Oleh: Clarice Natasha (@C_arice)
Sosok itu adalah sosok yang sangat berharga dalam hidupku. Entah kenapa aku tak dapat membiarkannya begitu saja. Dari kejauhan, cukup dari kejauhan saja aku melihatnya. Padahal setiap hari berbicara padanya, padahal setiap hari berjalan pergi ke sekolah dengannya. Tapi entah mengapa, aku tak dapat berhenti melihat wajahnya. Apalagi melihat keseriusan di wajahnya saat sedang bermain sepak bola. Sungguh keren.
“Hei, Christa. Lagi-lagi negliatin si…”
“Uwaaa! Stop! Stop! Jangan sebut namanya!” Aku mencoba untuk menutup mulutnya dengan tanganku. Tapi dia berhasil menangkisnya. Namun dia tak melanjutkan kata-katanya dan malah tersenyum.
“Dasar, kau suka banget ya sama dia?”
Aku melihat ke arah muka Chika yang walau memperlihatkan sebuah senyum, namun tergambar keseriusan dimatanya. Dengan keras, aku mencoba menggeleng dan tersenyum balik. “Sudahlah, lupakan, habis ini ulangan biologi kan? Mati aku belom belajar! Ayo!” Dengan perasaan tak enak, aku berlari menuju kelas terlebih dahulu. Meninggalkan Chika, sosok itu dan aku juga meninggalkan sebuah kebohongan.
“Chika! Aku pulang dulu ya!” Aku melambaikan tanganku ke arahnya. Tapi Chika hanya membalasnya dengan senyuman dan matanya, seperti biasa. Walau begitu, aku merasa ada sesuatu yang aneh. Akhir-akhir ini Chika jadi nggak bawel kayak dulu lagi, sekarang entah kenapa Chika lebih pendiam dan cuek. Apa yang sebenarnya telah terjadi padanya?
“Hoi, Chris, jangan ngelamun atau nggak kamu bakal…”
“Ap…”
Sebelum sempat membalas perkataannya, aku menabrak sesuatu di depanku hingga jatuh ke tanah. Sial. Aku melihat benda yang aku tabrak tadi, pohon sialan, gede banget sih. Kutukku dalam hati. Jonathan yang melihat hal itu bukannya bantuin berdiri kek atau apa kek, eh malah ketawa-tawa nggak jelas. Aku memegangi kepalaku. Sakit.
“Hei, kamu bisa berdiri nggak? Sumpah, kalo ngelawak jangan terang-terangan di depan umum kayak begini.”
“Aku nggak ngelawak, ini sih namanya sakit bodoh.”
“Iya deh, sini, aku bantu berdiri.”
Jo mengulurkan tangannya padaku. Ah, baiknya. Ini memang termasuk hal yang kusukai dari dirinya. Ya, dialah sosok yang kupandang sepanjang hari tanpa mengetahui apa arti kata bosan. Aku sangat menyukainya. “Itu,” Katanya memulai pembicaraan sementara aku masih memegangi kepalaku yang sakit karena tertabrak pohon tadi. “Aku mau curhat dong.” Begitu mendengar kata itu, aku langsung menengok ke arah mukanya dan melupakan rasa sakitku tadi. Aku menatapnya dengan datar sekaligus mengejek lalu tertawa kecil. “Tentu. Raja patah hati.”
Setiap kali jonathan ini patah hati, selalu aku yang kena imbasnya, aduh capeknya menjadi teman baiknya. Tapi justru, aku merasa hal ini menarik karena akupun dapat introspeksi diri dari hal-hal yang diceritakannya. Kira-kira, siapa kali ini orang yang disukainya?
“Aku mau nembak orang.” Katanya dengan nada datar. Oh… nembak orang, itu sih sudah hal biasa… eh… tunggu. Nembak?! Aku memberhentikan langkahku dan menatap dia dengan ketidak percayaan. Pertama kalinya sejak aku pernah bertemu dengan Jonathan, dia bilang kalau dia akan menembak seseorang! Aku memegangi pipiku dan mulai berkhayal. Siapa tau, kali ini aku yang hoki. Aku tersenyum. Tapi jangan disini, aku menggelengkan kepalaku dan mulai berjalan lagi.
“Siapa?”
“Rahasia dong.”
“Kapan mau nembak?”
“Nggak tentu.”
“Payah.” Aku mendengus. “Ah aku udah di rumah, yaudah ya, makasih udah anterin, bye bye!”
“Bye…” Dia tersenyum lemah.
“YA AMPUN!” Aku berteriak keras. Ternyata, hari ini saat aku melihat tanggal, tercantum tanggal 11 November 2011! 11-11-11! Angka hoki yang tak akan muncul lagi seumur hidupku! Mungkin, memang hari ini. Mungkin, hari ini adalah hari yang tepat untuk menyatakan perasaanku yang sudah terpendam sekian lama. Mungkin, memang sudah saatnya.
Aku berlari menuruni tangga begitu bel berbunyi dan mulai mencari kelas Jonathan hari ini. Kira-kira dimana ya? Aku melihat ke sekitar. Ah, itu dia! Apa yang dia lakukan di depan gym yang sepi banget? Apa yang dia lakukan? Tapi, saat ini mungkin memang saat yang tepat bukan? Tempat yang sepi dan tanggal yang menunjukan angka 1 berderet. Semoga Tuhan memberkatiku.
“Jo!” Aku meneriakan namanya, tapi sepertinya dia tak mendengar. Lalu perlahan, aku mendekat ke tubuhnya yang membelakangiku. Baru saja aku akan menepok punggungnya saat…
“Aku suka kamu.”
Tunggu, apa yang dia katakan? Bukan, dia tidak menunjukan kata-katanya itu padaku. Bukan. Dia menunjukannya kepada orang yang di hadapannya. Yang tertutup tubuhnya yang besar. Orang itu adalah, Chika.
Chika. Teman baikku. Chika lah orang yang disukai Jonathan. Aku menarik kembali tanganku dan perlahan, aku berjalan mundur. Namun ketika itu, tanpa sengaja aku mendengar balasan Chika. “Aku juga.” Cukup. Berhenti. Sudah cukup. Aku sudah tak tahan lagi. Ketika aku akan berlari, sempat aku bertatapan mata dengan Chika. Yang malah membuat rasa pedihku bertambah. Aku berlari meninggalkan kedua orang itu dan menahan airmataku. Namun tak dapat kutahan. Ada apa denganku. Kenapa, hatiku terasa pedih sekali.
Aku pun jatuh menghantam lantai. Kenapa, aku merasa seperti dikhianati? Aku menangis. Apakah aku tak dapat merasakan bahagia? Apakah aku harus mengalami hal seperti ini? Cinta pertamaku.
Sampai jumpa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!