kebetulan menu yang ada mengandung daging sapi semua. Bagaimana ya?” kata pemilik warung.
“Waduh, masalahnya ibu saya itu sangat anti-sapi. Bagi dia sapi sama haramnya dengan babi!” kata ayah kebingungan.
Mendengar pembicaraan ayah, aku jadi kasihan. Aku lalu mendekati nenek dan mencoba membujuknya agar bisa berkompromi. Yah, kalau sudah terdesak begini apa mau dikata bukan?
“Nek, kalau sekali ini saja makan sate sapi bagaimana?”
“Tidak, nenek tetap saja tidak mau makan sapi,” kata nenek ketus dan keras. “Nenek lebih baik makan rumput daripada sapi!”
Aku sempat berpikir untuk memetik daun-daunan di pohon untuk kemudian direbus dan dihidangkan sebagai salad pada nenek. Akan tetapi, niatku itu aku urungkan setelah aku mengembalikan akal sehatku. Lagipula, apa kata dunia jika aku sampai melakukan hal itu? Bisa disebut anak kurang ajar kalau aku melakukan hal seperti itu.
“Jadi bagaimana mas? Masa kita mau makan sendiri sementara nenek tidak?” kata ibu.
Ayah berpikir sejenak sambil mengusap dahinya yang kotak. Sejurus kemudian, ia ingat bahwa ibu membawa biskuit bayi di tasnya. Biasanya biskuit bayi itu untuk cemilan adik kalau sedang dalam perjalanan. Kali ini, biskuit itu tampaknya akan dimanfaatkan ayah untuk mencegah nenek dari kelaparan gara-gara ideologi anti-sapiismenya.
“Bu, ini ada biskuit, ibu mau makan?” kata ayah sembari menyodorkan biskuit bayi itu pada nenek. Dengan berat hati nenek mengambil biskuit itu. Ia lalu membaca tulisan yang tertera di bungkusnya.
“Ini rasa sapi panggang!” kata nenek ketus.
“Ah masa sih,” kata ayah. Ia tahu nenek buta huruf, seharusnya nenek tak bisa membaca apa rasa biskuit itu.
Ayah lalu mengambil bungkus biskuit itu, melihatnya baik-baik dan ia amat sebal. Ternyata maskot bungkus biskuit itu adalah tokoh kartun berbentuk sapi. Tentu saja nenek mengira bahwa biskuit itu mengandung sapi. Rasanya emosi ayah memuncak ke ubun-ubun. Ada saja hal aneh yang terjadi. Ibu lalu mengelus punggung ayah untuk menenangkannya.
“Terserah ibu saja!” kata ayah. Nenek hanya membuang muka untuk menanggapinya. Tinggallah aku sendiri yang bisa berpikir sehat. Saat itu terbesit ide di kepala. Ide yang rada kurang ajar memang.
“Nek, kalau makan dengan nasi tidak masalah kan?”
Nenek mengangguk.
“Kalau makan nasi dengan garam saja mau tidak nek?” kataku.
Nenek memandangku tajam. Ia menimbang-nimbang sejenak.
“Terakhir kali nenek makan nasi dengan garam adalah ketika krisis ekonomi 1966, kalau sekarang harus makan nasi dengan garam lagi nenek tak masalah. Asalkan jangan ada sapi!”
Aku tersenyum. Akhirnya jadilah kami berlima makan. Aku, ayah, ibu dan adik dengan menu normal serta nenek yang makan nasi dengan garam. Ketika ayah akan membayar tagihan, pemilik warung menolak pembayaran untuk nasi dan garam.
“Tidak usahlah pak yang nasi dan garam,” kata pemilik warung itu. “Toh saya tidak mengeluarkan apa-apa untuk nasi dan garam itu, Tuhan bisa jadi akan mengutuk saya kalau saya minta bayaran untuk hal sepele itu.”
Demikian akhirnya ayah tidak membayar sepeserpun untuk nasi dan garam.
* * *
Masa sekarang...
Ayah tersenyum puas meski keringat mengucur deras dan tangannya kotor penuh oli. Mobil kami akhirnya berhasil hidup lagi. Ibu tersenyum lega, demikian juga aku. Sekarang kami bisa melanjutkan perjalanan lagi ke Cirebon, tempat asal ayah dan saudara-saudaranya.
Tak seberapa lama, mobil kami telah melaju di jalanan. Ibu dan adik tampak lelah sehingga mereka tertidur, sementara itu aku dan ayah duduk di depan mengobrol beberapa hal, termasuk soal nenek. Ya, entah kenapa perjalanan ini mengingatkan kita semua pada insiden anti-sapiismenya nenek.
“Sampai sekarang aku penasaran kenapa nenek tidak mau makan sapi yah,” kataku.
“Hmmmm, ayah juga tidak mengerti, akan tetapi dulu tantemu pernah cerita sedikit soal itu.”
“Wow, apa katanya?”
“Jadi begini,” kata ayah. “Dulu nenekmu itu pegawai di peternakan sapi. Suatu hari ia harus melihat penyembelihan sapi. Nah, dia trauma gara-gara melihat hal itu.”
Aku mengernyitkan dahi. Perasaan dulu nenek nyaman-nyaman saja ketika menyembelih ayam, melihat ‘pembantaian’ kambing pada Idul Adhapun tidak masalah. Lalu, kenapa sapi bisa menyebabkan ia trauma?
“Kata tantemu sih waktu itu ia melihat sesuatu yang manusiawi dari sapi itu,” kata ayah.
“Sesuatu yang manusiawi?” kataku bingung.
“Yap, katanya sapi itu menangis sebelum golok menebas lehernya.”
“Menangis?” kataku. Aku hampir tak percaya saat mendengar alasan itu. Aku lalu tertawa kecil. Ayah juga.
Kami benar-benar tak percaya pada alasan itu. Sapi menangis? Yang benar saja...
Kamis, 03 November 2011
Target-Target Anya
Oleh: Khairunnisa Putri (@Pupuutc)
“Sudahkah kau tetapkan targetmu?” Bunga membaca tulisan yang terpampang di majalah dinding sekolah. Menjelang Ujian Nasional bulan Mei mendatang, kalimat-kalimat motivasi seperti ini tersebar di seluruh penjuru sekolah. tujuannya tentu saja untuk menambah semangat para murid. Tetapi alih-alih menambah semangat, ini justru membuat sebagian murid menjadi stress.
“Sudah dong!” Anya menyahut cepat. Dalam intonasinya terselip rasa bangga terhadap diri sendiri.
“Oh ya? Yang bener Nya?”
“Yup. Target gue semester ini jadi ranking satu di kelas dengan nilai rata-rata di atas 91 dan menang lomba cerpen sosial 2011 Desember nanti. Terus tahun depan NEM-nya di atas 54 dan diterima di Arsi ITB lewat jalur undangan. Tahun 2016 jadi sarjana arsitektur dan nerbitin novel yang nantinya bakal jadi best-selling book terus nikah, tahun 2017—“
“Stop stop stop!” sergah Bunga. “Ngga kebanyakan target apa? Kasian hidup lo dibayang-bayangi target segitu banyak,” lanjutnya, realistis. Anya memang pintar, dengan nilai rapot yang sejauh ini rata-ratanya 89 koma sekian, Bunga cukup yakin ia bisa diterima di PTN lewat jalur undangan. Bakat menulisnya juga lumayan, Bunga adalah salah satu pembaca setia cerpen-cerpen karangan Anya.
Anya menggeleng cepat. “Jadi orang tuh harus berani mimpi Bungaaa, hidup harus punya target.”
Bunga tak menjawab lagi. Daripada mengomentari target-target Anya yang sudah fully planned, lebih baik ia mulai menyusun targetnya sendiri
Anya menghempaskan tubuhnya di atas kasur yang sangat menggiurkan untuk ditiduri. Waktu memang menunjukkan bahwa saat ini baru pukul lima, tetapi cuaca gerimis di luar seperti berbisik ‘tidurlah... tidurlah...’ di telinga Anya.
Ia lelah. Sudah lebih dari dua minggu Anya berusaha melakukan segalanya untuk mencapai target yang telah ia buat. Mulai dari belajar empat jam sehari seperti anjuran Bu Yuni, menulis dua halaman sehari seperti tips dari Sitta Karina, penulis favoritnya, hingga bangun tidur jam tiga pagi untuk me-review beberapa materi pelajaran. Anya bosan dengan segala rutinitasnya.
Tok tok tok
Anya mengehela nafas kemudian berjalan gontai menuju pintu setelah sebelumnya menyambar buku biologi kelas sepuluh, nyicil untuk ujian nanti. Rupanya kakaknya, Laras. Tanpa dipersilakan gadis yang usianya hanya terpaut dua tahun dari Anya itu melangkah masuk dan duduk di sisi tempat tidur. Kedua matanya membelalak penasaran tatkala melihat tulisan yang terpampang di dinding kamar. Target Anya.
“Cieee, rajin banget bikin target segala,” godanya.
Anya membalik halaman buku biologi tanpa menatap Laras.
“Terus, apa aja nih usaha kamu dalam merealisasikan target-target ini?” lanjut Laras lagi.
“Belajar yang rajin dong, Mba.”
Laras manggut-manggut, berpura-pura puas akan jawaban yang dilontarkan adiknya. “Terus kalau jadi penulis, usahanya apa?” tanyanya lagi. Laras juga sama-sama menekuni hobi menulis. Saat ini ia sedang kuliah semester tiga di Fakultas Ilmu Komunikasi UNPAD.
“Nulis setiap hari, sehari minimal dua halaman.”
Laras membelalak lagi. “Bahkan di saat kamu lagi nggak mood? Apa nggak terlalu maksain diri?”
Anya terdiam. Ia sadar kata-kata Laras ada benarnya. Ia sendiri merasa akhir-akhir ini menulis karena merasa itu kewajiban, rutinitas yang harus dipenuhi. Bukannya menulis karena ia semata-mata ingin menulis seperti ketika pertama kali hobi itu menariknya.
“Terserah kamu deh Nya, aku nggak mau sok tua. Yang jelas, jangan mau diperbudak sama target kamu sendiri ya,” ujar Laras kemudian melangkah keluar. “Oh ya, aku kesini mau pinjem sisir,” tambahnya kemudian.
Anya tak jadi membaca biologi mood-nya keburu luntur. Ia tahu apa yang harus dilakukan sekarang: merevisi targetnya.
“Sudahkah kau tetapkan targetmu?” Bunga membaca tulisan yang terpampang di majalah dinding sekolah. Menjelang Ujian Nasional bulan Mei mendatang, kalimat-kalimat motivasi seperti ini tersebar di seluruh penjuru sekolah. tujuannya tentu saja untuk menambah semangat para murid. Tetapi alih-alih menambah semangat, ini justru membuat sebagian murid menjadi stress.
“Sudah dong!” Anya menyahut cepat. Dalam intonasinya terselip rasa bangga terhadap diri sendiri.
“Oh ya? Yang bener Nya?”
“Yup. Target gue semester ini jadi ranking satu di kelas dengan nilai rata-rata di atas 91 dan menang lomba cerpen sosial 2011 Desember nanti. Terus tahun depan NEM-nya di atas 54 dan diterima di Arsi ITB lewat jalur undangan. Tahun 2016 jadi sarjana arsitektur dan nerbitin novel yang nantinya bakal jadi best-selling book terus nikah, tahun 2017—“
“Stop stop stop!” sergah Bunga. “Ngga kebanyakan target apa? Kasian hidup lo dibayang-bayangi target segitu banyak,” lanjutnya, realistis. Anya memang pintar, dengan nilai rapot yang sejauh ini rata-ratanya 89 koma sekian, Bunga cukup yakin ia bisa diterima di PTN lewat jalur undangan. Bakat menulisnya juga lumayan, Bunga adalah salah satu pembaca setia cerpen-cerpen karangan Anya.
Anya menggeleng cepat. “Jadi orang tuh harus berani mimpi Bungaaa, hidup harus punya target.”
Bunga tak menjawab lagi. Daripada mengomentari target-target Anya yang sudah fully planned, lebih baik ia mulai menyusun targetnya sendiri
Anya menghempaskan tubuhnya di atas kasur yang sangat menggiurkan untuk ditiduri. Waktu memang menunjukkan bahwa saat ini baru pukul lima, tetapi cuaca gerimis di luar seperti berbisik ‘tidurlah... tidurlah...’ di telinga Anya.
