Oleh: (@RuriOnline)
Masjid Al Muhaimin.10 Dzulhijjah.
Roy Chandra tersenyum lebar pada puluhan kamera yang menyorot wajahnya. Dengan cerdik ia bergeser sedikit ke dekat para aktifis masjid yang sedang sibuk memotong-motong daging. Daging dari hewan-hewan kurban yang ia sumbangkan.
Biarlah semua kamera itu melihatnya. Makin banyak orang yang melihat kedermawanannya, makin bagus. Staf humasnya yang menyarankan begitu. Pemilu masih lama, tapi tak ada salahnya tebar pesona sedini mungkin, bukan? Membentuk citra diri.
Politisi setengah baya itu menjawab pertanyaan wartawan dengan wajah simpatik.
"Berkurban menjadi agenda rutin Bapak tiap tahun, apa benar Pak?"
"Yaahh memang seperti itu. Tapi di masjid yang berbeda-beda tiap tahunnya."
Padahal ini kali pertamanya!
"Ohya? Apa yang menjadi motivasi Bapak untuk berkurban?"
"Sekedar upaya menyenangkan Tuhan saya saja.. sekaligus berbagi pada sesama."
Juga untuk menyenangkan hati para calon pemilih saya di pemilu berikutnya, tentu!
"Menurut sumber kami, tahun ini Pak Roy menyumbangkan 20 ekor sapi dan 40 ekor kambing?"
Roy membelalakkan mata, "Sumber yang mana? Ah, Saudara bisa saja. Jumlahnya tak perlulah saya sebut!"
Sebetulnya, orang-orang suruhan Roy sendirilah yang memberitahukan jumlah itu pada wartawan.
Yah, sandiwara perlu juga kadang-kadang kan?
Di sudut lain masjid itu, para penerima daging kurban berdesak-desakan mengantri dengan kupon lusuh di tangan. Kupon itu pun kemarin mereka dapat setelah susah payah mengantri. Beberapa orang yang licik mengantri lebih dari sekali tanpa sepengetahuan panitia.
Rohmin mengusap peluh yang berleleran di wajah legamnya. Ia kipasi badannya yang berkeringat dengan topi hitam bututnya. Lelaki setengah baya itu tersenyum. Ditatapnya bungkusan plastik di tangan, jatah daging kurban dari panitia masjid. Alhamdulillah.
Akan dimasak menjadi apakah daging sapi ini nanti oleh Paini, istrinya? Sop daging sapi, seperti tahun kemarin? Atau gulai daging, seperti tahun kemarinnya lagi? Ah, mungkin enaknya dibuat sate, dimakan dengan sambal kacang! Rohmin mendengar perutnya berteriak minta diisi. Dia baru ingat, belum makan sejak pagi. Ia bergegas pulang.
Tapi langkahnya terhenti di dekat mulut gang. Seorang kakek renta duduk tertunduk di atas sebongkah batu. Beberapa kali ia mengusap mata dengan lengan bajunya yang kumal. Rohmin tahu, kakek itu menangis dalam diam.
Rohmin mendekat perlahan. Takut dikira sok ikut campur urusan orang.
"Kek.. Kakek kenapa?"
Kakek itu menggeleng.
"Habis kecopetan?"
Gelengan lagi.
"Kakek nyasar?"
"Bukan, Nak.." Akhirnya ia buka suara. "Kakek nggak kebagian kupon kemarin.. Kakek nggak kuat desek-desekan antri kupon.."
Rohmin ikut duduk di sebelah kakek kurus itu.
"Tadi Kakek kesini, yah kali-kali masih bisa dapet jatah daging.. Biar cuma seiris juga Kakek mau.."
Rohmin tahu, bagi orang-orang semacam dia dan kakek ini, makan daging adalah kemewahan yang boleh jadi cuma ada setahun sekali. Ya saat Idul Adha begini.
"Kakek mah nggak apa-apa nggak makan daging. Tapi cucu Kakek yang masih kecil, dia dari kemarin nangis terus ingin nyoba makan daging, katanya pingin tahu rasanya kayak apa sih.."
"Lho memang cucunya belum pernah makan daging sapi, Kek?"
"Sejak mbrojol ditinggal mati emaknya, saya gedein sampe umur 6 taun, belum pernah, Nak. Kakek mah nggak sanggup beli daging. Dapat daging kurban juga jaraaang.. Kakek kalah gesit antrinya.."
Rohmin menatap lagi plastik di genggamannya. Ading dan Jajang, dua jagoan kecilnya pasti sudah menunggu-nunggu daging kurban ini. Menu luar biasa yang hanya bisa mereka nikmati setahun sekali. Tapi...
Rohmin bergegas pulang. Langkahnya ringan. Bungkusan berisi daging sapi itu bukan miliknya lagi sekarang.
"Daging ini... buat Kakek?" Kedua mata yang penuh keriput di sudut-sudutnya itu membelalak. Rohmin mengangguk.
"Tapi.. tapi Anak sendiri.. gimana? Ini kan.. rezekinya Anak, sama keluarga Anak.." Tangan berbonggol-bonggol itu gemetar menggenggam plastik yang disurukkan Rohmin ke situ.
"Keluarga saya mah gampang, Kek. Taun kemarin aja kita udah makan daging kurban kok!"
"Alhamdulillah.. kalau Anak ikhlas.. Biar Tuhan.. yang balas kebaikan Anak.." Si Kakek menitikkan airmata, memeluk bungkusan daging sapi erat-erat di dada. Rohmin ikut terharu.
Paini dan Ading akan bertanya-tanya mengapa ia pulang dengan tangan kosong. Jajang, si bungsu, mungkin akan merajuk semalaman karena tidak jadi makan daging sapi. Tak apalah. Rohmin sudah merelakan daging kurban itu. Kakek itu lebih berhak menerimanya.
*End*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!