Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Jumat, 16 Desember 2011

Monolog Orang Gila dan Kucing, yang kelaparan.


 
Oleh Rika Kurniawati (@chiqux)



“..Aku menunggu wanita itu hingga tengah malam. Tak juga kudengar lembut gemerisik hadirnya. Hujan mengancam dalam gelap, aromanya tajam. Aku cuma mau dia pulang malam ini. Dia benci air, hujan hanya membuat bulu-bulunya lepek, wanita sempurna itu tak boleh lepek, begitu gumamnya selalu saat ku tawari air.”
***
Siang ini panas, aku jadi pengen sekali bernyanyi. Maka aku bernyanyi. Orang-orang menyebut aku orang gila. Yeah, aku tak peduli. Kutelusuri jalanan lurus ini, dengan beraneka kendaraan yang terbang-terbang di sisi sebelah kananku. Sinting. Yang seperti ini dinamakan jalan raya? Apakah ada sesuatu yang berkaitan dengan hari raya? Lebaran? Ketupat. Perutku semakin berkeruyuk. Laparnyaaaa. Mereka yang mengataiku orang gila justru sepertinya yang gila. Siapa yang gila?
Ah, lapar. Apakah tuhan marah padaku? Hari ini aku tak menemukan apapun yang bisa masuk ke dalam perut.  Tak sampai hati aku mengumpat. Mungkin aku belum rajin menelusuri. Aku makin bergegas melaju. Kaki ku tau kemana harus berhenti.
Ku hampiri orang-orang yang ramai mengantri di rumah besar sebelah kiri. Mereka keluar masuk dengan tergesa. Beberapa yang keluar menjinjing bungkusan plastik. Hidungku menerka kalau itu sesuatu yang bisa dikunyah. Makanan.
Kulihat dengan malu-malu mereka yang berjajar duduk di dalam. Mereka pun dengan sengaja menatap malu-malu mengindari pandanganku. Ah, perut. Kuelus dan kudendangkan lagu asal  saja tentang kesabaran. Samar kudengar  bisik-bisik mereka mencela laguku, “orang gila” begitu katanya. Kulebarkan cengiranku dengan gagah. Aku merasa tampan dilihat dengan begitu rupa. Ehehehe.
Aku masuk dengan tiba-tiba. Banyak yang terlihat tak suka. Lapar membuatku tak peduli. Aku cuma mau minta makanan seperti mereka-mereka yang antri. Ku garuk-garuk rambutku, kuku-kuku jariku tersesat didalamnya.  Makin banyak tatapan tak suka, tapi aku suka.
Lalu dia datang. Entah siapa. Yang jelas mukanya neraka. Aku didorong keluar dan dicaci. Padahal belum sempat ku pinta, tapi aku sama-sekali tak diberi. Heii~ apa-apaan orang berwajah neraka ini.  Tak suka tinggal bilang kan? Aku menggerutu sambil tertatih jalan lagi. Dorongan si muka neraka tadi membuat kakiku jatuh terkilir saking kerasnya. Dasar muka neraka, sungutku keras-keras. Orang-orang makin keras pula berucap, “orang gila”.
Aduh. Sakit di dua tempat. Kaki dan perut. Rasanya aku tak kuat jalan lagi. Aku duduk di dekat gundukan tak jauh dari rumah besar tadi. Mungkin diantaranya ada makanan yang bisa ku kunyah. Aku mengisut mendekatinya.
Lalu ku lihat dia. Yang sedang mengunyah sebungkus makanan dengan malas. Aku merangkak makin cepat mendekati. Sepertinya dia tak menyadari kehadiranku. Aku makin bersemangat. Perutku sebentar lagi terisi, Tuhan terimakasih karena tidak marah padaku hari ini.
Tapi dia yang marah. Dia tak suka kemalasannya makan di ganggu. Aku tau. Tapi tak urung tanganku ikut menggapai-gapai makanan yang di hadapinya. Bungkusan tak berbentuk yang dia congkel-congkel dengan kukunya yang tajam.
Ku kunyah saja dengan semangat. Semua yang berhasil aku ambil dari hadapannya. Dia menggeram, diacungkannya kuku-kuku tajam ke arahku dengan sikap mengancam. Aku balas menggeram, dengan mulut penuh tentu saja. Aku sendiri juga tak tahu, apakah aku membalas atau justru menggodanya. Mulutnya terlihat seksi saat menggeram padaku. Aih, Tuhan dadaku berdesir-desir sembari kukunyah makananku dengan lahap.
