Oleh: (Ardi)
Kami terhenyak, keringat dingin menetes dari dahi kami. Ayah tampak tak percaya pada apa yang terjadi, begitupula aku. Sementara itu, ibu susah payah menenangkan adikku yang masih berusia lima tahun agar tidak panik. Anak yang masih bau minyak telon itu menangis sejadi-jadinya. Wajar dia panik. Di tengah jalan yang sekelilingnya hutan belantara ini, mobil kami mogok. Benar-benar mogok, tidak bisa jalan sedikitpun.
“Akinya mungkin yah,” kataku.
“Tidak mungkin! Ayah sudah mengecek berulang kali, mana mungkin ayah tidak teliti setelah kejadian tahun lalu?”
Aku terdiam. Ya, setahun lalupun kami mengalami hal yang sama. Mobil macet di tengah jalan yang disekelilingnya hutan belantara. Bedanya, kami beruntung menemukan sebuah warung makan. Letaknya tidak jauh dari situ. Namun, justru di situlah kami menemukan masalah. Ketika itu, pemilik warung tidak bisa membantu kami memperbaiki mobil. Ia hanya bisa menjanjikan bahwa pagi-pagi ia akan ke kota untuk membeli bahan baku, saat itu ayahku bisa ikut untuk mencari bengkel. Ketika ayahku menawarkan untuk menjaga warungnya sementara si pemilik warung pergi untuk mencarikan bengkel, pemilik warung menolak. Pokoknya kalau mau, besok pagi dia akan mengantarkan ayahku, opsi selain itu ditolak. Alhasil, malam itu kami harus menginap di mobil. Untuk makanan, kami bisa membeli di warung itu.
“Kalian mau makan apa?” kata ayah menawarkan pada ibu, aku, adik dan nenek.
“Aku sate sapi,” kataku lantang menyebutkan nama makanan kesukaanku.
“Aku gulai sapi aja mas,” kata ibuku.
“Burger Mcd!” kata adikku dengan suara kekanak-kanakan. Dasar anak-anak, sejak kapan burger di jual di warung?
“Apa saja, asal jangan sapi!” kata nenek.
Ayah mengernyitkan dahi. Tapi karena sudah lama hidup dengan nenek, ia paham keyakinan nenek yang tak mau makan sapi ini. Akhirnya ia memesankan pesanan kami pada pemilik warung. Pemilik warung lalu mengangguk-angguk. Hanya saja ia lalu bertanya lagi pada ayahku.
“Begini mas, kebetulan menu yang ada mengandung daging sapi semua. Bagaimana ya?” kata pemilik warung.
“Waduh, masalahnya ibu saya itu sangat anti-sapi. Bagi dia sapi sama haramnya dengan babi!” kata ayah kebingungan.
Mendengar pembicaraan ayah, aku jadi kasihan. Aku lalu mendekati nenek dan mencoba membujuknya agar bisa berkompromi. Yah, kalau sudah terdesak begini apa mau dikata bukan?
“Nek, kalau sekali ini saja makan sate sapi bagaimana?”
“Tidak, nenek tetap saja tidak mau makan sapi,” kata nenek ketus dan keras. “Nenek lebih baik makan rumput daripada sapi!”
Aku sempat berpikir untuk memetik daun-daunan di pohon untuk kemudian direbus dan dihidangkan sebagai salad pada nenek. Akan tetapi, niatku itu aku urungkan setelah aku mengembalikan akal sehatku. Lagipula, apa kata dunia jika aku sampai melakukan hal itu? Bisa disebut anak kurang ajar kalau aku melakukan hal seperti itu.
“Jadi bagaimana mas? Masa kita mau makan sendiri sementara nenek tidak?” kata ibu.
Ayah berpikir sejenak sambil mengusap dahinya yang kotak. Sejurus kemudian, ia ingat bahwa ibu membawa biskuit bayi di tasnya. Biasanya biskuit bayi itu untuk cemilan adik kalau sedang dalam perjalanan. Kali ini, biskuit itu tampaknya akan dimanfaatkan ayah untuk mencegah nenek dari kelaparan gara-gara ideologi anti-sapiismenya.
