Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Rabu, 14 Desember 2011

Separuh Diri

By: Amariys / @amari_ys

“Ide gila itu muncul di kepalaku kemarin.”

Kupandang adik kembarku dengan mata terbelalak. Ide gila? Ide gila, katanya! Menurutku, ide yang dia atakan barusan itu adalah ide yang konyol! Absurd! Mustahil untuk dilakukan!

Pendapatku pastilah terlihat jelas di wajahku, karena Rio dengan segera menambahkan, “Aku yakin tidak akan apa-apa. Waja kita berdua sangat mirip dan, sungguh, aku malas jalan berdua saja dengan Vino. Tolong, ya, Ria? Kau hanya perlu menjadi aku untuk sehari!”

Wajah Rio, yang memang sangat mirip dengaku, terlihat memohon. Kedua tangannya ditangkupkan di depan wajahnya dan dia menatapku dengan sorot mata seekor anak anjing yang tertendang.

Aku menyilangkan kedua tanganku, berusaha untuk mempertahankan pelototan mataku. Namun, aku dan Rio sama-sama tahu bahwa tak mungkin aku menolak permintaan adik kembarku itu. Lima menit. Hanya selama itu waktu yang berlalu sebelum aku menghela napas. Menyerah. “Baiklah,” semoga saja aku tidak menyesali hal ini. “tapi aku tak mau tahu kalau seandainya ide gilamu ini gagal.”

Rio dengan segera tersenyum lebar. Bibir merahnya tertarik dengan simetris, menunjukkan sederetan gigi putih yang rata. Mata hitamnya berkilat senang dan aku pun tak dapat menahan senyum. Adik kembarku ini memang manis sekali jika tersenyum. ... Bukan berarti aku secara tidak langsung memuji diriku sendiri.

“Terima kasih, Ria!” dua tangan berkulit sawo matang memelukku dengan erat, membuatku terkejut. “Kalau begitu, besok jam delapan pagi akan kusuruh Vino ke sini, oke?”

Belum sempat aku menjawab, Rio sudah bangkit berdiri dan berlari keluar kamarku. Untuk mengambil ponselnya dan mengirimkan pesan singkat kepada Vino. Aku yakin.

Aku menghela napas. Rio itu memang seperti angin topan. Datang secara tiba-tiba dan penuh energi sebelum pergi lebih tiba-tiba lagi. Untung saja dia tidak pernah meninggalkan kerusakan setelah kehadirannya. Setidaknya, tidak sering.

Kembali sendiri di kamarku dan hanya ditemani oleh suara detik jarum jam dinding yang sayup terdengar, aku merebahkan tubuh di atas kasur. Mataku memandang ke langit-langit sementara pikiranku mengaji ulang ide gila yang diutarakan oleh Rio beberapa menit yang lalu. Ide gila yang sebetulnya sederhana. Rio ingin agar aku menggantikan tempatnya dalam ‘kencan’nya dengan Vino, teman lelaki terdekatnya, esok hari.

Bertukar peran dengan Rio tak pernah sulit. Kami sudah sangat sering melakukannya saat kecil dulu. Sekarang pun, walau kami sudah remaja, aku yakin kami masih dapat membodohi orang-orang dengan keisengan ini. Kecuali Ibu, tentu saja. Aku dan Rio memang kembar identik dan, lucunya, selera fashion kami pun sama. Karena itu, rambut hitam kami yang ikal sama-sama dipotong sebahu. Isi lemari pakaian kami sama-sama dipenuhi dengan jeans dan kaos-kaos sederhana. Saking miripnya kami, terkadang Ibu suka berkata bahwa seharusnya kami adalah satu individu yang tak sengaja terpisah menjadi dua.

Bibirku terkulum menjadi senyuman kecil mengingat candaan itu. Betapa tepatnya perkataan ibu. Untung saja kami masih memiliki selera yang berbeda mengenai lawan jenis. Ah, aku jadi kembali teringat kepada Vino. Sebetulnya, aku sadar bahwa pria itu memiliki sedikit rasa terhadapku. Entah hanya ketertarikan atau memang rasa suka, tapi jelas ada sesuatu yang berbeda dari caranya memandangku. Ini berarti ide gila Rio sebetulnya bertujuan untuk mendekatkanku dengan Vino. Adikku itu memang senang sekali berperan sebagai Mak Comblang.

Aku menggeleng pelan, tak habis pikir dengan jalan pikiran Rion. Rencananya untuk mendekatkanku dengan Vino tidak akan berhasil. Sudah pasti. Lagipula, bagaimana mungkin aku dapat membalas perasaan pemuda itu jika hatiku suda tertambat pada orang lain? Lebih tepatnya—pada seseorang yang telah ada di sisiku sejak masih dalam rengkuhan janin ibu yang nyaman.

Hatiku selamanya akan tertambat tanpa mendapatkan balasan. Aku tahu itu. Lagipula, jika perasaanku ini diketahui oleh orang lain, bukan tak mungkin mereka akan menuding dan mengucilkanku. Namun, bagaimana mungkin kau bisa tidak mencintai seseorang yang memang merupakan separuh dirimu? Biarlah selamanya aku mencinta dalam bisu. Biarlah selamanya aku menepuk udara kosong tanpa balasan, namun ini hatiku. Akulah yang berhak memberikannya kepada siapapun yang kuinginkan.

Besok aku akan mengikuti ide gila adikku tersayang. Besok, aku akan mengatakan dengan lugas kepada Vino bahwa tak ada gunanya mendekati Ria karena gadis itu sudah tak lagi memiliki hati. Apakah aku akan mengatakannya sebagai Ria atau Rio ... biarlah keadaan esok hari yang menentukan.

1 komentar:

  1. ide ceritanya bagus, saya suka. tp menurut saya lebih baik kalo nggak nggantung gitu. #kecewa
    percakapan antar pemain bisa diperbanyak supaya lebih hidup.
    good job ;)

    BalasHapus

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!