Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Jumat, 16 Desember 2011

Wanita Terindah



oleh Salita (@salromarin)


                Aku menunggu wanita itu hingga tengah malam. Menunggunya terbangun. Menatapnya terbaring lemah di atas ranjang putih rumah sakit. Tidak bisa berhenti aku menyalahkan diriku atas kejadian yang menimpanya. Dan satu hal yang tidak pernah aku sadari selama ini. Aku telah jatuh cinta kepadanya sejak lama. Tetapi aku tidak pernah mau mengakuinya.
----

                Hari itu di bulan November yang mendung. Aku pulang ke apartemenku seperti biasa setelah bekerja seharian. Ada yang tidak biasa hari itu. Sepertinya aku punya tetangga baru. Seseorang telah mengisi kamar sebelah apartemenku yang sudah lama kosong, karena kudengar ada kegiatan di dalam kamar itu sekarang. Ah, tapi aku sudah terlalu lelah untuk menyapa tetangga baruku. Mungkin lain hari saja.

---

                “Silakan masuk, Ran… Aku sedang tidak sibuk.”
                Wanita itu mempersilakanku masuk. Tangannya meraba-raba rak makanan, mencari tempat gula sepertinya. Ya, dia buta.
                “Mau aku bantu, Sel?” Tanyaku hendak beranjak dari tempatku.
                “Tidak, tidak perlu. Aku bisa kok.” Kemudian ia menemukan apa yang dia cari. Lalu membuatkanku secangkir teh hangat. Belakangan ini aku sering mengunjunginya. Kami menghabiskan waktu mengobrol berjam-jam. Ya, ini menjadi semacam rutinitas baru untukku melepas lelah. Wanita ini Selma namanya. Dia mengajar di sekolah anak-anak penyandang cacat di sekitar apartemenku. Seorang wanita muda, lebih muda beberapa tahun dariku,  dengan rambut hitam legam sebahu yang selalu rapi tergerai. Parasnya cantik, dengan hidung mancung, dan garis wajah lembut. Ia buta sejak lahir. Tetapi yang paling aku suka adalah betapa inteleknya dia. Meski dengan segala keterbatasannya, bagiku ia wanita paling cerdas yang pernah kutemui.
                “Ini tehmu. Silakan.”
                “Terima kasih.”
                “Jadi bagaimana harimu?”
                “Yah, cukup menyenangkan. Hanya saja tadi ada sedikit ribut dengan rekan sekantorku. Biasalah, rebutan order…” Aku menyeruput teh itu. Pas rasanya, seperti biasa. Malam itu kami habiskan dengan mengobrol banyak hal. Hingga waktu menunjukkan pukul 12 malam, aku berpamitan kembali ke kamarku.
---

                “Selma, tidak pernahkah sekali saja kamu ingin melihat bagaimana indahnya air terjun Niagara atau Tembok China, atau mungkin Menara Eiffel?” Hari itu hari Minggu yang cerah, aku bersama Selma berencana berjalan-jalan untuk refreshing.
                “Ah, tentu aku pernah ingin melihat keindahan tempat-tempat tersebut. Pernah, dulu sekali.” Ia menjawab sambil tersenyum.
                “Lalu, apakah saat ini kamu masih ingin melihatnya?”
                “Tidak. Aku sudah tidak peduli.”
                “Bagaimana dengan pria yang akan menikahimu nanti? Bagaimana dengan rumah yang akan kamu tempati bersamanya?”
                “Jujur saja. Aku juga tidak peduli. Hahahahahaha!”
                “Mengapa begitu?”
                “Karena bagiku, menginginkan lebih malah akan menyakitkan. Aku sudah melihat gelap, aku sudah melihat terang. Aku sudah cukup tahu apa yang aku butuhkan, dan aku tidak ingin mengejar apa yang mustahil bagiku.”
                “Ah, melihat pun tidak selalu indah kok. Setidaknya kamu tidak perlu melihat darah, kekerasan, kejahatan. Betapa mengerikannya hal-hal tersebut.”
                “Ya, mungkin Tuhan memang tidak menginginkanku melihat hal-hal seperti itu.”
                Aku tersenyum mendengar kata-katanya.
---

