Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Jumat, 21 Oktober 2011

Just Hallo, Please...

Oleh: ifnur hikmah (@iiphche)



"Let me know, apa yang harus aku lakukan untuk membuatmu berdering?"

Tatapan sangar tertuju ke benda persegi yang sedari tadi hanya diam membisu. Sial! Mengapa disaat-saat seperti ini benda mati tersebut justru memilih untuk bungkam? Padahal disaat aku sedang ingin beristirahat dengan tenang, dia tak henti-hentinya menjerit.
"Come on. Ringing ringing ringing..." rapalku, seperti seorang nenek sihir merapalkan mantra Abrakadabra.
Namun, si Blackberry hitam dengan goresan dan penyot disana sini itu masih betah dengan keterdiamannya.
"Hei, lo nggak akan berdering kan?" desahku putus asa.
Hening manyahutiku.
Sudahlah, mungkin memang sekarang aku harus menyadari kalau karma itu benar-benar ada. Aku yang menyulut api, jadi bukan hal yang mengherankan kan jika aku yang kemudian terpanggang didalamnya? Dan seperti karma-karma yang pernah menimpa siapapun sebelum ini, aku pun kian terpuruk dalam penyesalan. Penyesalan yang berawal dari keterlambatanku menyadari akan hadirnya sebuah rasa yang merambati hatiku.
***

Two days ago
"Stop calling me, oke?"
Teriakanku membahana di ruang redaksi. Beruntung sekarang sudah malam jadi tidak akan ada yang merasa terganggu dengan jeritanku. Oh, kecuali satu orang yang saat ini tengah mengkeret didepanku. Dia menatapku takut-takut, seolah-olah aku ini monster kelaparan dan dia kelinci putih yang tengah menyesal telah mengumpankan diri ke kandang monster.
"Tapi Rha."
Aku mendelik dan otomatis pelototan mataku langsung membungkamnya.
"Gue nggak suka ya lo telepon-telepon terus. Ganggu tahu." Aku semakin ganas memuntahkan repetanku.
Robby kembali mencoba peruntungan dengan membuka mulutnya. "Rha, aku..."
"Lo kayak orang kurang kerjaan tahu. Pagi, siang, sore, malam, senin, minggu, kapan aja lo telepin gue. Emang lo pikir gue nggak punya kegiatan lain apa?"
"I know Rha. Maaf."
"Maaf maaf, tapi lo selalu ulangi lagi kan?"
"Tell me another way to make you feel what I feel. Tell me another way to make you notice me. Tell me another way to make you know that I love you so much." Robby berkata cepat, seolah-olah dia takut kalau-kalau aku memotong ucapannya lagi.
Namun, aku hanya melongo. Inilah kali pertama dia mengutarakan perasaannya secara gamblang dihadapanku. Meski aku tersentuh -hello! Perempuan mana yang nggak klepek-klepek begitu tahu ada cowok yang head over heels falling for her? Nothing!- tapi aku tidak bisa menoleransi ini lagi.
Aku capek dengan semua telepon-telepon Robby. Aku capek dengan semua tingkah kekanak-kanakannya. Aku capek dengan perhatiannya. Aku capek dengan dia karena aku tidak menyukainya. Oke, as a friend or office-mate, aku bisa. Tapi lebih dari itu, I'm sorry Robby, I can't.
Namun, Robby tidak pernah mengerti. Bombardir kata "Hallo" via telepon terus berlanjut.
"Kalau lo sayang sama gue, stop it. Don't call me again, even you wanna say one word, just hallo. Don't do this," tegasku.
***

Kemakan omongan sendiri itu tidak menyenangkan. Sangat tidak menyenangkan.
Dua hari ini aku mendapatkan apa yang aku mau: terbebas dari Robby. Alih-alih berbahagia atas terkabulnya keinginanku, aku malah seperti orang kebakaran jenggot. Setiap menit aku selalu melihat Blackberry, berharap ada sederet angka tertera disana. Namun hasilnya nihil. Nol besar. Robby benar-benar mematuhi ucapanku.
Damn! Ada apa denganku? Kenapa aku jadi uring-uringan seperti ini?
Astaga! Aku merindukan saat-saat teleponku berdering dan mendapati nama Robby disana. Aku merindukannya. Tanpa kusadari aku telah larut dalam permainannya dan tanpa kusadari juga aku telah terbuai olehnya. Telepon-telepon itu telah menjadi keseharianku, dan aku menikmatinya -sial, aku baru menyadarinya sekarang.
"Please, ringing..."
Percuma.
Blackberry hitam yang sudah bapuk itu tetap terdiam.
"Please Robby. Just one word for me. Just Hallo. Please..."
Detik itu juga kusadari keinginanku tak akan terkabul. Ah, pasti aku telah melukai perasaan Robby. Sangat melukainya. Dan kini aku terkapar karena terlambat menyadari perasaan yang muncul ke permukaan hati.
"Just Hallo, Robby..." desahku sia-sia.
No more phone call from Robby, even for one word, Hallo.

1 komentar:

  1. bagus bagus bagus!!! apalagi dengan kalimat terakhir, benar2 menusuk ;(

    BalasHapus

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!