Ia lelah. Sudah lebih dari dua minggu Anya berusaha melakukan segalanya untuk mencapai target yang telah ia buat. Mulai dari belajar empat jam sehari seperti anjuran Bu Yuni, menulis dua halaman sehari seperti tips dari Sitta Karina, penulis favoritnya, hingga bangun tidur jam tiga pagi untuk me-review beberapa materi pelajaran. Anya bosan dengan segala rutinitasnya.
Tok tok tok
Anya mengehela nafas kemudian berjalan gontai menuju pintu setelah sebelumnya menyambar buku biologi kelas sepuluh, nyicil untuk ujian nanti. Rupanya kakaknya, Laras. Tanpa dipersilakan gadis yang usianya hanya terpaut dua tahun dari Anya itu melangkah masuk dan duduk di sisi tempat tidur. Kedua matanya membelalak penasaran tatkala melihat tulisan yang terpampang di dinding kamar. Target Anya.
“Cieee, rajin banget bikin target segala,” godanya.
Anya membalik halaman buku biologi tanpa menatap Laras.
“Terus, apa aja nih usaha kamu dalam merealisasikan target-target ini?” lanjut Laras lagi.
“Belajar yang rajin dong, Mba.”
Laras manggut-manggut, berpura-pura puas akan jawaban yang dilontarkan adiknya. “Terus kalau jadi penulis, usahanya apa?” tanyanya lagi. Laras juga sama-sama menekuni hobi menulis. Saat ini ia sedang kuliah semester tiga di Fakultas Ilmu Komunikasi UNPAD.
“Nulis setiap hari, sehari minimal dua halaman.”
Laras membelalak lagi. “Bahkan di saat kamu lagi nggak mood? Apa nggak terlalu maksain diri?”
Anya terdiam. Ia sadar kata-kata Laras ada benarnya. Ia sendiri merasa akhir-akhir ini menulis karena merasa itu kewajiban, rutinitas yang harus dipenuhi. Bukannya menulis karena ia semata-mata ingin menulis seperti ketika pertama kali hobi itu menariknya.
“Terserah kamu deh Nya, aku nggak mau sok tua. Yang jelas, jangan mau diperbudak sama target kamu sendiri ya,” ujar Laras kemudian melangkah keluar. “Oh ya, aku kesini mau pinjem sisir,” tambahnya kemudian.
Anya tak jadi membaca biologi mood-nya keburu luntur. Ia tahu apa yang harus dilakukan sekarang: merevisi targetnya.
Resolusi
Oleh: @TengkuAR
Hari ke tiga puluh satu bulan dua belas, 2010
“HAPPY NEW YEAR!!”
Serempak suara teriakan dari orang-orang di sekelilingku terdengar di lounge, tempat aku dan kekasihku menghabiskan malam tahun baru 2010 menuju 2011.
‘Happy new year, Beb.”, ucapku sambil mendaratkan ciuman di pipinya. Dan Via terlihat tersipu malu dengan membalas ucapan yang sama kepadaku.
“Aku sayang kamu. Dan aku mau kita selamanya.”, Via menambahkan harapan tahun barunya malam itu.
“I love you, Beb.”
Selanjutnya yang terjadi hanyalah kemeriahan malam tahun baru hingga pagi menjelang.
***
Hari pertama awal bulan, di tahun baru, 2011
“Waduh kacau! Jam berapa nih? Jam empat sore? Nggak salah?”, aku memaki diri sendiri karena terbangun kaget seharusnya sedang berada dikantor, lalu untuk memastikan kulihat jam di dinding kamar dan memang benar bahwa saat itu jam empat sore. Lama kuberpikir dan kusadari bahwa hari ini aku memang masih libur tahun baru. Bodoh! Makiku lagi.
Sedikit tenang, aku mulai melakukan aktivitasku membersihkan tempat tidur dan mandi.
Lamunanku pun berjalan tentang hari ini, maksudnya tentang setahun ke depan ini. Aku harus membuat resolusi. Tidak boleh ada yang meleset. Niatlah yang hanya kubutuhkan. Aku pasti bisa.
Blackberryku pun menjadi pengingat utama. Di mulai dari…
“Graduation. Check! Job. Check! Fixie. Check! iPod. Check! iPhone. Check! New motorcycle. Check!”
Ya, itulah beberapa resolusiku berupa barang. Selebihnya aku hanya ingin selalu sehat.
***
Hari ke dua puluh lima bulan keempat, 2011
Tuuut-tuuut-tuuut…
“Halo.”
“Di, ini Mama, uang untuk kamu beli sepeda udah Mama kasih ke Kakakmu ya. Nanti minta aja. Kata kakakmu, dia sudah booking sepeda temannya yang mau kamu beli.”, suara Mamaku pun keluar tanpa bisa diberhentikan dan aku hanya bisa menanggapi dengan ucapan, “Iya, Ma.”.
Memang sudah dua minggu aku meminta kepada Mama untuk dibelikan sepeda supaya aku bisa ikut Car Free Day yang sedang nge-trend di pergaulan anak zaman sekarang.
Akhirnya, salah satu resolusiku terkabul dan terima kasih untuk Mama. Pecah telor! Semoga ini menjadi jalan pembuka untuk setiap resolusi yang kutargetkan.
***
Hari ke tujuh belas bulan kelima, 2011
“Mama pokoknya mau kamu kelar kuliahnya tahun ini karena tadi Mama dapat telepon dari dosen kamu yang bilang bahwa tahun ini adalah tahun terakhir kamu untuk menyelesaikan skripsi. Pokok Mama cuma mau minta satu aja, kamu lulus Di!”, dengan sesenggukan Mama berbicara dan aku pun tak kuasa ikut terlena melihat kondisinya yang menyedihkan karena ulahku.
“Harus bisa! Lulus adalah daftar resolusi prioritas utamaku! HARUS!”, aku menyemangati diri sendiri.
***
Hari ke enam bulan sepuluh, 2011
“Kalian lulus! Selamat semoga ke depannya lebih bermanfaat untuk diri sendiri dan keluarga.”, ucap salah satu pembicara di ruangan itu mengucapkan selamat. Anak-anak yang disebutkannya lulus dengan nilai terbaik, termasuk aku, selebihnya, tidak kurang dari lima jari yang tidak lulus.
Kabar gembira.
“Ma, Ardi lu..lulus. Sekarang masih di..di tempat sidang. U…udah dulu ya Ma.”, aku terbata-bata dengan menahan air mata bahagia yang ingin keluar, makanya buru-buru kututup teleponnya.
Resolusi keduaku terwujud! Terima kasih Tuhan dan Mama. Ini saatnya!
***
Hari ke dua puluh sembilan bulan kedua belas, 2011
“Hari ini aku jadi orang yang bahagia sedunia. Aku punya kamu dan aku punya pekerjaan pertamaku. Beberapa hal yang aku inginkan tahun ini terwujud, itu karena kamu dan keluargaku. Many thanks to you, Beb. Love you more! Kiss!”
Aku mengirimkan pesan singkat pagi itu kepada kekasihku yang kemungkinan masih tidur. Aku patut bersyukur atas apa yang aku lakukan dan dapatkan setahun ini meskipun tidak semuanya namun satu persatu aku telah terlihat. Resolusiku yang belum terwujud di tahun ini mungkin akan tetap kujadikan resolusi di tahun depan. Tetap menjadi target sebagai bentuk motivasi.
Note to reader: "Be sure you positively identify your target before you pull the trigger." -Tom Flynn
***
Hari ke tiga puluh satu bulan dua belas, 2010
“HAPPY NEW YEAR!!”
Serempak suara teriakan dari orang-orang di sekelilingku terdengar di lounge, tempat aku dan kekasihku menghabiskan malam tahun baru 2010 menuju 2011.
‘Happy new year, Beb.”, ucapku sambil mendaratkan ciuman di pipinya. Dan Via terlihat tersipu malu dengan membalas ucapan yang sama kepadaku.
“Aku sayang kamu. Dan aku mau kita selamanya.”, Via menambahkan harapan tahun barunya malam itu.
“I love you, Beb.”
Selanjutnya yang terjadi hanyalah kemeriahan malam tahun baru hingga pagi menjelang.
***
Hari pertama awal bulan, di tahun baru, 2011
“Waduh kacau! Jam berapa nih? Jam empat sore? Nggak salah?”, aku memaki diri sendiri karena terbangun kaget seharusnya sedang berada dikantor, lalu untuk memastikan kulihat jam di dinding kamar dan memang benar bahwa saat itu jam empat sore. Lama kuberpikir dan kusadari bahwa hari ini aku memang masih libur tahun baru. Bodoh! Makiku lagi.
Sedikit tenang, aku mulai melakukan aktivitasku membersihkan tempat tidur dan mandi.
Lamunanku pun berjalan tentang hari ini, maksudnya tentang setahun ke depan ini. Aku harus membuat resolusi. Tidak boleh ada yang meleset. Niatlah yang hanya kubutuhkan. Aku pasti bisa.
Blackberryku pun menjadi pengingat utama. Di mulai dari…
“Graduation. Check! Job. Check! Fixie. Check! iPod. Check! iPhone. Check! New motorcycle. Check!”
Ya, itulah beberapa resolusiku berupa barang. Selebihnya aku hanya ingin selalu sehat.
***
Hari ke dua puluh lima bulan keempat, 2011
Tuuut-tuuut-tuuut…
“Halo.”
“Di, ini Mama, uang untuk kamu beli sepeda udah Mama kasih ke Kakakmu ya. Nanti minta aja. Kata kakakmu, dia sudah booking sepeda temannya yang mau kamu beli.”, suara Mamaku pun keluar tanpa bisa diberhentikan dan aku hanya bisa menanggapi dengan ucapan, “Iya, Ma.”.
Memang sudah dua minggu aku meminta kepada Mama untuk dibelikan sepeda supaya aku bisa ikut Car Free Day yang sedang nge-trend di pergaulan anak zaman sekarang.
Akhirnya, salah satu resolusiku terkabul dan terima kasih untuk Mama. Pecah telor! Semoga ini menjadi jalan pembuka untuk setiap resolusi yang kutargetkan.
***
Hari ke tujuh belas bulan kelima, 2011
“Mama pokoknya mau kamu kelar kuliahnya tahun ini karena tadi Mama dapat telepon dari dosen kamu yang bilang bahwa tahun ini adalah tahun terakhir kamu untuk menyelesaikan skripsi. Pokok Mama cuma mau minta satu aja, kamu lulus Di!”, dengan sesenggukan Mama berbicara dan aku pun tak kuasa ikut terlena melihat kondisinya yang menyedihkan karena ulahku.
“Harus bisa! Lulus adalah daftar resolusi prioritas utamaku! HARUS!”, aku menyemangati diri sendiri.
***
Hari ke enam bulan sepuluh, 2011
“Kalian lulus! Selamat semoga ke depannya lebih bermanfaat untuk diri sendiri dan keluarga.”, ucap salah satu pembicara di ruangan itu mengucapkan selamat. Anak-anak yang disebutkannya lulus dengan nilai terbaik, termasuk aku, selebihnya, tidak kurang dari lima jari yang tidak lulus.
Kabar gembira.
“Ma, Ardi lu..lulus. Sekarang masih di..di tempat sidang. U…udah dulu ya Ma.”, aku terbata-bata dengan menahan air mata bahagia yang ingin keluar, makanya buru-buru kututup teleponnya.
Resolusi keduaku terwujud! Terima kasih Tuhan dan Mama. Ini saatnya!
***
Hari ke dua puluh sembilan bulan kedua belas, 2011
“Hari ini aku jadi orang yang bahagia sedunia. Aku punya kamu dan aku punya pekerjaan pertamaku. Beberapa hal yang aku inginkan tahun ini terwujud, itu karena kamu dan keluargaku. Many thanks to you, Beb. Love you more! Kiss!”
Aku mengirimkan pesan singkat pagi itu kepada kekasihku yang kemungkinan masih tidur. Aku patut bersyukur atas apa yang aku lakukan dan dapatkan setahun ini meskipun tidak semuanya namun satu persatu aku telah terlihat. Resolusiku yang belum terwujud di tahun ini mungkin akan tetap kujadikan resolusi di tahun depan. Tetap menjadi target sebagai bentuk motivasi.
