Oleh: Sylvana Wijaya
Kilatan lampu blitz menyilaukan mataku, namun dengan penuh percaya diri aku tetap berjalan melewati ratusan pasang mata yang seolah hendak menelanjangiku. Ketika sampai di ujung panggung, aku memiringkan bibir membentuk senyuman dan berjalan kembali ke belakang panggung. Hiruk pikuk di belakang panggung ternyata lebih membuatku gugup. Meski puluhan fashion show telah kulakukan, tetap saja tidak mengurangi satu senti kegugupanku. Dan ada rasa lega yang luar biasa tiap kali lampu-lampu blitz dimatikan, pertanda fashion show usai.
Thomas, designer yang menggunakan jasaku hari ini memuji penampilanku. Aku ingat setiap designer-designer itu selalu mengatakan bahwa mataku “berbicara” yang menjadi daya tarik setiap busana yang kukenakan. Teman-teman seprofesi juga selalu memujiku.
“Kamu creambath tiap hari ya?”
“Eh, bagi dong resep kulit putih dan kinclong kamu!”
“Hidung kamu mancung banget, ada keturunan bule?”
Dan serangkaian pujian-pujian lainnya. Tak pelik beberapa lelaki berebut tempat di hatiku, dan hampir semua mereka kutolak. Walau sejujurnya aku merasa tak nyaman menolak menolak mereka.
“Wajar aja, Luna kan cantik, sukses, putri pengusaha kaya lagi! Makanya harus selektif” itu komentar yang tiap kali kudengar.
Terkadang ada komentar negatif yang cukup kutelan sendiri. Aku pernah membaca, jika seseorang membicarakan keburukanmu, maka ia cemburu dengan yang kau miliki. Maka aku mengambil prinsip itu. Cemburu padaku? Ulangku dalam hati. Aku mendengus miris. Mereka cemburu pada Luna.
Jika saja mereka tahu dari mana aku mendapatkan kulit putih ini, aku rasa mereka akan berubah mengasihaniku.
Pernahkah mereka tahu, berapa kali aku harus menreggang nyawa di meja operasi hanya demi sebuah hidung?
Dan tak terhitung berapa kali pisau bedah mengoyakkan kulitku demi ukiran yang sempurna.
Betapa aku membenci pada cermin kala itu...
Mimpi buruk, musibah atau segala sesuatu yang buruk muncul tiap kali aku mengingat masa-masa itu. Masa-masa yang di timbulkan oleh 'kerja keras' ayah kandungku. Masih terbayang jelas tiap kali ayah memukul wajahku sepulang mabuk. Berapa kali ia menendang badanku untuk meminta uang. Dan ketika ia selalu berlutut di pagi hari memintaku memaafkan kekhilafannya semalam. Ibu lebih cerdas dariku. Ia segera mengurus perceraian dengan ayah dan berhasil menikahi duda kaya. Keputusan pengadilan yang memaksaku tinggal bersama ayah, sedangkan Dito tinggal bersama ibu karena masih kecil. Ibu rutin memberi kami nafkah, dan Ayah rutin menghabiskannya. Begitu seterusnya hingga rasa sayangku padanya memuai hilang bersama dengan udara. Keadaan memburuk sewaktu Ayah kalah judi dan Ibu menolak memberi kami nafkah.
“Dasar perempuan jalanan! Lepas dari pelukanku langsung dapat duda kaya. Tunngu kalau aku sudah kaya, semua uangmu kukembalikan!” makinya.
“Memang susah ngomong sama orang mabok! Kalau begini terus, Dini akan kubawa juga!” balas ibu setengah mengancam.
Aku berusaha melerai mereka, sebelum ibu kena pukulan, untungnya ibu membawa pengawal sehingga ia bisa keluar dari rumah kami tanpa babak belur.
Melihat itu, kemarahan Ayah bertambah pesat. Sumpah serapah keluar dari mulutnya ditambah beberapa ancaman yang membuatku bergidik ngeri membayangkannya.
