Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Jumat, 16 Desember 2011

Selamat tinggal, Malaikatku.


Oleh Wahyu Antari (@wahyu_antari)

Aku menunggu wanita itu hingga tengah malam.
Malaikatku.
Satu jam. Dua jam. Tiga jam. Bahkan hingga hitungan kelima, dia tidak juga muncul. Aku mendesah. Pasrah. Udara pagi mulai muncul menggantikan dinginnya angin malam, membuat tubuhku bergidik pelan. Kurapatkan kembali jaket yang membungkus tubuh, mencoba menghangatkan diri sendiri agar tidak menggigil kedinginan. Dan yang lebih penting, aku tidak boleh ketiduran. Kereta pertama akan datang satu jam lagi, tepat pukul enam.
Aku kembali menoleh kiri dan kanan, berharap kemunculan seseorang yang sejak semalam memenuhi seluruh isi kepalaku akan datang.
Asap putih berhembus dari kedua lubang hidung saat aku menghela napas. Berapa lagi aku harus menunggu? Apakah dia lupa? Tidak, aku menepis kemungkinan itu. Dia tidak mungkin lupa. Dia sudah berjanji akan datang. Kata orang, cinta membutuhkan kepercayaan. Maka akan kulakukan itu untuknya. Karena aku mencintainya.
Kunyalakan rokok menthol kesukaanku. Kuhirup dalam-dalam, mencoba mengatur irama jantungku yang tak karuan. Biasanya cara ini berhasil. Saat ujian, saat interview, bahkan saat aku pertama kali melihatnya. Aku masih ingat jelas hari pertama pertemuan kami. Dia, duduk sendiri di sebuah kursi taman sembari membaca buku, tampak tak terpengaruh orang yang lalu-lalang di sekitarnya. Dia, memakai syal cokelat yang membingkai leher jenjangnya. Dia, tersenyum begitu menyadari kehadiranku, menyapa lewat suaranya yang merdu bagai nyanyian surga.
“Angela,” katanya memperkenalkan diri.
Angel. Malaikat, bisik hati kecilku yang pada hari pertama sudah mengagumi setiap detail wajahnya. Dia memang seperti malaikat. Cantik, mempesona, memikat.
"Aku percaya malaikat ada di dunia ini,” katanya saat kami menghabiskan waktu di suatu rumah makan, hari sabtu malam. Malam minggu pertama sebagai pasangan.
“Contohnya?” tanyaku enggan. Aku sebetulnya tak peduli topik ini, hanya saja aku suka mendengarnya bicara.
“Malaikat itu ada di dunia dalam berbagai wujud, hanya saja manusia suka nggak sadar karena terlalu sibuk memikirkan diri sendiri.”
“Buatku satu-satunya malaikat yang nyata ya cuma kamu.”
Dia tersipu malu. Tertawa pelan sembari mengecup cepat pipiku. Aku masih ingat deru napasnya yang hangat. Aku masih ingat bau parfumnya yang segar. Aku masih ingat getaran suaranya. Aku tidak pernah lupa bagaimana tubuhnya terasa begitu pas dalam dekapanku. Aku akan selalu mengingat lembut bibirnya saat kulumat. Aku masih ingat desahan suaranya menyebut namaku ketika kami bercumbu. Aku ingat semuanya. Semua.
Aku menunggu wanita itu hingga tengah malam.
Hanya untuk mendengar suara dari mulutnya walau untuk terakhir kali. Aku mempertaruhkan semuanya demi dia. Demi wanita yang sangat kucintai.
“Kalau kamu mencintaiku, datanglah ke stasiun besok malam. Aku naik kereta pertama. Paling pagi. Aku menunggumu.”
Aku menunggunya sejak malam mulai menyapa kota. Hingga tengah malam saat sebagian penduduk kota sudah terlelap. Bahkan saat subuh mulai menyapa, hingga terdengar suara dari pengeras suara sebuah mesjid. Aku tetap menunggunya, bahkan ketika kereta tujuanku mulai muncul dari kejauhan.
Aku berdiri. Ternyata sudah lima batang rokok yang kuhabiskan sejak tengah malam tadi. Abunya berserakan di sekitar tempatku duduk. Sudahlah, aku tak peduli. Aku meregangkan sedikit tubuh yang penat, berdiri menyambut kereta itu. Angela tidak pernah muncul. Malaikatku tidak pernah datang bahkan untuk mengucapkan salam perpisahan.
Para penumpang lain mulai masuk ke dalam gerbong kereta. Aku menarik napas. Sudah saatnya, bisik hati kecilku. Sebelum melangkah, kuletakkan surat undangan yang sejak tadi tergenggam di tanganku. Kubiarkan undangan bernuansa putih itu tergeletak begitu saja. Agar siapapun yang melihat dapat membaca nama Angela tercetak di sana.
Katanya cinta itu tidak harus memiliki. Mungkin itu yang terjadi padaku saat ini. Mencintainya bukan berarti aku harus merelakannya. Mencintainya juga berarti merelakan dia dengan orang lain yang akan membuatnya bahagia. Mencintainya berarti harus siap melepasnya.
"Hubungan kita nggak akan berhasil!" Angela setengah berteriak ketika aku memintanya membatalkan pernikahan itu. "Sejak awal kita tahu kalau hubungan ini harus berakhir."
"Tapi aku mencintaimu."
"Cinta nggak bisa jadi jaminan untuk kita bersama."
"Jadi kamu menyerah? Kamu nggak mau berjuang?"
Angela menggeleng lemas. "Karena nggak ada yang pantas diperjuangkan," isaknya tertahan. "Aku akan menikah dengannya. Dengan laki-laki pilihan ibuku. Dia akan membahagiakanku."
"Aku juga bisa membahagiakanmu!" Aku tak percaya Angela meragukan kemampuanku membuatnya bahagia. Tidakkah dia ingat selama ini kami selalu tertawa bahagia saat bersama?
Angela terdiam. Lalu sedetik berikutnya dia kembali menatapku. "Maaf."
Detik itu juga aku tahu, cinta yang pernah mengisi hari-hari kami telah usai. Ternyata benar, cinta itu tidak abadi. Tidak kekal seperti yang banyak diobral. Tidak permanen.
Kereta mulai bergerak perlahan. Aku menghela napas panjang. Berat. Semua sudah berakhir. Aku harus melupakan wanita itu. Lalu ponselku bergetar. Satu pesan masuk. Dengan satu gerakan, SMS itu terbuka. Angela.
Selamat tinggal, Malaikatku. Selamat tinggal, Arini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!