Note to reader: "Be sure you positively identify your target before you pull the trigger." -Tom Flynn
***
Rabu, 02 November 2011
Kebal
Oleh: @iffagitha
Aku sedang jatuh cinta pada dia yang tak tergapai. Tak apa, yang penting aku bahagia. Bahagia dapat memandanginya dari kejauhan serta mencuri kesempatan untuk berpapasan denganya. Ya , hanya berpapasan tidak untuk bertegur sapa dengannya karena aku tak punya nyali.
Senyuman tak pernah luput dari bibirku kala aku memandangnya. Apalagi jika dirinya tak sengaja melirik kearah ku seolah mata kami bertemu, hatiku sangat berlonjak gembira. Tak heran beberapa temanku berpendapat aku agak sinting. Aku tak peduli, karena aku sedang jatuh cinta.
“hati-hati, jangan berharap terlalu tinggi. Kalo jatoh sakit” ujar salah seorang temanku.
Aku hanya tersenyum mendengarnya. Tidak ada yang salah dengan perkataan temanku. Dia benar, 100% benar. Namun lagi-lagi aku tak peduli. Bukan karena aku sedang jatuh cinta, namun aku memang tak peduli dengan rasa sakit.
Sakit. Taukah kamu seberapa seringnya dirimu mendatangiku? Menyuramkan hari indahku, mengundang air mata untuk singgah dipelupuk mataku. Tidak pernahkah dirimu merasa bosan? Mengusir sang senyum dan membiarkan diriku ditemani oleh tangis.
Aku sudah bosan denganmu, wahai rasa sakit. Aku tidak peduli lagi bagaimana kamu akan datang. Aku tak peduli berapa lama lagi waktuku dengan sang senyum. Aku tahu dan sangat tahu kamu pasti akan datang dengan membawa airmata, entah seberapa derasnya air yang kali ini akan kamu turunkan darimataku.
Namun, sekali lagi aku tidak peduli. Karna aku sudah kebal.
Aku sedang jatuh cinta pada dia yang tak tergapai. Tak apa, yang penting aku bahagia. Bahagia dapat memandanginya dari kejauhan serta mencuri kesempatan untuk berpapasan denganya. Ya , hanya berpapasan tidak untuk bertegur sapa dengannya karena aku tak punya nyali.
Senyuman tak pernah luput dari bibirku kala aku memandangnya. Apalagi jika dirinya tak sengaja melirik kearah ku seolah mata kami bertemu, hatiku sangat berlonjak gembira. Tak heran beberapa temanku berpendapat aku agak sinting. Aku tak peduli, karena aku sedang jatuh cinta.
“hati-hati, jangan berharap terlalu tinggi. Kalo jatoh sakit” ujar salah seorang temanku.
Aku hanya tersenyum mendengarnya. Tidak ada yang salah dengan perkataan temanku. Dia benar, 100% benar. Namun lagi-lagi aku tak peduli. Bukan karena aku sedang jatuh cinta, namun aku memang tak peduli dengan rasa sakit.
Sakit. Taukah kamu seberapa seringnya dirimu mendatangiku? Menyuramkan hari indahku, mengundang air mata untuk singgah dipelupuk mataku. Tidak pernahkah dirimu merasa bosan? Mengusir sang senyum dan membiarkan diriku ditemani oleh tangis.
Aku sudah bosan denganmu, wahai rasa sakit. Aku tidak peduli lagi bagaimana kamu akan datang. Aku tak peduli berapa lama lagi waktuku dengan sang senyum. Aku tahu dan sangat tahu kamu pasti akan datang dengan membawa airmata, entah seberapa derasnya air yang kali ini akan kamu turunkan darimataku.
Namun, sekali lagi aku tidak peduli. Karna aku sudah kebal.
Kanker
Oleh: @misusatriyo
misusatriyo.blogspot.com
misusatriyo.tumblr.com
Aku terbangun di tengah derasnya hujan yang menerpa wajahku. Terdengar sayup suara anak - anak yang kegirangan. Aku berusaha memusatkan pendengaranku pada mereka. Kudengar dentingan piano mengalun merdu di kejauhan. Terkadang lembut, namun sesekali menghentak kencang. Sungguh indah.
Aku mencoba berdiri dan berjalan menyusuri jalan setapak di halaman. Tanganku membeku dan kaku. Tubuhku terasa remuk. Langkah kakiku sangat sulit kukendalikan. Aku terus berjalan dipayungi langit berbintang yang teduh. Kulihat kedua anak laki - laki itu sedang bermain hujan. Wajah mereka terlihat sangat riang. Aku ingin sekali ikut bermain, namun wajahku tak segirang mereka. Sebaiknya aku urungkan saja niatanku itu. Aku tidak mau menghancurkan kesenangan mereka berdua. Aku berjalan melewati mereka.
Aku sampai tak jauh dari sebuah rumah tua yang terlihat sangat cantik. Alunan musik terdengar semakin jelas. Nada - nada penuh irama mengalun di kepalaku. Aku terus berjalan menuju rumah tua itu. Pintunya sedikit terbuka. Gelap. Kemudian aku melangkah masuk. Kali ini sudah tak kehujanan lagi.
Aku terus berjalan dituntun alunan piano. Di depanku terlihat sebuah pintu. Disana terdapat cahaya merembes keluar dari celah – celah pintu. Remang. Aku memberanikan diri untuk membuka pintu. Sampailah aku pada seorang gadis kecil yang sangat manis. Sang pemain piano. Gadis itupun terus memainkan pianonya tanpa menghiraukan aku. Sungguh pemandangan yang sangat indah. seperti malaikat kecil yang bersinar. Akhirnya aku dapat tersenyum kembali.
Di sini terasa sangat hangat. Tubuhku sudah tidak kaku lagi. Dan gadis itupun terus memainkan pianonya. Sangat merdu. Terkadang nadanya menjadi sangat tinggi dan beberapa saat kemudian kembali merendah dalam sekejap. Sesekali gadis itu menengadahkan kepalanya ke atas, seakan berbicara dengan Tuhan. Aku duduk disebelah gadis itu. Namun perhatiannya terus tertuju pada jari jemari lentiknya, memainkan nada - nada surga.
Aku melihat ke altar di balik pianonya. Terlihat foto seseorang yang dibingkai amat sangat indah. Dikelilingi bunga - bunga yang berwarna - warni. Diterangi cahaya lilin remang - remang, aku mengenali foto orang itu. Tidak salah lagi, itu aku. Siapa anak ini? Dimana aku? Dan kulihat di bawah fotoku itu terdapat karangan bunga yang membentuk sebuah kalimat. aku dapat membacanya dengan sangat jelas:
"Istirahatlah dengan tenang, ayah."
misusatriyo.blogspot.com
misusatriyo.tumblr.com
Aku terbangun di tengah derasnya hujan yang menerpa wajahku. Terdengar sayup suara anak - anak yang kegirangan. Aku berusaha memusatkan pendengaranku pada mereka. Kudengar dentingan piano mengalun merdu di kejauhan. Terkadang lembut, namun sesekali menghentak kencang. Sungguh indah.
Aku mencoba berdiri dan berjalan menyusuri jalan setapak di halaman. Tanganku membeku dan kaku. Tubuhku terasa remuk. Langkah kakiku sangat sulit kukendalikan. Aku terus berjalan dipayungi langit berbintang yang teduh. Kulihat kedua anak laki - laki itu sedang bermain hujan. Wajah mereka terlihat sangat riang. Aku ingin sekali ikut bermain, namun wajahku tak segirang mereka. Sebaiknya aku urungkan saja niatanku itu. Aku tidak mau menghancurkan kesenangan mereka berdua. Aku berjalan melewati mereka.
Aku sampai tak jauh dari sebuah rumah tua yang terlihat sangat cantik. Alunan musik terdengar semakin jelas. Nada - nada penuh irama mengalun di kepalaku. Aku terus berjalan menuju rumah tua itu. Pintunya sedikit terbuka. Gelap. Kemudian aku melangkah masuk. Kali ini sudah tak kehujanan lagi.
Aku terus berjalan dituntun alunan piano. Di depanku terlihat sebuah pintu. Disana terdapat cahaya merembes keluar dari celah – celah pintu. Remang. Aku memberanikan diri untuk membuka pintu. Sampailah aku pada seorang gadis kecil yang sangat manis. Sang pemain piano. Gadis itupun terus memainkan pianonya tanpa menghiraukan aku. Sungguh pemandangan yang sangat indah. seperti malaikat kecil yang bersinar. Akhirnya aku dapat tersenyum kembali.
Di sini terasa sangat hangat. Tubuhku sudah tidak kaku lagi. Dan gadis itupun terus memainkan pianonya. Sangat merdu. Terkadang nadanya menjadi sangat tinggi dan beberapa saat kemudian kembali merendah dalam sekejap. Sesekali gadis itu menengadahkan kepalanya ke atas, seakan berbicara dengan Tuhan. Aku duduk disebelah gadis itu. Namun perhatiannya terus tertuju pada jari jemari lentiknya, memainkan nada - nada surga.
Aku melihat ke altar di balik pianonya. Terlihat foto seseorang yang dibingkai amat sangat indah. Dikelilingi bunga - bunga yang berwarna - warni. Diterangi cahaya lilin remang - remang, aku mengenali foto orang itu. Tidak salah lagi, itu aku. Siapa anak ini? Dimana aku? Dan kulihat di bawah fotoku itu terdapat karangan bunga yang membentuk sebuah kalimat. aku dapat membacanya dengan sangat jelas:
"Istirahatlah dengan tenang, ayah."
Aku, Dan Perawat ICU
Oleh: Firah Aziz (@firah_39)
firahaziz.wordpress.com
Ini kali ketiga aku berada di ruang ICU. Aku mulai terbiasa dengan bau obatnya, teriakan-teriakan keluarga yang kehilangan anggotanya atau jerit kesakitan pasien. Pemandangannya pun sudah aku hafal dengan baik, perawat-perawat berpakaian putih,dokter berpakaian jaga..ah semuanya menjadi biasa bagiku.
Kamar isolasi ini juga mulai menjadi kamar keduaku. Terpisah dari pasien lain karena penyakitku merupakan penyakit autoimun, yang berarti tubuhku sendiri lah yang membuatku sakit. Dokter bilang nama penyakitku Myasthenia gravis, penyakit dimana otot-ototku lumpuh karena antibodi yang aku miliki menghambat ototku untuk bergerak normal.
Mengapa harus aku yang mengalami sakit ini? Di saat aku mulai menyukai kegiatanku sebagai atlet, penyakit ini menyerangku. Kenapa hidup ini terasa tidak adil? Aku mulai membenci keadaan ini dan menyalahkan takdir.
"Hey, apa kabarmu hari ini?" Seorang perawat menghampiri tempatku terbaring. Penampilannya simpatik, seulas senyum merekah di bibirnya. Membuatku mau tak mau berusaha membalasnya.
Dia memang selalu menemaniku ketika keluargaku sedang beristirahat dan tidak ada yang menemaniku. Setiap kali aku masuk ICU, pasti dia menyempatkan diri untuk menyapaku.
"Tidak ada yang berubah. Aku masih terbaring di sini. Terjebak dengan ketidakberdayaanku."
"Jangan menyesali keadaanmu. Semua yang terjadi pada diri kita memiliki alasan. Ini hanya salah satu bentuk cobaan kehidupan, kamu harus kuat." Suaranya menenteramkan. Hingga aku lupa untuk terus mengutuk ketidak adilan hidup ini.
"Sebenarnya apa tugasmu? Aku tidak pernah melihatmu melakukan tugas seperti perawat lain." Akhirnya aku memberanikan diri bertanya padanya.
"Tugasku hanya membawa orang-orang yang dinyatakan siap untuk keluar dari ruangan ini. Aku membawa mereka ke tempat yang lebih nyaman."
"Kapan kau akan membawaku pergi keluar? Aku sudah muak terkurung di tempat ini."
"Tidak sekarang. Nanti saat kamu telah cukup kuat, aku akan mengajakmu pergi. Sekarang minum obatmu dan berusalah untuk berhenti menyalahkan apa yang terjadi pada dirimu."
Setelah membantuku meminum obat, perawat itu pergi keluar ruangan. Aku masih memikirkan apa yang dia katakan tadi. Apa benar semuanya terjadi karena alasan tertentu? Apa benar ini cobaan yang harus aku taklukkan? Aku terus memikirkannya hingga efek obat yang ku minum bekerja. Aku jatuh terlelap.