“Bu, ini ada biskuit, ibu mau makan?” kata ayah sembari menyodorkan biskuit bayi itu pada nenek. Dengan berat hati nenek mengambil biskuit itu. Ia lalu membaca tulisan yang tertera di bungkusnya.
“Ini rasa sapi panggang!” kata nenek ketus.
“Ah masa sih,” kata ayah. Ia tahu nenek buta huruf, seharusnya nenek tak bisa membaca apa rasa biskuit itu.
Ayah lalu mengambil bungkus biskuit itu, melihatnya baik-baik dan ia amat sebal. Ternyata maskot bungkus biskuit itu adalah tokoh kartun berbentuk sapi. Tentu saja nenek mengira bahwa biskuit itu mengandung sapi. Rasanya emosi ayah memuncak ke ubun-ubun. Ada saja hal aneh yang terjadi. Ibu lalu mengelus punggung ayah untuk menenangkannya.
“Terserah ibu saja!” kata ayah. Nenek hanya membuang muka untuk menanggapinya. Tinggallah aku sendiri yang bisa berpikir sehat. Saat itu terbesit ide di kepala. Ide yang rada kurang ajar memang.
“Nek, kalau makan dengan nasi tidak masalah kan?”
Nenek mengangguk.
“Kalau makan nasi dengan garam saja mau tidak nek?” kataku.
Nenek memandangku tajam. Ia menimbang-nimbang sejenak.
“Terakhir kali nenek makan nasi dengan garam adalah ketika krisis ekonomi 1966, kalau sekarang harus makan nasi dengan garam lagi nenek tak masalah. Asalkan jangan ada sapi!”
Aku tersenyum. Akhirnya jadilah kami berlima makan. Aku, ayah, ibu dan adik dengan menu normal serta nenek yang makan nasi dengan garam. Ketika ayah akan membayar tagihan, pemilik warung menolak pembayaran untuk nasi dan garam.
“Tidak usahlah pak yang nasi dan garam,” kata pemilik warung itu. “Toh saya tidak mengeluarkan apa-apa untuk nasi dan garam itu, Tuhan bisa jadi akan mengutuk saya kalau saya minta bayaran untuk hal sepele itu.”
Demikian akhirnya ayah tidak membayar sepeserpun untuk nasi dan garam.
* * *
Masa sekarang...
Ayah tersenyum puas meski keringat mengucur deras dan tangannya kotor penuh oli. Mobil kami akhirnya berhasil hidup lagi. Ibu tersenyum lega, demikian juga aku. Sekarang kami bisa melanjutkan perjalanan lagi ke Cirebon, tempat asal ayah dan saudara-saudaranya.
Tak seberapa lama, mobil kami telah melaju di jalanan. Ibu dan adik tampak lelah sehingga mereka tertidur, sementara itu aku dan ayah duduk di depan mengobrol beberapa hal, termasuk soal nenek. Ya, entah kenapa perjalanan ini mengingatkan kita semua pada insiden anti-sapiismenya nenek.
“Sampai sekarang aku penasaran kenapa nenek tidak mau makan sapi yah,” kataku.
“Hmmmm, ayah juga tidak mengerti, akan tetapi dulu tantemu pernah cerita sedikit soal itu.”
“Wow, apa katanya?”
“Jadi begini,” kata ayah. “Dulu nenekmu itu pegawai di peternakan sapi. Suatu hari ia harus melihat penyembelihan sapi. Nah, dia trauma gara-gara melihat hal itu.”
Aku mengernyitkan dahi. Perasaan dulu nenek nyaman-nyaman saja ketika menyembelih ayam, melihat ‘pembantaian’ kambing pada Idul Adhapun tidak masalah. Lalu, kenapa sapi bisa menyebabkan ia trauma?
“Kata tantemu sih waktu itu ia melihat sesuatu yang manusiawi dari sapi itu,” kata ayah.
“Sesuatu yang manusiawi?” kataku bingung.
“Yap, katanya sapi itu menangis sebelum golok menebas lehernya.”
“Menangis?” kataku. Aku hampir tak percaya saat mendengar alasan itu. Aku lalu tertawa kecil. Ayah juga.
Kami benar-benar tak percaya pada alasan itu. Sapi menangis? Yang benar saja...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!