Oleh: Artha Manalu
Jika tema adalah arah yang menjadikan sebuah kisah, aku yang jadi tokohnya harus bagaimana?
.
.
“Terima kasih! Kami pulang dulu, ya?”
Mereka melambai, berjalan melewati pintu kayu ruang kelas yang besar, kemudian menghilang. Aku masih berdiri di depan kelas dengan sapu bertangkai merah yang ijuknya hampir habis. Ruangan yang biasanya gaduh kini terasa sunyi dan jadi terlalu luas.
Ini hari Kamis yang jadi giliran piketku yang selalu sepi. Teman-teman terlalu sibuk dan punya urusan penting yang sama sekali tak bisa disetarakan dengan tugas rutin ini. Aku yang hanya orang biasa, yang juga hanya punya masalah biasa, jadi jawaban paling tepat untuk mereka. Setiap giliran piket kelas yang ada akunya tiba, takdir selalu memberi urusan lebih bagi mereka. Aku yang selalu ditinggal di belakang jadi merasa tersisih dan diabaikan.
Aku harus bagaimana?
Saat mulai menyapu, aku melihat lembaran kertas kusut terbuang begitu saja di lantai berdebu yang sudah usang. Ada lembaran hasil ujian bernilai merah, catatan pelajaran yang ditulis asal-asalan, juga surat cinta yang tak ada nama pengirimnya. Kelas kami benar-benar kotor, dan aku harus segera membersihkannya.
Entah karena terlalu serius melihat lantai marmer yang harus kubersihkan atau apa, aku jadi tak menyadari ada orang yang ternyata juga ada di sana, hingga akhirnya sepasang tangannya muncul, dan memasukkan sampah kertas yang kukumpulkan ke dalam tempat sampah. Aku terkejut dan cuma bisa diam, membiarkan dia melakukan tugas yang seharusnya kukerjakan sendiri.
Dia segera beranjak pergi segera setelah sampahnya habis, lalu kembali dengan tong yang telah bersih. Langkah panjangnya melewatiku yang masih tak bisa bergerak begitu saja, menyebar aroma aneh yang membuatku sesak dan tak nyaman. Saat hendak berbalik, aku merasakan tepukan ringan di pundakku.
“Sudah selesai, kan?”
Hm? Benar. Sudah selesai. Terima kasih mau membantuku.
“Tidak pulang?”
“Pulang.”
“Oke.”
Aku cuma bisa menatap mata hitamnya yang berkilau karena bias sinar dari jendela. ‘Oke’ katanya. Apa artinya?
.
.
Tadi aku sempat tak mengerti arti ‘Oke’ yang dia katakan. Tapi kini, aku justru semakin bingung. Dia bilang rumah kami berdua searah, jadi kami harus pulang bersama. Nyatanya, rumah kami memang searah, tapi seharusnya berakhir sampai di perempatan yang baru saja kami lewati. Aku lurus ke depan, dan dia seharusnya berbelok ke kanan.
“Kau kenapa?”
Pagi tadi hujan, lalu dengan cepat cuaca berganti cerah. Sisa-sisa udara lembab terbang terbawa angin dan bermain-main pada rambutnya yang hitam. Dia yang atlet balap sepeda terlihat semakin megah dengan singasana sepeda gunung biru tua yang kokoh dan tak tergoyahkan. Aku yang bersepeda di sampingnya cuma bisa iri karena yakin aku bukan apa-apa.
“Kau menyedihkan.”
Sepeda kami berhenti tepat saat lampu merah di persimpangan jalan menuju rumah menyala. Aku menoleh, di saat yang sama, dia melirik. Lalu udara segar yang tadi terasa kini menghilang, meninggalkan aku yang mematung di bawah tatapan tajam dia yang jadi menakutkan.
“Kau tahu tidak kalau mereka berbohong?”
Mereka? Siapa?
“Menghindari tugas piket, melimpahkan semuanya padamu, dan kau cuma diam?”
Iya. Itu pilihanku. Aku hanya bisa diam. Memang aku siapa? Aku cuma tokoh menyedihkan dari cerita tentang kisah yang terlupakan. Aku tak mungkin menolak, apalagi berontak. Itu bukan karakterku. Kau tahu? Akan selalu ada sebuah tema untuk tiap cerita, dan saat ini, di kisahku, tema itu mengarahkan aku untuk hanya diam dan menurut, menjalani setiap kisah tanpa ada bantahan. Aku hanya karakter yang lahir untuk melengkapi kisah hebat orang lain; Cintya si perenang hebat, Robi si anak orang kaya, Abner yang kocak, dan mungkin, jika cukup baik, aku juga bisa jadi figuran untuk kisahmu yang seorang atlet berbakat.