Malamnya aku menghubungi Ibu dan memohon padanya agar membawaku keluar dari rumah Ayah. Belum sempat kudengar Ibu menjawab, Ayah langsung membanting telepon itu. Perlakuan yang kuterima sama seperti telepon, dilempar dan di injak-injak. Sakit. Tapi kekerasan fisik telah melatihku untuk menjadi kebal. Sehingga tak ada lagi air mata yang turun. Dalam hati aku terus berdoa pada Tuhan, agar siksaan ini berakhir. Dan Tuhan mengabulkannya lewat tangan dingin Ayah.
“Kamu mau pergi sama wanita jalang itu? Mau sama-sama menjadi jalang? Aku tak sudi punya anak perempuan jalang” katanya lalu memecahkan botol minuman keras diubun-ubun kepalaku. Pecahan pertama membuatku sedikit terhuyung, dan entah pecahan keberapa yang sukses membuatku pingsan.
***
“Dini?” panggil Ibu pelan. Kurasakan jemarinya menyentuh tanganku mengalirkan sensasi hangat disana.
Aku berusaha membuka mata tapi sulit sekali dan ketika berhasil kulihat wajah ibu yang tampak tua dari biasanya. Ada yang tidak beres pikirku. Sulit sekali menggerakan otot wajahku, bahkan untuk berkedip harus dipaksa. Semakin kupaksa, rasa nyeri itu semakin nyata.
Seakan menyadari ketidakberesanku, Ibu berbisik “Maafkan Ibu.... Maafkan Ibu...” ucapnya pelan di iringi sesak tangisnya sambil mempererat dekapan tanganku.
Menerka-nerka apa yang terjadi padaku membuat otot wajahku semakin sakit. Kali ini aku hanya bisa membanjiri hatiku dengan tangisan.
Di belakang ibu muncul Om Herman, Ayah tiriku. Aku pernah bertemu sekali dengannya di persidangan cerai. Sebelah tangannya memeluk ibu, dan sebelahnya diletakkan diatas tanganku dan ibu.
“Tenanglah.... Semua akan baik-baik saja” ucapnya.
***
Belakangan aku tahu ada sekitar delapan belas jahitan yang membentuk jalur di kepalaku. Hidungku patah dan wajahku penuh luka terkena pecahan botol. Kalau masih dianggap beruntung, mataku selamat dari pecahan itu. Jika tidak, aku tidak berani membayangkan akibatnya.
Seperti kata Om Herman “Semua akan baik-baik saja” aku mencoba tenang. Om Harlan telah menyiapkan dokter operasi plastik terkenal di Korea Selatan. Katanya langganan para artis. Ia juga berseloroh “Kamu tinggal pilih mau hidung BoA atau Angelina Jolie”
Dengan kekayaan Om Herman, tak sulit untuk baginya untuk mengurus segala sesuatunya. Uang memang berbicara. Kekayaan Om Herman berasal dari bisnis kapal dan ikan di salah satu pelabuhan terbesar di Indonesia. Kehidupan Ibu dan Dito berbanding terbalik dengan aku dan Ayah.
Kabar terakhir yang kutahu, Ayah dijatuhi hukuman 15 tahun penjara. Selebihnya, aku tidak mau tahu lagi. Segala emosi dan rasa dendam yang sempat mengepungku kujadikan energi untuk menjalani berbagai proses operasi yang panjang dan melelahkan di Korea guna pemulihanku.
Dan ketika aku diberi izin untuk melihat kaca, aku menemukan sosok baru disana. Begitu indah, terlalu indah malah. Atas saran salah satu psikolog ternama, aku berganti identitas baru. Demi menghindari trauma karena kasusku sempat mencuat di media masa.
“Luna” itu nama yang kupilih. Aku resmi menjadi keluarga Om Herman. Dengan identitas baru, sebagai putri seorang pengusaha kaya, langkahku semakin ringan. Tubuh jangkung karunia Tuhan, mengantarkanku berlenggak lenggok di atas panggung. Menjadi model profesional adalah tujuan hidupku. Sekarang, aku lebih banyak tinggal di Paris sendiri, sebab aku masih trauma berdekatan dengan pria.
Dini telah mati di meja operasi. Sekarang hanya ada Luna. Luna pujaan pria, Luna yang sukses, dan Luna putri pengusaha kaya. Luna yang berarti bulan. Persis sepertiku, dari jauh indah namun penuh luka dari dekat. Karena itu aku memilih Luna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!