                Bulan Juli datang dengan cepat. Aku telah jatuh cinta kepada seorang wanita. Ia adalah rekan kerjaku. Tingkahnya yang lucu dan parasnya yang jenaka. Sayang wanita itu belum tahu. Tetapi suatu saat ia akan tahu. Dan aku ingin dia tahu. Setiap hari aku bercerita pada Selma betapa menyenangkannya perasaan seperti ini. Selma selalu mendengarkan setiap ceritaku dengan antusias. Ah, Selma memang sahabat terbaikku.
---

                “Sel, hari ini aku berhasil mengajaknya makan siang bersama. Bukankah itu sebuah kemajuan?” Seperti biasa aku mengunjungi kamar Selma.
                “Uh, Randy. Maaf. Hari ini aku sedang tidak enak badan. Kamu boleh cerita besok. Tak apa kan?” Belakangan ini sepertinya Selma selalu menghindariku. Aku tidak mengerti, alasannya selalu sama, kalau tidak sibuk dia bilang sakit.
                “Sel, ada apa?”
                “Tidak ada apa-apa.”
                “Jangan berbohong, Sel. Kamu berbeda akhir-akhir ini.”
                “Terus itu jadi urusanmu begitu?”
                “Lho, jangan marah, Sel…”
                “Aku tidak marah! Aku hanya jengah. Mendengar kamu terus cerita tentang wanita itu. Aku…”
                “Kamu apa?”
                “Sudah, lupakan.”
                “Jangan mengelak terus! Ada apa? Cerita padaku.”
                “Sudah, lupakan, aku bilang!”
                “Selma! Apa salahku?” Aku bingung dengan semua ini.
                “Ah, sudah! Aku mau ke luar dulu. Kembalilah ke kamarmu!” Selma pergi berlalu begitu saja meninggalkanku.
---

                Di sinilah aku. Terduduk diam di sebelah Selma. Tubuhnya terbaring lemah di atas ranjang putih rumah sakit. Dia dirampok sekawanan lelaki dan berusaha melawan, di malam saat kami bertengkar. Sudah tiga hari dia terbaring seperti ini. Luka-luka yang dideritanya cukup parah. Wanita ini… Aku baru sadar aku begitu kehilangan canda tawanya, obrolan-obrolan kami, perhatiannya padaku. Mungkinkah selama ini dia memendam perasaan kepadaku? Bodohnya aku! Tidak bisa kubohongi diriku bahwa aku sangat gelisah semenjak kejadian itu. Sesuatu yang sangat nyata di hadapanku dan aku tidak pernah menyadarinya, atau mungkin hanya menolaknya. Aku malah sibuk mengejar bayangan selama ini. Dan aku baru menyadari bahwa aku sangat mencintai wanita ini.
                “Selma, maafkan aku. Aku hanya tidak mengerti. Tapi aku mengerti sekarang. Aku juga, mencintaimu. Bangunlah... Bangunlah, Selma. Aku membutuhkanmu.” Tubuh itu tetap kaku. Mulut itu tetap terdiam.
                Aku menungguinya hingga tengah malam itu. Keajaiban terjadi. Ia akhirnya terbangun.
                “Selma…”
                “Hai… Apa yang kamu lakukan di sini, Randy?” Suaranya parau. Tapi aku senang bisa mendengarnya berbicara lagi.
                “Kamuuu... Jangan banyak bicara dulu…”
                “Randy, aku ingin tahu. Apakah aku wanita yang cantik? Setidaknya menurutmu.”
                “Bagiku, kamu adalah yang terindah di dunia ini, Selma. Sekarang istirahatlah. Ya?”
                “Baiklah. Kamu tidak akan mendengar apa-apa lagi dariku…”

---

                Hari itu bulan November yang mendung. Ada yang berbeda hari itu. Setahun yang lalu aku masih ingat ketika kamar itu hidup lagi setelah sekian lama kosong. Setahun yang lalu aku ingat aku bertemu dengan seorang wanita yang sangat berharga. Wanita terindah yang pernah bersamaku. Sekarang ia sudah ada di surga, tersenyum karena dapat melihat keindahan dunia dari sana. Ya, Selma meninggal tidak lama setelah terakhir kalinya ia berbicara kepadaku. Tubuhnya tidak kuat menanggung seluruh luka yang dideritanya.

Hari itu di Bulan November, aku berkabung bersama awan.
Wahai wanitaku, aku ingin kau tahu bahwa aku tidak akan pernah melupakanmu.
Biarlah seluruh dunia rusak.
Karena semua kerusakan itu menjadi baik bila aku bersamamu.
Kaulah wanita terindah.
Aku harap kamu tenang di sana.
Aku mencintaimu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!