Di mimpiku, aku bertemu lagi dengan perawat yang tadi.
"Tuhan adalah penulis skenario yang terbaik. Jangan pertanyakan apa yang telah ditetapkan-Nya untuk umat-Nya. Jalani saja dan suatu saat kamu akan mengerti apa arti dari semua yang terjadi kepadamu."
°°°°°°°°°°°
Aku masuk ICU lagi. Kali ini keadaanku makin parah. Otot-otot pernafasanku mulai melemah. Karena itulah mereka membawaku ke sini lagi. Untuk mendapatkan cuci plasma. Mereka mencuci plasma darahku dari antibodi yang terlalu banyak bekerja sehingga otot-ototku melemah dan kaku.Selain otot wajahku yang menjadi kaku, tubuhku juga mulai lumpuh.
"Hey kita bertemu lagi." Perawat itu mencoba menghiburku.
Aku hanya terdiam. Nampaknya aku tidak akan pernah dibawanya keluar dari kamar ini. Kondisiku semakin lama semakin memburuk.
"Tidak, kau pasti akan keluar dari kamar ini. Jangan patah semangat begitu."
Hey bagaimana kau bisa membaca pikiranku? Padahal wajahku sekalipun tidak dapat berekspresi.
"Entahlah. Terlalu lama di sini membuatku memiliki kelebihan. Aku bisa membaca pikiran orang." Jawabnya sambil mengedipkan sebelah matanya.
Kau fikir aku akan keluar dari ruangan ini?
"Tentu. Bukankah aku sudah bilang. Ketika kau sudah siap pasti aku akan membawamu."
Yah aku tahu. Aku sudah terlalu lama merepotkan keluargaku. Seandainya aku matipun aku siap. Setidaknya aku dikelilingi oleh orang-orang yang mencintaiku,bukan?
"Ya. Inti dari hidup ini memang untuk menjadi ikhlas atas ketetapan Tuhan. Aku rasa begitu."
Aku mencoba tersenyum. Lalu aku bertanya kembali. Pasti setiap orang yang kau bawa pergi selalu senang ya?
Dia tertawa sebelum menjawab pertanyaanku. "Anehnya, justru masih saja ada orang yang tidak mau keluar. Aku rasa mereka takut akan tempat baru. Beberapa diantara mereka malah harus aku ikat karena terus meronta-ronta."
Aneh sekali. Padahal mereka akan menuju tempat yang lebih menyenangkan.
"Cepatlah sembuh, maka kau akan aku bawa ke sana."
Aku mengiyakan dalam hati dan tertidur. Kali ini aku tertidur agak lama. Mungkin pengaruh obat.
Keesokan harinya aku terbangun saat suara gaduh muncul di sekitarku. Aku melihat sekeliling, dokter dan perawat tampak sibuk di dekatku. Aku bisa melihat kepanikan di wajah mereka. Salah seorang perawat menyuntikkan obat bius ke lenganku dan aku kembali terlelap tidak sadarkan diri.
"Akhirnya kamu siuman juga." Suara itu tidak asing bagiku.
Aku mencoba berbicara, tapi tidak ada suara yang keluar dari mulutku.
"Beberapa hari yang lalu kondisimu memburuk."
Tidak, berarti aku tidak akan bisa keluar dari tempat ini secepatnya.
"Waktu untukmu meninggalkan tempat ini akan tiba."
Aku tersenyum. Kali ini wajahku sudah tidak terlalu kaku.
Perawat itu menatap jam dinding di kamarku. "Baiklah, waktunya telah tiba. Pegang tanganku, aku kan membawamu pergi dari sini."
Bagaimana mungkin aku bisa pergi dari sini. Bergerak saja aku sama sekali tidak bisa. Mana mungkin aku bisa dipindahkan. Setidaknya kau harus membawaku dengan kursi roda.
"Percaya padaku. Sekarang bangunlah dan cobalah untuk berjalan. Aku akan membantumu." Dia menggenggam tanganku dan membantu aku bangun.
Dengan ragu-ragu aku mencoba untuk kemudian berjalan. Ajaib, aku bisa berjalan seperti dulu. Aku hampir saja melompat kegirangan. Tapi aku tahan. Hanya tersenyum lebar.
Dia tersenyum dan terus menggenggam tanganku sementara aku berjalan di sampingnya.
"Tidak buruk kan untuk menunggu sampai waktunya tiba? Aku senang kamu juga tidak lagi mempertanyakan takdir. Aku yakin kamu sekarang mengerti maksud dari apa yang dulu aku katakan kepadamu."
Aku mengangguk dan tersenyum.
Tiba-tiba aku sadari kegaduhan di lorong rumah sakit ini. Beberapa perawat berlari menuju ruangan tempatku tadi. Aku kemudian berbalik dan melihat. Aku melihat sesosok tubuh yang sangat mirip denganku terbaring di ranjangku.
Aku bertanya pada perawat yang membawaku. Sedikit-sedikit aku mulai paham.
"Siapa namamu? Kau belum pernah memperkenalkan namamu padaku."
Dia menjawab singkat, "Izrail."
firahaziz.wordpress.com
Ini kali ketiga aku berada di ruang ICU. Aku mulai terbiasa dengan bau obatnya, teriakan-teriakan keluarga yang kehilangan anggotanya atau jerit kesakitan pasien. Pemandangannya pun sudah aku hafal dengan baik, perawat-perawat berpakaian putih,dokter berpakaian jaga..ah semuanya menjadi biasa bagiku.
Kamar isolasi ini juga mulai menjadi kamar keduaku. Terpisah dari pasien lain karena penyakitku merupakan penyakit autoimun, yang berarti tubuhku sendiri lah yang membuatku sakit. Dokter bilang nama penyakitku Myasthenia gravis, penyakit dimana otot-ototku lumpuh karena antibodi yang aku miliki menghambat ototku untuk bergerak normal.
Mengapa harus aku yang mengalami sakit ini? Di saat aku mulai menyukai kegiatanku sebagai atlet, penyakit ini menyerangku. Kenapa hidup ini terasa tidak adil? Aku mulai membenci keadaan ini dan menyalahkan takdir.
"Hey, apa kabarmu hari ini?" Seorang perawat menghampiri tempatku terbaring. Penampilannya simpatik, seulas senyum merekah di bibirnya. Membuatku mau tak mau berusaha membalasnya.
Dia memang selalu menemaniku ketika keluargaku sedang beristirahat dan tidak ada yang menemaniku. Setiap kali aku masuk ICU, pasti dia menyempatkan diri untuk menyapaku.
"Tidak ada yang berubah. Aku masih terbaring di sini. Terjebak dengan ketidakberdayaanku."
"Jangan menyesali keadaanmu. Semua yang terjadi pada diri kita memiliki alasan. Ini hanya salah satu bentuk cobaan kehidupan, kamu harus kuat." Suaranya menenteramkan. Hingga aku lupa untuk terus mengutuk ketidak adilan hidup ini.
"Sebenarnya apa tugasmu? Aku tidak pernah melihatmu melakukan tugas seperti perawat lain." Akhirnya aku memberanikan diri bertanya padanya.
"Tugasku hanya membawa orang-orang yang dinyatakan siap untuk keluar dari ruangan ini. Aku membawa mereka ke tempat yang lebih nyaman."
"Kapan kau akan membawaku pergi keluar? Aku sudah muak terkurung di tempat ini."
"Tidak sekarang. Nanti saat kamu telah cukup kuat, aku akan mengajakmu pergi. Sekarang minum obatmu dan berusalah untuk berhenti menyalahkan apa yang terjadi pada dirimu."
Setelah membantuku meminum obat, perawat itu pergi keluar ruangan. Aku masih memikirkan apa yang dia katakan tadi. Apa benar semuanya terjadi karena alasan tertentu? Apa benar ini cobaan yang harus aku taklukkan? Aku terus memikirkannya hingga efek obat yang ku minum bekerja. Aku jatuh terlelap.
Di mimpiku, aku bertemu lagi dengan perawat yang tadi.
"Tuhan adalah penulis skenario yang terbaik. Jangan pertanyakan apa yang telah ditetapkan-Nya untuk umat-Nya. Jalani saja dan suatu saat kamu akan mengerti apa arti dari semua yang terjadi kepadamu."
°°°°°°°°°°°
Aku masuk ICU lagi. Kali ini keadaanku makin parah. Otot-otot pernafasanku mulai melemah. Karena itulah mereka membawaku ke sini lagi. Untuk mendapatkan cuci plasma. Mereka mencuci plasma darahku dari antibodi yang terlalu banyak bekerja sehingga otot-ototku melemah dan kaku.Selain otot wajahku yang menjadi kaku, tubuhku juga mulai lumpuh.
"Hey kita bertemu lagi." Perawat itu mencoba menghiburku.
Aku hanya terdiam. Nampaknya aku tidak akan pernah dibawanya keluar dari kamar ini. Kondisiku semakin lama semakin memburuk.
"Tidak, kau pasti akan keluar dari kamar ini. Jangan patah semangat begitu."
Hey bagaimana kau bisa membaca pikiranku? Padahal wajahku sekalipun tidak dapat berekspresi.
"Entahlah. Terlalu lama di sini membuatku memiliki kelebihan. Aku bisa membaca pikiran orang." Jawabnya sambil mengedipkan sebelah matanya.
Kau fikir aku akan keluar dari ruangan ini?
"Tentu. Bukankah aku sudah bilang. Ketika kau sudah siap pasti aku akan membawamu."
Yah aku tahu. Aku sudah terlalu lama merepotkan keluargaku. Seandainya aku matipun aku siap. Setidaknya aku dikelilingi oleh orang-orang yang mencintaiku,bukan?
"Ya. Inti dari hidup ini memang untuk menjadi ikhlas atas ketetapan Tuhan. Aku rasa begitu."
Aku mencoba tersenyum. Lalu aku bertanya kembali. Pasti setiap orang yang kau bawa pergi selalu senang ya?
Dia tertawa sebelum menjawab pertanyaanku. "Anehnya, justru masih saja ada orang yang tidak mau keluar. Aku rasa mereka takut akan tempat baru. Beberapa diantara mereka malah harus aku ikat karena terus meronta-ronta."
Aneh sekali. Padahal mereka akan menuju tempat yang lebih menyenangkan.
"Cepatlah sembuh, maka kau akan aku bawa ke sana."
Aku mengiyakan dalam hati dan tertidur. Kali ini aku tertidur agak lama. Mungkin pengaruh obat.
Keesokan harinya aku terbangun saat suara gaduh muncul di sekitarku. Aku melihat sekeliling, dokter dan perawat tampak sibuk di dekatku. Aku bisa melihat kepanikan di wajah mereka. Salah seorang perawat menyuntikkan obat bius ke lenganku dan aku kembali terlelap tidak sadarkan diri.
"Akhirnya kamu siuman juga." Suara itu tidak asing bagiku.
Aku mencoba berbicara, tapi tidak ada suara yang keluar dari mulutku.
"Beberapa hari yang lalu kondisimu memburuk."
Tidak, berarti aku tidak akan bisa keluar dari tempat ini secepatnya.
"Waktu untukmu meninggalkan tempat ini akan tiba."
Aku tersenyum. Kali ini wajahku sudah tidak terlalu kaku.
Perawat itu menatap jam dinding di kamarku. "Baiklah, waktunya telah tiba. Pegang tanganku, aku kan membawamu pergi dari sini."
Bagaimana mungkin aku bisa pergi dari sini. Bergerak saja aku sama sekali tidak bisa. Mana mungkin aku bisa dipindahkan. Setidaknya kau harus membawaku dengan kursi roda.
"Percaya padaku. Sekarang bangunlah dan cobalah untuk berjalan. Aku akan membantumu." Dia menggenggam tanganku dan membantu aku bangun.
Dengan ragu-ragu aku mencoba untuk kemudian berjalan. Ajaib, aku bisa berjalan seperti dulu. Aku hampir saja melompat kegirangan. Tapi aku tahan. Hanya tersenyum lebar.
Dia tersenyum dan terus menggenggam tanganku sementara aku berjalan di sampingnya.
