Oleh Tengku Reza (@TengkuAR)
“Hallo Babe…”, terdengar Ardi menjawab dengan sangat khas setiap kutelepon.
“Yang, besok kamu bisa antar aku nggak? Beli kado ulang tahun untuk temanku, Lia. Besok sih enaknya jam duaan kali ya? Aku mau beli kadonya deket rumah deh, mungkin di PIM, terus abis itu kita bisa nonton atau cuma sekedar makan, mau nggak? Pasti seru tuh!”, cerocosku saking senangnya merencanakan tentang hari esok dan ini memang sudah jadi tabiatku berbicara tanpa koma.
“Babe, aku lagi nyetir nih. Nanti kalau sudah sampai rumah langsung aku telepon ya?”
“Iya Yang. Janji ya sampai rumah langsung telepon aku.”, balasku cengengesan karena tidak enak telah menganggu konsentrasinya menyetir.
Akhirnya pembicaraan kita pun ditutup untuk sementara. Memang sudah menjadi kebiasaan Ardi bila sedang berkendara tidak ingin disibukkan oleh hal-hal sepele seperti menelepon yang hanya sekedar mengobrol tidak penting.
Aku dan Ardi sudah hampir lima tahun menjalin hubungan pacaran dan telah merencanakan untuk menuju jenjang yang lebih tinggi lagi yaitu menikah sekitar dua tahun lagi. Tak sabar rasanya menunggu hari pernikahan itu datang.
Sedari awal aku telah yakin bahwa Ardilah yang akan menjadi pendamping hidupku nanti. Dia lah yang akan menjadi pelabuhan terakhirku. Aku dan Ardi terpaut perbedaan umur tiga tahun namun itu tidak menjadi masalah. Meski dalam masa-masa tiga tahun berpacaran ada saja aral merintang yang mendewasakan hubungan kita dan semua bis kita lewati. Sekarang aku makin sayang dan cinta dengan Ardi.
***
Sejam kemudian…
“Hallo Babe. Aku baru sampai rumah nih. Tapi sekarang masih di garasi. By the way, tadi ada yang mau omongin, apa Babe?”, Ardi memanggil mesra di ujung telepon.
“Iya Yang. Tadi itu aku cuma mau minta temenin kamu buat cari kado besok karena temanku ada yang ulang tahun hari minggu ini. Bisa nggak?”, suaraku memanja berbeda dengan awalku meneleponnya karena rasa tidak enakku tadi.
“Oh begitu. Aku bisa kok. Tapi besok memang kamu mau cari kado dimana dan jam berapa? Karena seminggu ini aku capek banget di kantor dan kayaknya aku mau tidur lebih awal. Biar besok bisa fresh deh diliat kamu.”, ucap Ardi sedikit menggombal.
“Kamu ini! Jadi besok itu aku mau cari kado ke PIM sekitar jam duaan jalan dari rumah. Dan kamu juga bisa kan tuh bangun tidurnya siang biar mirip kebo. Terus aku juga pasti seneng pas dijemput nanti liat kamu fresh kayak sayur yang baru turun di pasar induk.”, ledekku membalas gombalannya sambil menahan tawa.
“Babe… besok awas kamu ya! Pokoknya besok habis aku cabik-cabik.”, suara Ardi pun meninggi setelah diledek oleh Lia
“Silahkan aja! Aku tunggu besok! Dah Sayang. I love you!”, aku buru-buru menutup teleponnya.
Dan malam ini dapat dipastikan aku akan bermimpi indah.
***
Esok harinya. Sekitar pukul 10:00 WIB.
“Pasti Ardi jam segini belum bangun deh. Aku telepon ah sekalian mau godain lagi.”, pikiran isengku muncul pagi itu.
Tuut-tuut-tuut…
“Tidak ada respon. Tidak ada jawaban. Tidur. Baiklah akan aku coba lagi nanti.”, pikirku sambil menahan rasa iseng.
***
Dua jam kemudian…
Tuut-tuut-tuut…
“Hallo Babe…”, Ardi akhirnya menjawab teleponku dengan suara masih berat seperti orang bangun tidur.
“Hallo Sayang. Jadi kan hari ini. Kamu pasti baru bangun tidur deh. Terus mau jemput aku jam berapa? Aku udah siap nih.”, ucapku iseng.
“Eh? Aku banru bangun nih Babe. Kata kamu semalam jam dua mau dijemput. Ini masih jam duabelas kan? Kok jadi dipercepat?,” kata Ardi sedikit bingun dan panik.
“Yess!! Aku sukses!”, balasku dan kemudian aku tertawa.
“Terima kasih ya Babe udah ngerjain aku siang ini. Lihat aja nanti aku nggak akan datang jemput kamu.”, Ardi sungut dan ngambek karena aku kena aku kerjai.
“I love you Sayang!”
***
Jam dua…
Akhirnya jam dua pun tiba. Aku sekarang sudah siap dijemput oleh pangeranku yang ganteng. Sayangnya dia tidak menaiki kuda putih tapi selalu membawa motor besarnya.
“Hati-hati dijalan ya. Aku sudah cantik loh. I love you.”
Pesan singkat pun aku kirim ke nomor telepon selulernya.
Sejam berlalu…
Berkali-kali aku menghubungi telepon selulernya namun tak tidak aktif. Aku coba telepon ke rumahnya tapi kata orang rumahnya Ardi sudah jalan dari jam satu tadi.
“Yang kamu dimana? Benaran ngambek ya karena tadi aku kerjai? Aku minta maaf ya. Please jangan ngambek. Tolong kabari aku.”
Pesan singkat ke khawatiranku pun terkirim.
Jam lima…
Ini sudah tidak lucu menurutku. Tidak biasanya Ardi ngambek denganku hingga sebegininya. Aku benar-benar mengkhawatirkan dirinya. Dimana dia? Telepon selulernya pun masih belum aktif. Tak ada ide dia pergi kemana, karena hari ini aku hanya tahu jadwalnya bersamaku. Pikiranku mulai terbelah kemana-mana.
Jam tujuh…
Aku urungkan semua rencanaku hari ini. Aku pasrah. Kesalahanku mungkin fatal baginya. Namun…
“Nomor telepon rumahnya Ardi?”, pikiranku bertanya.
“Hallo... iya ini Lia, Tante. Ada apa ya? Kenapa Tante menangis? Tan... Ardi dimana?”, aku menjawab telepon tersebut dengan terbata-bata namun aku hanya mendapatkan tangisan dari orangtuanya Ardi. Lalu…
“APA?! Ardi meninggal karena kecelakaan?”
Saat itu aku tak bisa apa-apa dan pikiranku langsung menerawang jauh ke pembicaraan terakhirku semalam dengan Ardi bahwa dia tidak akan datang menjemputku. Apakah itu pertanda yang harusnya aku ketahui. Tak terpikirkan aku akan hidup tanpanya. Semua rencana untuk dua tahun ke depan pun sirna. Dan di sini aku merindukan ‘hallo’-mu. I love you, Ardi!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!