Perutku terisi, ingin ku ucapkan terimakasih padanya yang telah sudi berbagi. Tapi tanganku bergerak menjauhi apa yang ingin dikatakan mulutku. Kucoba mencubit tengkuknya. Dan dia meledak. Sebaris cakaran memberi tanda pada punggung jemariku. Ohoho~ manisnya.
***
Dan saat-saat selanjutnya, tak kurasa lagi lapar di perutku. Aku cuma butuh jalan-jalan sebentar, mengomel tentang orang-orang, sedikit menyanyi untuk mereka yang butuh hiburan, dan lalu aku pulang. Pulang. Kata yang indah. Aku tau aku cerdas, kutemukan kata pulang ketika aku bertemu dengannya. Wanita berbulu kelabu yang selalu galak padaku. Makanan selalu tersedia di moncongnya saat ku hampiri. Bukankah itu romantis, Tuhan?
Orang-orang yang melihat kami masih saja berbisik usil. Gila. Aku di bilang gila. Bukankah ini gila? Ahaha. Aku suka. Seperti kata pulang, gila terdengar indah saat mereka berbisik melihat aku dan wanitaku berbagi.
Dia memang pemarah. Kadang aku sengaja membawakan bunga-bunga rumput dari jalan yang kulalui, tapi ia hanya mendengus. Menguap sebentar, meregangkan tubuh lembutnya lalu berbalik memunggungiku sambil menjilati bulunya. Cantik.
Dia pemarah tapi tak pendendam. Kadang sengaja dia memperbolehkanku menggodanya. Ku elus bulu-bulu lembutnya, ku garuk belakang telinganya dan dia menggeram kesenangan. Seksi sungguh. Suaranya mendayu-dayu. Lalu biasanya aku jadi ingin bernyanyi tiba-tiba.
Beginilah ku lalui hari-hari selanjutnya. Aku sejujurnya tak tau, apa itu hari. Dulu yang ku sebut hari adalah ketika aku sudah berjalan-jalan, menyanyi, lalu di usir oleh pemilik rumah besar yang bermuka neraka ketika lapar. Itu yang namanya hari.
Ah, aku tau aku cerdas. Ini bukan hari. Ini adalah pagi. Aku cukup berjalan-jalan, mengomel dan menyanyi lalu pulang. Namanya pagi. Baunya segar. Sesegar nyanyiannya ketika aku hampir dekat ke tempat kami pulang. Kami. Aku dan dia.
***
Tadi pagi wanitaku pergi. Sampai hari ini. Eh kalian tau maksudnya kan? Dia pergi saat pagi, tapi sekarang sudah hari. Benar-benar hari. Aku kembali, jalan-jalan-mengomel-bernyanyi-lapar-dan diusir si muka neraka, sama sekali bukan pagi. Aku bergelung seperti posisinya yang biasa, pura-pura gila supaya bisa bilang pulang. Ini tempat yang sama, tapi tanpa dia, aku tak bisa bilang pulang bukan?
Rasanya lamaaa sekali, laparku memadat jadi keruyukan abadi, sengaja kucakar-cakar punggung tanganku sesekali, dan aku sudah terkilir gara-gara si muka neraka berulang kali. Mataku mengeluarkan ingus seperti ketika hidungku mampet, banyak sekali.
Rasanya aku tiba-tiba ingin menyanyi. Sedih mungkin seperti ini. Iringan bunyi perutku memperjelasnya. Sekilas aku ingat pernah melihatnya tiduran di tengah jalan raya. Dengan sepotong tahu bocel di moncongnya, dan gumpalan warna merah di sekitar perut dan kakinya. Aku tak suka. Bulu-bulunya jadi kotor, kenapa dia tidak menjilatinya hingga bersih? Dia malah tidur dengan santai ketika kupanggil-panggil dari pinggir. Mungkin dia marah.
Dan aku meninggalkannya begitu saja. Kupikir dia pulang. Seperti aku yang mau pulang.
Tapi nyatanya begini. Aku masih bergulung, entah sudah jalan berapa hari seperti ini. Dan aku belum menemukan kata pulang lagi. Dengan dia yang tak ada disini. Wanita ku.
***
“Aku menunggu wanita itu hingga tengah malam. Tak juga kudengar lembut gemerisik hadirnya. Hujan mengancam dalam gelap, aromanya tajam. Aku cuma mau dia pulang malam ini. Dia benci air, hujan hanya membuat bulu-bulunya lepek, wanita sempurna itu tak boleh lepek, begitu gumamnya selalu saat ku tawari air.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!