"Tidak buruk kan untuk menunggu sampai waktunya tiba? Aku senang kamu juga tidak lagi mempertanyakan takdir. Aku yakin kamu sekarang mengerti maksud dari apa yang dulu aku katakan kepadamu."
Aku mengangguk dan tersenyum.
Tiba-tiba aku sadari kegaduhan di lorong rumah sakit ini. Beberapa perawat berlari menuju ruangan tempatku tadi. Aku kemudian berbalik dan melihat. Aku melihat sesosok tubuh yang sangat mirip denganku terbaring di ranjangku.
Aku bertanya pada perawat yang membawaku. Sedikit-sedikit aku mulai paham.
"Siapa namamu? Kau belum pernah memperkenalkan namamu padaku."
Dia menjawab singkat, "Izrail."
Dia Menertawakanku
oleh; @faizalegi
Dengan mendongakkan dagu aku datangi rumah itu, rumah dimana 2 bulan ini aku mendapatkan ribuan cambukan, ratusan tusukan, dan jutaan siksaan yang lain. Mungkin seharusnya aku sudah mati dengan menerima semua itu, tapi entah mengapa aku masih berdiri disini, di dunia ini, dan tetap merasakan sakit duniawi. Ku busungkan dadaku, ku dongakkan kepalaku, dan ku hirup sebanyak mungkin oksigen untuk mendukungku sebelum aku melangkahkan kaki ke rumah itu. Aku yakin, kali ini aku kuat, aku tidak akan tersakiti dengan apapun yang bersemayam di dalam rumah itu. IYA! AKU YAKIN TENTANG INI! TIDAK ADA SESUATU ATAU SEORANGPUN YANG DAPAT MENYAKITIKU! TIDAK LAGI SEKARANG!
Kulangkahkan kaki di pelatarannya, aku tersenyum, pelataran gersang yang hanya terhampar bara panas ini tak lagi menyakitiku meskipun kaki telanjangku berpijak padanya. Perkiraanku benar, aku sekarang kuat! Kuhampiri satu - satunya pintu untuk memasuki rumah itu. Pintu berwarna merah darah, pintu yang sebelumnya setiap aku melihatnya air mataku otomatis langsung menetes. Tapi kali ini beda, mataku tetap kering. Aku semakin yakin bahwa aku benar - benar kuat untuk menghadapinya! Kumantapkan hati dan kupegang pegangan pintu itu, kuputar, kemudian kudorong perlahan ke dalam.
Sesuatu berhembus dari dalam, bukan angin! Aku tau pasti ini bukan angin, ini kebalikan dari angin. Jika angin membelai dengan kesegarannya, maka hal ini menawarkan kesengsaraan, kesengsaraan yang menyentuh setiap mili dari apapun yang dilewatinya. Aku kehabisan nafas, dadaku sesak, oksigen yang tadi kusimpan sebanyak mungkin dalam rongga paru - paruku mendadak lenyap. Kakilu lemas, setiap tulang di tubuhku seperti dicabut secara paksa. Otakku ngilu serasa diremas - remas dan dicabik - cabik tangan raksasa. Entah malaikat atau iblis mana yang tega melakukan ini padaku. Sakiiiitttttttttttttttt...!!!!!
Aku tersungkur tak berdaya, perlahan tubuhku terseret ke dalam rumah itu. Tubuhku bergesekan dengan lantainya yang terbuat dari berbagai bentuk dan ukuran pecahan kaca."Selesai...", pikirku. Sekali lagi aku terperangkap di dalam rumah ini. Seperti yang lalu, aku disambut dengan teriakan dan cemoohan orang - orang yang lebih kuat dariku, lebih kuat sehingga mampu mengalahkan perasaannya dan sanggup membunuh apa yang disebut "CINTA".
Lalu, dari kerumunan itu seseorang mendekat padaku. Seseorang dengan wajah bersinar yang menyiratkan betapa bahagianya dia sekarang, kemudian dia berkata padaku "Lihatlah padaku, aku meninggalkanmu jauh di belakangku. Kamu tidak pernah berhasil menyamai langkahku dalam hal apapun, KARENA KAMU LEMAH!". Lalu dia kembali ke dalam kerumunan itu dan tertawa bersama mereka. Sakit rasanya dikatai seperti itu, terlebih jika yang mengucapkannya adalah orang yang 5 tahun belakangan hidup bersamaku di dalam rumah ini sebelum rumah ini berubah seperti sekarang, seseorang yang karena dia aku rela menjadi lemah dan bodoh.
Dengan mendongakkan dagu aku datangi rumah itu, rumah dimana 2 bulan ini aku mendapatkan ribuan cambukan, ratusan tusukan, dan jutaan siksaan yang lain. Mungkin seharusnya aku sudah mati dengan menerima semua itu, tapi entah mengapa aku masih berdiri disini, di dunia ini, dan tetap merasakan sakit duniawi. Ku busungkan dadaku, ku dongakkan kepalaku, dan ku hirup sebanyak mungkin oksigen untuk mendukungku sebelum aku melangkahkan kaki ke rumah itu. Aku yakin, kali ini aku kuat, aku tidak akan tersakiti dengan apapun yang bersemayam di dalam rumah itu. IYA! AKU YAKIN TENTANG INI! TIDAK ADA SESUATU ATAU SEORANGPUN YANG DAPAT MENYAKITIKU! TIDAK LAGI SEKARANG!
Kulangkahkan kaki di pelatarannya, aku tersenyum, pelataran gersang yang hanya terhampar bara panas ini tak lagi menyakitiku meskipun kaki telanjangku berpijak padanya. Perkiraanku benar, aku sekarang kuat! Kuhampiri satu - satunya pintu untuk memasuki rumah itu. Pintu berwarna merah darah, pintu yang sebelumnya setiap aku melihatnya air mataku otomatis langsung menetes. Tapi kali ini beda, mataku tetap kering. Aku semakin yakin bahwa aku benar - benar kuat untuk menghadapinya! Kumantapkan hati dan kupegang pegangan pintu itu, kuputar, kemudian kudorong perlahan ke dalam.
Sesuatu berhembus dari dalam, bukan angin! Aku tau pasti ini bukan angin, ini kebalikan dari angin. Jika angin membelai dengan kesegarannya, maka hal ini menawarkan kesengsaraan, kesengsaraan yang menyentuh setiap mili dari apapun yang dilewatinya. Aku kehabisan nafas, dadaku sesak, oksigen yang tadi kusimpan sebanyak mungkin dalam rongga paru - paruku mendadak lenyap. Kakilu lemas, setiap tulang di tubuhku seperti dicabut secara paksa. Otakku ngilu serasa diremas - remas dan dicabik - cabik tangan raksasa. Entah malaikat atau iblis mana yang tega melakukan ini padaku. Sakiiiitttttttttttttttt...!!!!!
Aku tersungkur tak berdaya, perlahan tubuhku terseret ke dalam rumah itu. Tubuhku bergesekan dengan lantainya yang terbuat dari berbagai bentuk dan ukuran pecahan kaca."Selesai...", pikirku. Sekali lagi aku terperangkap di dalam rumah ini. Seperti yang lalu, aku disambut dengan teriakan dan cemoohan orang - orang yang lebih kuat dariku, lebih kuat sehingga mampu mengalahkan perasaannya dan sanggup membunuh apa yang disebut "CINTA".
Lalu, dari kerumunan itu seseorang mendekat padaku. Seseorang dengan wajah bersinar yang menyiratkan betapa bahagianya dia sekarang, kemudian dia berkata padaku "Lihatlah padaku, aku meninggalkanmu jauh di belakangku. Kamu tidak pernah berhasil menyamai langkahku dalam hal apapun, KARENA KAMU LEMAH!". Lalu dia kembali ke dalam kerumunan itu dan tertawa bersama mereka. Sakit rasanya dikatai seperti itu, terlebih jika yang mengucapkannya adalah orang yang 5 tahun belakangan hidup bersamaku di dalam rumah ini sebelum rumah ini berubah seperti sekarang, seseorang yang karena dia aku rela menjadi lemah dan bodoh.
Sekali Ibu Sampai Kapan Pun Kau Tetap Ibu
Oleh: Hana Arintya
Apakah Ibu tiri harus selalu jahat? Entahlah. Waktu aku kecil dan membaca dongeng Cinderella Ibu tiri adalah sosok yang jahat itu tapi kan dongeng buatan luar negeri. Tapi, dalam negeri pun ada dongeng serupa berjudul Bawang Merah dan Bawang Putih. Hmm, tapi itu kan dulu. Bagaimana kalau ternyata kebalikannya justru Ibu tiriku wanita yang baik dan Ibu kandungku malah sebaliknya? Entahlah tapi ini sepenggal kisahku.
Jadi sebut saja namaku Bunga. Well, nama yang terdengar pasaran. Tapi ku harap kisahku nggak terlalu pasaran. Hmm jadi bagaimana biar aku mulai saja dari bagian ketika masa kanak-kanakku. Aku anak tunggal. Ayahku dia tadinya lelaki yang baik. Hmm sepertinya sih begitu. Oh iya sebelum menikahi Ibuku sebelumnya dia sempat menikahi wanita lain. Jadi bisa dibilang Ibuku istri ke-2. Ayahku tidak terlalu kaya, tapi rasanya juga tidak terlalu miskin. Ya, kehidupanku berkecukupan. Menurutku sih begitu. Cukuplah buat makan 3 kali sehari. Cukuplah untuk aku memiliki pakaian yang pantas.
Entah bagaimana ceritanya sepertinya Ayah keranjingan video dewasa yang berbahaya. Soalnya aku sering mendengar suara Ibu berteriak seakan menahan sakit. Mendengarnya saja aku sudah rasanya tidak sanggup apalagi membayangkannya. Kalau mama tidak ingin menuruti permintaan papa, papa tidak akan segan-segan main fisik. Rasanya mamaku tak ubahnya binatang. Tapi, Mama terlalu sayang dengan papa. Mama terlalu cinta dengan papa lagipula posisi mama yang hanya Ibu rumah tangga membuat mama nggak punya daya upaya apa – apa kalau papa berlepas tangan dari pembiayaan terhadap aku dan mama.
Tiba- tiba saja papa meninggalkanku dan mama. Mama yang stress menyiksa dirinya dengan merokok dan mencoba melukai dirinya dengan apapun itu cara yang terbersit dibenaknya. Sepertinya rasa sakit yang telah papa tanamkan seolah-olah menjadi kebiasaan untuk mamaku. Aku pernah mendekat atau menghampiri ingin mencoba menolong tapi mama yang sudah gelap mata malah memberiku hadiah luka sudutan rokok. Melihat aku menangis dan ketakutan mamaku yang telah gelap mata seakan-akan puas menjadikan ketidakberdayaanku sebagai objek hiburannya.
“Mama.... sakit.... sakit,ma. Apa salah Bunga mama?”
“Nangis aja yang keras. Teriak aja yang keras. Hahaha.”
“Mamaaaa....”
Aku hanya bisa melampiaskan rasa sakit itu dengan teriak dan menangis. Kalau sudah terlalu lelah, aku akan memilih untuk tidur. Tapi, mama nggak akan senang melihatku tertidur. Tidak secepat itu baginya.
Tante Rina suatu hari datang ke rumahku untuk ingin menyebarkan undangan pengajian. Tapi, betapa terkejutnya dia ketika menemukan dirumahku sosokku yang sedang menderita. Saat, itu juga untuk sementara aku diangkat anak oleh Tante Rina. Sedangkan mamaku diamankan dengan dikirimkan ke rumah sakit jiwa. Bisa saja sih mamaku dikirimkan ke penjara tapi sepertinya yang lebih mamaku butuhkan adalah rumah sakit jiwa.
Jadilah akhirnya aku sudah seperti anak sendiri bagi Tante Rina. Anak – anak tante Rina laki-laki semua. Karena aku anak perempuan satu-satunya disana beruntunglah aku jadi dispesialkan. Suami baru tante Rina adalah seorang ustadz dia tergolong loyal dalam berbagi ilmu agama. Disinilah rasa memilikiku akan kehadiran Tuhan kian terasah.
Aku selalu mendoakan kebaikan Ibu disetiap sholatku. Disetiap malam sebelum tidur. Disetiap waktuku setiap kali aku ingat Ibu aku pasti akan selalu mendoakannya. Kadang aku mencemaskan apakah Ibu tidur dengan nyenyak? Makan dengan enak? Masihkah dia menyakiti dirinya? Sebenarnya lucu juga bagaimana kalau misalnya ada Ibu yang durhaka pada anak masihkah akan kau anggap dia sebagai ibumu?
