Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Selasa, 25 Oktober 2011

Setiap Hari, Tak Ada Yang Lama

Oleh Ajeng Wismiranti (@duatiga888)
 
“Maaf, tak lama lagi, pak. Mohon maaf atas kekurangan kami.” Jelas Marhamah pada seorang pelanggan yang marah-marah karena belum bisa dibayarkan rekeningnya. Jaringan pembayaran rekening listrik yang sedari pagi error, masih saja menguras tenaga dan kelapangan dada Marhamah.
‘Mesti banyak istighfar atas permasalahan yang bukan perbuatanku.’ Semangatnya dalam hati.
“Mbak, mbak. Beli voucher listrik.” Kata seorang ibu mengagetkan lamunan Marhamah.
“Maaf, bu, sedang ada gangguan jaringan. Silakan kembali siang nanti.” Jelas Marhamah mempertahankan senyum.
‘Nyatanya tak bisa. Senyumku ini hanya terlihat. Tapi yang terasa, tetap saja berbeda. Kadang kita memang harus memperjuangkan perasaan kita agar tetap terlihat baik di depan khalayak. Ya, hanya untuk menjaga keharmonisan dan ukhuwah antar sesama manusia.’ Lamunnya lagi.

“It’s not about the money, money, money...” lagu Jessie J yang dijadikan nada panggil hp Marhamah pun bernyanyi. Tapi ternyata lagu itu tak cukup menyadarkan lamunan Marhamah. Ia malah meneruskan,
‘ini bukan tentang uang. Ya. Karena kesabaran dan kelapangan dada tak cukup dibeli dengan uang,  tak di jual di apotik mana pun, juga tak pernah di pajang di toko-toko elit di mal mana pun.’ Dering kedua, ia baru tersadar.
“Iya halo. Kenapa mas?” Jawab Marhamah.
“Mar, jaringan akan kembali normal. Tolong beritahukan pelanggan agar bersabar menunggu. Kira-kira sepuluh menit lagi. Saya tinggal menunggu konfirmasinya, okay.” Jelas Rizal, IT dari kantor pusat.
“Oke, Mas Rizal. Terima kasih atas informasinya.” Jawab Marhamah, lalu menutup sambungan teleponnya.

Tiga jam berlalu. Buah kesabaran itu akhirnya diecap Marhamah dengan manis. Ia bergegas pulang dengan membawa cukup kenikmatan. Ya, bersabar memang tak mudah. Kita sering dituntut tangguh, namun tetap berwibawa. Kita pun dituntut tegar, tapi tanpa air mata.
Tapi di akhir beres-beresnya, Marhamah dihadang oleh seorang ibu tua. Masih di depan loket pembayaran listrik yang dijaganya, Marhamah melihat tak begitu jauh darinya, sosok tua yang kuat berjalan dan senyum tanpa bosan.
“Nak, saya mau beli voucher listrik. Listrik di rumah saya sudah mati. Saya mau beli yang dua puluh ribu saja. Lumayan untuk satu bulan.” Sapa ibu tua itu, sambil melepas sandal jepit biru lusuhnya, dan masuk ke dalam loket.
“Ibu, pakai saja sandalnya. Silakan masuk.” Jawab Marhamah spontan dari lamunan lagi, barusan. Lamunan bahwa tak mungkin menolak kehadiran ibu tua yang pasti telah susah payah berjalan ke sini hanya untuk membeli voucher listrik. Iya pikir, ke mana anaknya, cucunya, atau entah siapa yang sebenarnya bisa ia suruh untuk datang ke sini. Mengapa ia harus melakukannya sendiri?
Lamunannya masih tersambung oleh percakapannya bersama ibu tua itu.
“Silakan duduk ibu, tunggu sebentar. Saya akan transaksikan permintaan ibu.

Selang beberapa menit,

“Nikmatnya dunia ini ya, nak.” Kata si ibu tiba-tiba menghentikan kerja tangan Marhamah.
“Ya, nikmat sekali.” Lalu menatap Marhamah dan memalingkannya lagi ke jalan raya.
“Seandainya Allah tidak mengadakan kenikmatan di dunia ini, apakah manusia mampu bertahan hidup?” Lanjutnya, “Seandainya Allah tidak menganugerahi kesabaran dan kelapangan di dalam hati kita, apakah kita akan kuat menghadapi hidup yang getir dan kaya akan penindasan ini?”
Lanjut si ibu, kini dengan beberapa tetes air mata. Marhamah pun tak tertarik melanjutkan kerjanya. Transaksinya yang tinggal menunggu konfirmasi pembayaran dibiarkannya hanya untuk menatap fasih sang ibu.

“Sepuluh tahun lalu, suami saya berpesan, kelak kau akan mendapatkan kenikmatan yang melimpah ruah atas segala kesabaranmu, istriku. Ya, kesabaranmu mengurusku yang lumpuh ini, yang tidak berguna ini. Mungkin bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat. Dan, dua anak kita yang tak sempat hidup dari rahimmu, juga akan mendoakan ibunya yang penuh dengan samudera kesabaran.” Curah si ibu tua yang tak malu lagi menangis. Ia melanjutkan,
“Setiap hari adalah baru, hari baru adalah hari di mana kita memulai perasaan baru, tanpa menengok perasaan di hari sebelumnya, seperti perasaan sedih, kecewa, dendam, maupun pahit. Setiap hari adalah baru, hari baru adalah hari di mana kita memperbaharui kecintaan kita pada siapa yang telah membahagiakan kita, Tuhan. Meski Tuhan tak pernah baru, tapi saya yakin, Dia selalu punya beribu juta cara baru untuk membahagiakan kita, membahagiakan saya.”
Marhamah pun tak kuat menahan bulir-bulir kecil yang menyeruak ingin menggelincir di atas kedua pipinya. Marhamah pun tersenyum dan...
“Ibu, atas Nama Bapak Suhardja Syailendra, betul?” potong Marhamah atas curahan hati ibu tua itu. Si ibu pun tersenyum mengangguk tanda mengiyakan pertanyaan Marhamah.
“Harganya dua puluh ribu ya, bu. Uangnya pas ya, bu.” Kata Marhamah sembari menerima uang pas dua puluh ribuan dari si ibu dan memberi struk bukti pembayaran sahnya. Dan si ibu pun masih tetap tak bosan dengan senyumannya, sedari tadi. Lalu pergi dan menenteng sepasang sandal jepitnya ke luar loket, memakainya kembali, dan pergi meninggalkan jejak harum pembelajaran, bagi Marhamah.

2 komentar:

  1. Setiap hari adalah baru, hari baru adalah hari dimana kita memulai perasaan baru. Great!

    BalasHapus
  2. we found another quote here! :D

    BalasHapus

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!