Lampu berubah hijau, sepeda kami kembali berjalan. Aku diam, dia sama. Meski ada Adrian yang menemaniku pulang siang itu, aku tetap kesepian karena wajah tertekuk yang dia pajang.
-:-
“Kau ditinggal lagi?”
Minggu berikutnya, dia kembali memunguti sampah di depan kelasku. Aku buru-buru menyandarkan sapu di dinding, lalu berjongkok membantunya yang membantuku. Seperti yang sebelumnya, dia mengharuskanku pulang bersama.
“Kenapa tidak menolak alasan mereka?”
Hujan yang terlalu deras pagi tadi membuat ibu khawatir aku akan basah kalau hanya naik sepeda, jadi kakak mengantarku dengan mobilnya. Selain bisa sampai di sekolah tanpa terkena hujan, aku juga harus pulang hanya dengan berjalan. Adrian yang mengaku kalau dia juga diantar memilih untuk jalan bersamaku.
“Kau tidak seharusnya pasif.”
Aku berhenti di tepi kubangan kecil yang menampilkan wajahnya yang bingung dan melihat ke arah bayanganku. “Tapi aku kan memang lemah.”
“Tapi aku tidak minta kau jadi kuat.”
Oh, ternyata bukan. Jadi, apa yang dia harapkan?
“Beranilah,” katanya, lalu berjalan lagi. Aku berlari menyusulnya, mencoba menyejajarkan langkah kami di trotoar jalan menuju rumah. “Tidak usah berontak, hanya berani. Paling tidak, ungkapkan perasaanmu. Kalau suka, bilang suka. Kalau tidak, katakan tidak. Jangan hanya diam dan menyimpannya sendiri, orang lain jadi tak tahu bagaimana harus memperlakukanmu.”
Benarkah?
“Mengerti?”
“Ya.”
Lalu dia tersenyum.
Matahari yang sempat bersembunyi di balik awan muncul dan menjadikan Adrian seolah jadi sosok paling bersinar yang bisa kulihat. Menyilaukan, tapi juga menyenangkan.
“Aku sayang kamu.”
Udara dingin terlempar dari wajahku yang terasa hangat. Aku kaku hingga tak bisa berjalan. Adrian berbalik, lalu mendekat. Dari jarak sedekat ini, aku baru tahu kalau ternyata aku jauh lebih pendek jika dibandingkan dengannya.
“Kenapa?”
Hm? Aku kenapa? Entahlah. Kepalaku yang masih membeku karena ucapanmu belum sanggup bahkan untuk sekadar memberi perintah pada kelopak mata untuk berkedip karena mulai terasa perih.
“Cukup bilang suka jika memang suka, atau tidak jika memang tidak.”
Apa aku tidak suka? Aku merasa aneh karena darahku terasa berdesir, merasa tak nyaman karena jantungku berdetak terlalu cepat. Aku bahkan berkeringat.
“Suka, tidak?”
“Suka.”
Guruku pernah berkata, dalam sebuah kisah, tema adalah hal yang sangat kuat yang dapat mempengaruhi setiap karakter yang ada, mengubah mereka, menjadikannya untuk selalu bisa maju hingga ke garis akhir penanda selesainya cerita. Aku yang kini, malah mulai bergeser dari karakter awal. Adrian mampir jadi tokoh lain yang memamerkan padaku indahnya jadi berani. Aku yang sekarang, punya keberanian mengakui perasaan bahagia yang muncul saat tahu ada yang menyayangiku.
Jika tema mempengaruhi setiap tokoh, maka dia juga mempengaruhi Adrian untuk mempengaruhiku. Aku jadi sedikit berubah, cara pandangku juga. Mungkin selama ini aku salah mengira, karena ternyata aku bukan hanya jadi sosok statis yang tersingkir, aku juga bisa jadi dinamis, harus dinamis, untuk bisa bertahan dan akhirnya diperhatikan.
Temaku mungkin memang menginginkan aku berubah, jadi aku akan mencoba. Kali ini, aku bukan hanya akan diam mengikuti alur pergi, tapi juga berusaha untuk menjadi kisah yang akhirnya bahagia.
.
.
-:-
Blog untuk memajang hasil karya partisipan #WritingSession yang diadakan setiap jam 9 malam di @writingsession. Karena tidak ada yang bisa menghentikan kita untuk berkarya, bahkan waktu dan tempat.
Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
wah menarik ya. kalimat pertama juga bagus.
BalasHapusterus berkarya yaa :))
Hmmmm...satu kata aja deh, unik!
BalasHapus=)