“Bunda, bolehkah aku pergi ke tempat mama? “
“Hmm. Tapi Bunda takut dia akan menyerangmu. “
“Tidak apa-apa,Bunda, aku sudah cukup kuat untuk mempertahankan diriku dibandingkan saat itu. Kan sekarang aku sudah 15 tahun. Aku sudah SMA sebentar lagi usiaku 17 tahun.”
“Iya. Tapi itu kan 2 tahun lagi. Yasudah biar Bunda minta tolong Rio untuk menemanimu ya Bunga. “
“Ah ga pa-pa kok Bunda sendirian juga.”
“Jangan begitu kamu kan sudah seperti anak Bunda sendiri.”
“ Ya sudah deh Bunda. Terima kasih.”
Pada akhirnya niatnya nggak mau merepotkan tante Rina alias Bunda dan anaknya tapi akhirnya aku merepotkan salah satu dari mereka. Karena Bunda yang meminta walau ogah-ogahan mau juga Rio mengantarkan aku ke RSJ yang lama sekali aku tak pernah menghampirinya.
Di RSJ
Aku langsung menuju kamar dimana mamaku dirawat. Rasanya aku sudah tidak sabar ingin melihat wajahnya. Sosoknya. Aku ingin memeluknya. Memanggilnya “mama” sebuah panggilan sederhana yang lama sekali tidak pernah aku gaungkan.
Ketika aku sampai didepan pintu kamar mama dan melongoknya lewat kaca pintu. Aku nyaris tak percaya dengan sosok yang aku liat. Seketika itu juga aku merasa lemas hingga terduduk. Mama.... Ya Tuhan mama! Benarkah dia mama? Sosok yang sekian lama tak pernah aku lihat. Air mataku mengalir awalnya sedikit lama-lama saling menyambung hingga sudah begitu deras.
Mama. Mama. Mama. Mama yang duluuu sekali aku lihat aku kenali saat ini tampak seperti orang lain saja. Aku tidak yakin apakah itu mamaku ataukah sebuah tengkorak hidup yang hanya tulang saja berlapis kulit tanpa ada daging. Itu apa benar mama ya? Ku kucek-kucek kedua mataku berharap ini hanya mimpi. Tapi sepertinya percuma itu memang benar mama.
Dia tampak sangat kurus. Apakah mereka cukup memberikan makanan enak pada mama ya? Akupun membuka pintu dan berlari ke arah mama. Memeluknya dengan hati-hati. Aku jadi takut tulang-tulangnya akan retak kalau aku terlalu bersemangat memeluknya.
“Mama ini Bunga. Bunga anak mama. “
“Bunga? Anak mama? Benar begitu? Kenapa kamu meninggalkan mama? Bunga jahat.”
“Mama, maaf waktu itu mama bersikap kasar pada bunga. Bunga ngga punya pilihan selain ikut orang lain mama. Ma, Bunga sayang mama. “
“Kalau Bunga sayang mama kenapa ga tiap waktu Bunga datang ke mama? Kenapa baru sekarang Bunga? Kenapa?”
“Karena dulu kalo Bunga dekat-dekat mama entah berapa banyak lagi luka yang akan Bunga tanggung. Itu ga penting ma. Yang penting sekarang Bunga disini untuk mama ayo ma. Biar bunga urus agar mama bisa keluar dari sini. “
Akupun mengeluarkan ponselku dan bergegas menelpon Bunda meminta izinnya agar aku bisa mengeluarkan mama dari tempat dia sekarang berada. Bunda pun menyusul dan membantu proses perizinan agar mama bisa keluar. Rasanya aku tidak sabar menjalani kehidupan baruku.
“Ma, aku bersyukur Tuhan masih ngasih mama nyawa. Mama masih hidup. Bagaimana kalau mamapun berkenalan dengan Tuhan. Soalnya yg namanya manusia itu kan memiliki keterbatasan.”
“Padahal selama ini mama sering berharap kenapa sih Tuhan ngga cabut aja nyawa mama? Kenapa mama masih dikasih kesempatan hidup?”
“Mama harusnya bersyukur ma. Masih ada cukup waktu untuk menjadikan hidup mama lebih bermakna. Syukur-syukur mama bisa meninggal dalam keadaan mati yang indah bukannya mati yang menyedihkan.”
“Begitu ya menurutmu? “
“Iya.” Balasku sembari tersenyum.
Semenjak kepulangan mama dari tempat yang mengisolasinya, sekarang mama lebih mendalami agama dengan dibantu Bunda. Rasanya menyenangkan melihat mama jadi lebih baik dari dulu terakhir kali aku bertemu mama. Suatu hari aku sedang shalat jamaah bersama Bunda, dan mama. Tapi aku bingung karena disalah satu gerakan sujud saat menjelang gerakan salam mama seperti tidak terbangun juga dari sujudnya. Mungkin mama memang sedang terlalu menghayati gerakan sujudnya. Ketika aku dan Bunda mendekati mama seusai shalat aku baru sadar bahwa mama telah meninggal dunia dalam keadaan sujud.
Kesan pertama aku sempat menangis nggak rela. Namun kusadari, bukankah dalam rangkaian bacaan sholatku hidup dan matiku hanyalah untuk Alloh. Jadi aku rasa sosok
mamaku Cuma titipan. Senangnya mama sudah bisa berjumpa dengan Tuhan. Ah akupun yang masih dapat kesempatan hidup harus memaksimalkan perbekalanku sebelum Tuhan menyapaku lewat kematian. Semangat! Karena hidup di dunia sebentar saja. Sekedar mampir. Tuhan, kapan pun itu kau menyapaku semoga aku siap dengan dunia lain itu.
Apakah Ibu tiri harus selalu jahat? Entahlah. Waktu aku kecil dan membaca dongeng Cinderella Ibu tiri adalah sosok yang jahat itu tapi kan dongeng buatan luar negeri. Tapi, dalam negeri pun ada dongeng serupa berjudul Bawang Merah dan Bawang Putih. Hmm, tapi itu kan dulu. Bagaimana kalau ternyata kebalikannya justru Ibu tiriku wanita yang baik dan Ibu kandungku malah sebaliknya? Entahlah tapi ini sepenggal kisahku.
Jadi sebut saja namaku Bunga. Well, nama yang terdengar pasaran. Tapi ku harap kisahku nggak terlalu pasaran. Hmm jadi bagaimana biar aku mulai saja dari bagian ketika masa kanak-kanakku. Aku anak tunggal. Ayahku dia tadinya lelaki yang baik. Hmm sepertinya sih begitu. Oh iya sebelum menikahi Ibuku sebelumnya dia sempat menikahi wanita lain. Jadi bisa dibilang Ibuku istri ke-2. Ayahku tidak terlalu kaya, tapi rasanya juga tidak terlalu miskin. Ya, kehidupanku berkecukupan. Menurutku sih begitu. Cukuplah buat makan 3 kali sehari. Cukuplah untuk aku memiliki pakaian yang pantas.
Entah bagaimana ceritanya sepertinya Ayah keranjingan video dewasa yang berbahaya. Soalnya aku sering mendengar suara Ibu berteriak seakan menahan sakit. Mendengarnya saja aku sudah rasanya tidak sanggup apalagi membayangkannya. Kalau mama tidak ingin menuruti permintaan papa, papa tidak akan segan-segan main fisik. Rasanya mamaku tak ubahnya binatang. Tapi, Mama terlalu sayang dengan papa. Mama terlalu cinta dengan papa lagipula posisi mama yang hanya Ibu rumah tangga membuat mama nggak punya daya upaya apa – apa kalau papa berlepas tangan dari pembiayaan terhadap aku dan mama.
Tiba- tiba saja papa meninggalkanku dan mama. Mama yang stress menyiksa dirinya dengan merokok dan mencoba melukai dirinya dengan apapun itu cara yang terbersit dibenaknya. Sepertinya rasa sakit yang telah papa tanamkan seolah-olah menjadi kebiasaan untuk mamaku. Aku pernah mendekat atau menghampiri ingin mencoba menolong tapi mama yang sudah gelap mata malah memberiku hadiah luka sudutan rokok. Melihat aku menangis dan ketakutan mamaku yang telah gelap mata seakan-akan puas menjadikan ketidakberdayaanku sebagai objek hiburannya.
“Mama.... sakit.... sakit,ma. Apa salah Bunga mama?”
“Nangis aja yang keras. Teriak aja yang keras. Hahaha.”
“Mamaaaa....”
Aku hanya bisa melampiaskan rasa sakit itu dengan teriak dan menangis. Kalau sudah terlalu lelah, aku akan memilih untuk tidur. Tapi, mama nggak akan senang melihatku tertidur. Tidak secepat itu baginya.
Tante Rina suatu hari datang ke rumahku untuk ingin menyebarkan undangan pengajian. Tapi, betapa terkejutnya dia ketika menemukan dirumahku sosokku yang sedang menderita. Saat, itu juga untuk sementara aku diangkat anak oleh Tante Rina. Sedangkan mamaku diamankan dengan dikirimkan ke rumah sakit jiwa. Bisa saja sih mamaku dikirimkan ke penjara tapi sepertinya yang lebih mamaku butuhkan adalah rumah sakit jiwa.
Jadilah akhirnya aku sudah seperti anak sendiri bagi Tante Rina. Anak – anak tante Rina laki-laki semua. Karena aku anak perempuan satu-satunya disana beruntunglah aku jadi dispesialkan. Suami baru tante Rina adalah seorang ustadz dia tergolong loyal dalam berbagi ilmu agama. Disinilah rasa memilikiku akan kehadiran Tuhan kian terasah.
Aku selalu mendoakan kebaikan Ibu disetiap sholatku. Disetiap malam sebelum tidur. Disetiap waktuku setiap kali aku ingat Ibu aku pasti akan selalu mendoakannya. Kadang aku mencemaskan apakah Ibu tidur dengan nyenyak? Makan dengan enak? Masihkah dia menyakiti dirinya? Sebenarnya lucu juga bagaimana kalau misalnya ada Ibu yang durhaka pada anak masihkah akan kau anggap dia sebagai ibumu?
“Bunda, bolehkah aku pergi ke tempat mama? “
“Hmm. Tapi Bunda takut dia akan menyerangmu. “
“Tidak apa-apa,Bunda, aku sudah cukup kuat untuk mempertahankan diriku dibandingkan saat itu. Kan sekarang aku sudah 15 tahun. Aku sudah SMA sebentar lagi usiaku 17 tahun.”
“Iya. Tapi itu kan 2 tahun lagi. Yasudah biar Bunda minta tolong Rio untuk menemanimu ya Bunga. “
“Ah ga pa-pa kok Bunda sendirian juga.”
“Jangan begitu kamu kan sudah seperti anak Bunda sendiri.”
“ Ya sudah deh Bunda. Terima kasih.”
Pada akhirnya niatnya nggak mau merepotkan tante Rina alias Bunda dan anaknya tapi akhirnya aku merepotkan salah satu dari mereka. Karena Bunda yang meminta walau ogah-ogahan mau juga Rio mengantarkan aku ke RSJ yang lama sekali aku tak pernah menghampirinya.
Di RSJ
Aku langsung menuju kamar dimana mamaku dirawat. Rasanya aku sudah tidak sabar ingin melihat wajahnya. Sosoknya. Aku ingin memeluknya. Memanggilnya “mama” sebuah panggilan sederhana yang lama sekali tidak pernah aku gaungkan.
Ketika aku sampai didepan pintu kamar mama dan melongoknya lewat kaca pintu. Aku nyaris tak percaya dengan sosok yang aku liat. Seketika itu juga aku merasa lemas hingga terduduk. Mama.... Ya Tuhan mama! Benarkah dia mama? Sosok yang sekian lama tak pernah aku lihat. Air mataku mengalir awalnya sedikit lama-lama saling menyambung hingga sudah begitu deras.
Mama. Mama. Mama. Mama yang duluuu sekali aku lihat aku kenali saat ini tampak seperti orang lain saja. Aku tidak yakin apakah itu mamaku ataukah sebuah tengkorak hidup yang hanya tulang saja berlapis kulit tanpa ada daging. Itu apa benar mama ya? Ku kucek-kucek kedua mataku berharap ini hanya mimpi. Tapi sepertinya percuma itu memang benar mama.
Dia tampak sangat kurus. Apakah mereka cukup memberikan makanan enak pada mama ya? Akupun membuka pintu dan berlari ke arah mama. Memeluknya dengan hati-hati. Aku jadi takut tulang-tulangnya akan retak kalau aku terlalu bersemangat memeluknya.
“Mama ini Bunga. Bunga anak mama. “
“Bunga? Anak mama? Benar begitu? Kenapa kamu meninggalkan mama? Bunga jahat.”
“Mama, maaf waktu itu mama bersikap kasar pada bunga. Bunga ngga punya pilihan selain ikut orang lain mama. Ma, Bunga sayang mama. “
“Kalau Bunga sayang mama kenapa ga tiap waktu Bunga datang ke mama? Kenapa baru sekarang Bunga? Kenapa?”
“Karena dulu kalo Bunga dekat-dekat mama entah berapa banyak lagi luka yang akan Bunga tanggung. Itu ga penting ma. Yang penting sekarang Bunga disini untuk mama ayo ma. Biar bunga urus agar mama bisa keluar dari sini. “
Akupun mengeluarkan ponselku dan bergegas menelpon Bunda meminta izinnya agar aku bisa mengeluarkan mama dari tempat dia sekarang berada. Bunda pun menyusul dan membantu proses perizinan agar mama bisa keluar. Rasanya aku tidak sabar menjalani kehidupan baruku.
“Ma, aku bersyukur Tuhan masih ngasih mama nyawa. Mama masih hidup. Bagaimana kalau mamapun berkenalan dengan Tuhan. Soalnya yg namanya manusia itu kan memiliki keterbatasan.”
“Padahal selama ini mama sering berharap kenapa sih Tuhan ngga cabut aja nyawa mama? Kenapa mama masih dikasih kesempatan hidup?”
“Mama harusnya bersyukur ma. Masih ada cukup waktu untuk menjadikan hidup mama lebih bermakna. Syukur-syukur mama bisa meninggal dalam keadaan mati yang indah bukannya mati yang menyedihkan.”
“Begitu ya menurutmu? “
“Iya.” Balasku sembari tersenyum.
Semenjak kepulangan mama dari tempat yang mengisolasinya, sekarang mama lebih mendalami agama dengan dibantu Bunda. Rasanya menyenangkan melihat mama jadi lebih baik dari dulu terakhir kali aku bertemu mama. Suatu hari aku sedang shalat jamaah bersama Bunda, dan mama. Tapi aku bingung karena disalah satu gerakan sujud saat menjelang gerakan salam mama seperti tidak terbangun juga dari sujudnya. Mungkin mama memang sedang terlalu menghayati gerakan sujudnya. Ketika aku dan Bunda mendekati mama seusai shalat aku baru sadar bahwa mama telah meninggal dunia dalam keadaan sujud.
Kesan pertama aku sempat menangis nggak rela. Namun kusadari, bukankah dalam rangkaian bacaan sholatku hidup dan matiku hanyalah untuk Alloh. Jadi aku rasa sosok
mamaku Cuma titipan. Senangnya mama sudah bisa berjumpa dengan Tuhan. Ah akupun yang masih dapat kesempatan hidup harus memaksimalkan perbekalanku sebelum Tuhan menyapaku lewat kematian. Semangat! Karena hidup di dunia sebentar saja. Sekedar mampir. Tuhan, kapan pun itu kau menyapaku semoga aku siap dengan dunia lain itu.
Walau Harus Berawal Dengan Rasa Sakit yang Teramat
Oleh : Hana Arintya
Setiap orang memiliki “sakit jiwa” di dalam dirinya. Mungkin ‘sakit’ itu sedang tertidur tanpa pernah kau tau kapan ‘sakit’ itu akan terbangun tanpa pernah kau harapkan.
Di sebuah rumah, tempat yang seharusnya begitu damai begitu ramah. Tapi, bagaimana kalau ternyata rumah itu tak demikian? Masih pantaskah kata “rumah” itu disandarkan dengan tempat itu.
Jadi sebutan apakah yang pantas diberikan untuk sebuah tempat, dimana disitu terdapat seorang pria tampaknya 25-an yang memperlakukan istrinya dengan sesuka hatinya, seakan-akan hanya sisi “iblis” yang dia sisakan untuk wanita yang pernah ia perlakukan selayaknya “ ratu” dalam singgasana hatinya. Sepertinya dia telah menemukan “selir” yang jauh lebih menarik daripada “ratunya”. Tetapi, mungkin juga ini karena pengaruh “kawan barunya” sebuah minuman yang seharusnya tak pernah ia kenal. Namun, ini juga tak akan pernah terjadi bila dia tak pernah tersakiti dengan pengkhianatan dari teman terbaiknya. Setelah puas bertindak sesuka hatinya, Pria tersebut pergi lagi dari tempat tersebut entah kemana. Sang Istri hanya bisa menangis menahan pedih dan segala bentuk rasa sakit yang hanya bisa dia lampiaskan lewat suara tangisan. Sang anak sesosok anak perempuan mungil hanya bisa ikut dibuat menangis.
Laki-laki itu sejak saat itu sudah sebulan lebih tak pernah muncul lagi, Sosok sang Ibu itu masih tidak habis pikir entah kesalahan apa yang barangkali ada dalam dirinya sehingga dia harus begini? Padahal dia baru saja berpikir ingin memulai hidup baru. Maka kembalilah dia ke dalam kehidupan lamanya berkenalan dengan rokok dan alkohol dengan harapan sebagai pelarian dari sakit hatinya. Tapi, siapa sangka kalau sakit hati itu telah merambah menjadi “sakit jiwa” ketika dia dengan tega menyakiti putri semata wayangnya dengan menyudutkan rokok pada sosok anak kecil tersebut.
Beberapa minggu kemudian, akhirnya anak tersebut diputuskan agar diadopsi saja oleh orang lain ketika ada kunjungan ke tiap-tiap rumah. Anak kecil tersebut saat ditemukan kondisinya sungguh memprihatinkan. Sepertinya karena tekanan rasa sakit baik secara fisik maupun psikis yang dialaminya. Di keluarga barunya ia sungguh beruntung, keluarga barunya tergolong dalam hal mendalami agama sungguh terlihat jauh lebih lumayan daripada keluarga sebelumnya. Hmm, tapi seenak apapun ditempat orang lain seenggak enak-nggak enaknya ato sesakit apapun itu di rumah sendiri sungguh hal yang rasanya Si anak perempuan itu rindukan.
Dan disetiap malam, di setiap waktunya “Tuhan, tolonglah mama. Tolong selamatkan mama. Tuhan tolonglah papa. Tuhan tolong selamatkan mereka. Sembuhkan rasa sakit mereka. Aku percaya padamu Kaulah pemegang kunci kesembuhan mereka. Terima kasih Tuhan”
Dan Tuhan menjawabnya doa seseorang yang teraniaya, Walaupun tidak seketika tetapi bila memang sudah waktunya Tuhan pasti kan mewujudkannya. Mama asli gadis tersebut saat itu terketuk untuk ikut pengajian. Papa dari gadis tersebut mulai lebih bisa menyetabilkan emosinya yang sebelumnya labil dia telah kembali ke jalan yang seharusnya dia kembali.
Setiap orang memiliki “sakit jiwa” di dalam dirinya. Mungkin ‘sakit’ itu sedang tertidur tanpa pernah kau tau kapan ‘sakit’ itu akan terbangun tanpa pernah kau harapkan.
Di sebuah rumah, tempat yang seharusnya begitu damai begitu ramah. Tapi, bagaimana kalau ternyata rumah itu tak demikian? Masih pantaskah kata “rumah” itu disandarkan dengan tempat itu.
Jadi sebutan apakah yang pantas diberikan untuk sebuah tempat, dimana disitu terdapat seorang pria tampaknya 25-an yang memperlakukan istrinya dengan sesuka hatinya, seakan-akan hanya sisi “iblis” yang dia sisakan untuk wanita yang pernah ia perlakukan selayaknya “ ratu” dalam singgasana hatinya. Sepertinya dia telah menemukan “selir” yang jauh lebih menarik daripada “ratunya”. Tetapi, mungkin juga ini karena pengaruh “kawan barunya” sebuah minuman yang seharusnya tak pernah ia kenal. Namun, ini juga tak akan pernah terjadi bila dia tak pernah tersakiti dengan pengkhianatan dari teman terbaiknya. Setelah puas bertindak sesuka hatinya, Pria tersebut pergi lagi dari tempat tersebut entah kemana. Sang Istri hanya bisa menangis menahan pedih dan segala bentuk rasa sakit yang hanya bisa dia lampiaskan lewat suara tangisan. Sang anak sesosok anak perempuan mungil hanya bisa ikut dibuat menangis.
Laki-laki itu sejak saat itu sudah sebulan lebih tak pernah muncul lagi, Sosok sang Ibu itu masih tidak habis pikir entah kesalahan apa yang barangkali ada dalam dirinya sehingga dia harus begini? Padahal dia baru saja berpikir ingin memulai hidup baru. Maka kembalilah dia ke dalam kehidupan lamanya berkenalan dengan rokok dan alkohol dengan harapan sebagai pelarian dari sakit hatinya. Tapi, siapa sangka kalau sakit hati itu telah merambah menjadi “sakit jiwa” ketika dia dengan tega menyakiti putri semata wayangnya dengan menyudutkan rokok pada sosok anak kecil tersebut.
Beberapa minggu kemudian, akhirnya anak tersebut diputuskan agar diadopsi saja oleh orang lain ketika ada kunjungan ke tiap-tiap rumah. Anak kecil tersebut saat ditemukan kondisinya sungguh memprihatinkan. Sepertinya karena tekanan rasa sakit baik secara fisik maupun psikis yang dialaminya. Di keluarga barunya ia sungguh beruntung, keluarga barunya tergolong dalam hal mendalami agama sungguh terlihat jauh lebih lumayan daripada keluarga sebelumnya. Hmm, tapi seenak apapun ditempat orang lain seenggak enak-nggak enaknya ato sesakit apapun itu di rumah sendiri sungguh hal yang rasanya Si anak perempuan itu rindukan.
Dan disetiap malam, di setiap waktunya “Tuhan, tolonglah mama. Tolong selamatkan mama. Tuhan tolonglah papa. Tuhan tolong selamatkan mereka. Sembuhkan rasa sakit mereka. Aku percaya padamu Kaulah pemegang kunci kesembuhan mereka. Terima kasih Tuhan”
Dan Tuhan menjawabnya doa seseorang yang teraniaya, Walaupun tidak seketika tetapi bila memang sudah waktunya Tuhan pasti kan mewujudkannya. Mama asli gadis tersebut saat itu terketuk untuk ikut pengajian. Papa dari gadis tersebut mulai lebih bisa menyetabilkan emosinya yang sebelumnya labil dia telah kembali ke jalan yang seharusnya dia kembali.
Impossible Love
Oleh : Nada Azizah ( @naadnood ) http://chocolatecoffee-nadas.blogspot.com
‘Drrrrt…Drrrrt…’
Ponselku bergetar. Lampu LED pun menyala. Ada chat yang masuk. Segera aku menaruh novel yang tadi kubaca lalu membuka chat yang masuk ke ponselku. Rio.
Rio : Jgn baca terus. Makan jgn lupa ya neng.
Fia : Siap bos J
Aku tersenyum membaca chat itu. Sepele sebenarnya. Hanya mengingatkan makan. Akan tetapi, orang yang mengucapkannya yang membuatku tersenyum. Orang yang telah membuat perasaanku diaduk-aduk seminggu ini. Rio. Teman sekelasku. Teman dekatku. Awalnya aku dan dia hanya berteman biasa. Akan tetapi, makin hari Rio makin perhatian padaku dan – ya sejujurnya – itu menumbuhkan sebibit harapan di hatiku. Ponselku kembali bergetar.
Rio : PING!!!
Rio : Lo hrs tau. Firda sms gw lg!
Aku menghela nafas panjang. Firda. Again. Yap, Rio menyukai Firda. Anak kelas sebelah.Aku mendengus kesal. Cemburu? Iya. Sakit? Sangat. Bagaimana tidak? Rio bercerita tentang gadis lain padahal harusnya dia sadar aku menyukainya. Ponselku kembali bergetar. Rio menelefon.
“Halo?”
“Fi? Lo ga apa-apa? Chat gue kenapa ga dibales?”tanya Rio dengan cemas. Satu lagi sikap Rio padaku yang membuatku melayang. Dia seringkali mencemaskanku.
“Gue ga apa-apa. Tadi lagi makan, Yo. Sorry. Mau cerita apa lo?”tanyaku dengan agak sedikit malas. Dan bergulirlah cerita Rio tentang Firda. Betapa mengagumkannya Firda, betapa pintarnya, bla bla bla. Aku bosan mendengarnya.
“Fi? Are you still hear me?”tanya Rio yang baru menyadari bahwa sedari tadi aku hanya diam.
“Yap, I’m here. Terus lo gimana jadinya ama dia?”tanyaku lagi.
“Gue kayaknya mau nembak dia,”jawab Rio yang langsung membuat jantungku mendadak mau copot. Aku terhenyak mendengar jawaban Rio. Rio mau nembak Firda?!
“What?”
“Iya, gue mau nembak Firda. Pas pensi. Lo bantuin gue ya?”pinta Rio. Aku terdiam tak tahu harus menjawab apa. Bagaimana mungkin aku membantu cowok yang aku suka menyatakan cinta pada gadis lain? Mau jadi apa hatiku nanti? Mau remuk? Mau sakit? Cukup sakit yang kurasakan selama memendam perasaan ini.
“Fi?”
“Ah, ya. Oke, gue bantu sebisa gue ya,”jawabku akhirnya dengan amat terpaksa. Pembicaraan di telefon pun berakhir. Aku menutup mataku dan mengumpati diri sendiri. Mengolok-olok kebodohanku. Kenapa lo mau bantuin Rio nembak Firda sih, Fia? Aku menghela nafas panjang. Sakit dan rasa sesak mulai menjalari dada dan hatiku.
***
Aku melangkahkan kakiku menuju rumah Rio keesokan harinya. Hari ini Rio akan menyatakan cinta pada Firda. Dan aku kemari untuk membantunya. Rio keluar dari rumahnya.
“Bentar ya, gue sholat ashar dulu. Lo ga ke gereja emang hari ini? Biasanya sore kan?”tanya Rio. Ya, aku dan Rio memang berbeda agama. Itu juga yang menghalangiku berhubungan dengan Rio. Orang bilang ini adalah Impossible Love. Karena terlalu sulit bersatu jika masalahnya adalah keyakinan. Tapi aku tak peduli apa kata orang. Aku mungkin sudah gila. Ya, gila karena Rio.
“Udah ke gereja tadi pagi kok, gue. Gue tunggu di sini ya,”ujarku. Rio mengangguk lalu kembali ke dalam rumahnya. Otakku tak bisa berhenti memikirkan nasibku nanti. Aku yakin aku akan menangis saat melihat Rio bersama Firda. TIdak lama kemudian, Rio keluar. Kami pun berangkat.
***
“Firda, gue suka ama lo. Lo mau ga jadi pacar gue?”tanya Rio dengan sepenuh hati. Firda yang terkejut akan ditodong pertanyaan seperti itu hanya bisa terdiam. Kalau aku yang ada di posisi Firda, aku akan langsung menerima Rio. Tapi Firda tidak.
“Maaf, Yo, gue ga bisa,”ujar Firda. Rio mendadak lemas dan tak bersemangat. Aku melongo tak percaya. Ku kira Firda akan menerima Rio.
“Kenapa?”tanya Rio dengan sedikit terbata-bata.
“Karena…gue baru jadian sama Denis. Sorry,”ucap Firda. Walau aku sedih melihat Rio murung dan wajah Rio yang putus asa itu, hati kecilku tetap berteriak senang. Jahat? Biarlah. Firda lalu pergi meninggalkan Rio. Aku menghampirinya dan menepuk pundaknya.
“Semangat, Yo. Lo mau nangis? Silahkan. Lo mau marah-marah? Silahkan. Gue siap dengerin semuanya,”ucapku tulus. Rio mendongak menatap kedua mataku. Mata yang sanggup membuat hatiku berdesir dan lidahku kelu.
“Gue ga mau apa-apa. Gue cuma minta lo jangan pergi, Fi. Lo sahabat terbaik gue. Lo udah gue anggap saudara gue sendiri, Fi. Tanpa lo, gue bukan siapa-siapa. Tanpa lo, gue ga akan kuat ngelewatinnya. Lo sahabat gue, Fi. Dan gue butuh sahabat gue,”jawab Rio panjang lebar. Aku terdiam mendengar kata-kata Rio. Sahabat. Ya, sahabat, tidak lebih. Bodohnya aku menganggap aku akan lebih dari sahabat dengan Rio. Harusnya aku sadar diri. It’s Impossible Love. Cinta yang tak mungkin kumiliki. Perbedaan keyakinan antara aku dan dia membentuk sebuah benteng besar antara aku dan dia yang tak mungkin dihancurkan. Impossible Love. Ya, hahaha. Dadaku sesak. Bagai ditabrak oleh sebuah mobil dengan kecepatan tinggi. Mataku penuh oleh genangan airmata. Jantungku sakit. Bagai ditusuk oleh beribu pisau tajam. Ya, begitulah rasanya sakit hati ini. Ternyata memang sakit rasanya tidak bisa dicintai orang yang kita cintai. Tapi aku tau, cinta adalah memberi tanpa meminta. Dan walau dia tak pernah melihatku sebagai orang yang dia cintai, aku akan membuatnya melihatku sebagai sahabat yang dia sayangi.
***
‘Drrrrt…Drrrrt…’
Ponselku bergetar. Lampu LED pun menyala. Ada chat yang masuk. Segera aku menaruh novel yang tadi kubaca lalu membuka chat yang masuk ke ponselku. Rio.
Rio : Jgn baca terus. Makan jgn lupa ya neng.
Fia : Siap bos J
Aku tersenyum membaca chat itu. Sepele sebenarnya. Hanya mengingatkan makan. Akan tetapi, orang yang mengucapkannya yang membuatku tersenyum. Orang yang telah membuat perasaanku diaduk-aduk seminggu ini. Rio. Teman sekelasku. Teman dekatku. Awalnya aku dan dia hanya berteman biasa. Akan tetapi, makin hari Rio makin perhatian padaku dan – ya sejujurnya – itu menumbuhkan sebibit harapan di hatiku. Ponselku kembali bergetar.
Rio : PING!!!
Rio : Lo hrs tau. Firda sms gw lg!
Aku menghela nafas panjang. Firda. Again. Yap, Rio menyukai Firda. Anak kelas sebelah.Aku mendengus kesal. Cemburu? Iya. Sakit? Sangat. Bagaimana tidak? Rio bercerita tentang gadis lain padahal harusnya dia sadar aku menyukainya. Ponselku kembali bergetar. Rio menelefon.
“Halo?”
“Fi? Lo ga apa-apa? Chat gue kenapa ga dibales?”tanya Rio dengan cemas. Satu lagi sikap Rio padaku yang membuatku melayang. Dia seringkali mencemaskanku.
“Gue ga apa-apa. Tadi lagi makan, Yo. Sorry. Mau cerita apa lo?”tanyaku dengan agak sedikit malas. Dan bergulirlah cerita Rio tentang Firda. Betapa mengagumkannya Firda, betapa pintarnya, bla bla bla. Aku bosan mendengarnya.
“Fi? Are you still hear me?”tanya Rio yang baru menyadari bahwa sedari tadi aku hanya diam.
“Yap, I’m here. Terus lo gimana jadinya ama dia?”tanyaku lagi.
“Gue kayaknya mau nembak dia,”jawab Rio yang langsung membuat jantungku mendadak mau copot. Aku terhenyak mendengar jawaban Rio. Rio mau nembak Firda?!
“What?”
“Iya, gue mau nembak Firda. Pas pensi. Lo bantuin gue ya?”pinta Rio. Aku terdiam tak tahu harus menjawab apa. Bagaimana mungkin aku membantu cowok yang aku suka menyatakan cinta pada gadis lain? Mau jadi apa hatiku nanti? Mau remuk? Mau sakit? Cukup sakit yang kurasakan selama memendam perasaan ini.
“Fi?”
“Ah, ya. Oke, gue bantu sebisa gue ya,”jawabku akhirnya dengan amat terpaksa. Pembicaraan di telefon pun berakhir. Aku menutup mataku dan mengumpati diri sendiri. Mengolok-olok kebodohanku. Kenapa lo mau bantuin Rio nembak Firda sih, Fia? Aku menghela nafas panjang. Sakit dan rasa sesak mulai menjalari dada dan hatiku.
***
Aku melangkahkan kakiku menuju rumah Rio keesokan harinya. Hari ini Rio akan menyatakan cinta pada Firda. Dan aku kemari untuk membantunya. Rio keluar dari rumahnya.
“Bentar ya, gue sholat ashar dulu. Lo ga ke gereja emang hari ini? Biasanya sore kan?”tanya Rio. Ya, aku dan Rio memang berbeda agama. Itu juga yang menghalangiku berhubungan dengan Rio. Orang bilang ini adalah Impossible Love. Karena terlalu sulit bersatu jika masalahnya adalah keyakinan. Tapi aku tak peduli apa kata orang. Aku mungkin sudah gila. Ya, gila karena Rio.
“Udah ke gereja tadi pagi kok, gue. Gue tunggu di sini ya,”ujarku. Rio mengangguk lalu kembali ke dalam rumahnya. Otakku tak bisa berhenti memikirkan nasibku nanti. Aku yakin aku akan menangis saat melihat Rio bersama Firda. TIdak lama kemudian, Rio keluar. Kami pun berangkat.
***
“Firda, gue suka ama lo. Lo mau ga jadi pacar gue?”tanya Rio dengan sepenuh hati. Firda yang terkejut akan ditodong pertanyaan seperti itu hanya bisa terdiam. Kalau aku yang ada di posisi Firda, aku akan langsung menerima Rio. Tapi Firda tidak.
“Maaf, Yo, gue ga bisa,”ujar Firda. Rio mendadak lemas dan tak bersemangat. Aku melongo tak percaya. Ku kira Firda akan menerima Rio.
“Kenapa?”tanya Rio dengan sedikit terbata-bata.
“Karena…gue baru jadian sama Denis. Sorry,”ucap Firda. Walau aku sedih melihat Rio murung dan wajah Rio yang putus asa itu, hati kecilku tetap berteriak senang. Jahat? Biarlah. Firda lalu pergi meninggalkan Rio. Aku menghampirinya dan menepuk pundaknya.
“Semangat, Yo. Lo mau nangis? Silahkan. Lo mau marah-marah? Silahkan. Gue siap dengerin semuanya,”ucapku tulus. Rio mendongak menatap kedua mataku. Mata yang sanggup membuat hatiku berdesir dan lidahku kelu.
“Gue ga mau apa-apa. Gue cuma minta lo jangan pergi, Fi. Lo sahabat terbaik gue. Lo udah gue anggap saudara gue sendiri, Fi. Tanpa lo, gue bukan siapa-siapa. Tanpa lo, gue ga akan kuat ngelewatinnya. Lo sahabat gue, Fi. Dan gue butuh sahabat gue,”jawab Rio panjang lebar. Aku terdiam mendengar kata-kata Rio. Sahabat. Ya, sahabat, tidak lebih. Bodohnya aku menganggap aku akan lebih dari sahabat dengan Rio. Harusnya aku sadar diri. It’s Impossible Love. Cinta yang tak mungkin kumiliki. Perbedaan keyakinan antara aku dan dia membentuk sebuah benteng besar antara aku dan dia yang tak mungkin dihancurkan. Impossible Love. Ya, hahaha. Dadaku sesak. Bagai ditabrak oleh sebuah mobil dengan kecepatan tinggi. Mataku penuh oleh genangan airmata. Jantungku sakit. Bagai ditusuk oleh beribu pisau tajam. Ya, begitulah rasanya sakit hati ini. Ternyata memang sakit rasanya tidak bisa dicintai orang yang kita cintai. Tapi aku tau, cinta adalah memberi tanpa meminta. Dan walau dia tak pernah melihatku sebagai orang yang dia cintai, aku akan membuatnya melihatku sebagai sahabat yang dia sayangi.
***
Langganan:
Postingan (Atom)