Blog untuk memajang hasil karya partisipan #WritingSession yang diadakan setiap jam 9 malam di @writingsession. Karena tidak ada yang bisa menghentikan kita untuk berkarya, bahkan waktu dan tempat.
Senin, 27 September 2010
Scenario
Tema 26 September 2010
Regards,
Writing Session
Di Sebuah Pagi Yang Kosong
Minggu, 26 September 2010
tema: Kehilangan - Judul: Bintang Untukmu
Ia terlihat begitu damai hari itu dengan senyum kecil terlukis di wajahnya. Matanya yang terpejam, membuatnya terlihat seperti sedang mengalami sebuah mimpi yang indah. Mimpi dimana segala sesuatunya berjalan dengan baik dan seperti seharusnya. Mimpi yang sangat berbeda dengan kenyataan yang sedang kualami, dimana seluruh kepingan hidupku hancur berantakan dan aku berharap untuk bisa segera terbangun dari mimpi buruk yang telah merenggut semua yang berharga bagiku…
********
Semua ini dimulai pada tanggal 18 Februari 2010 lalu. Pada awalnya hari itu berjalan seperti hari-hari lain yang dimulai dengan rutinitas sama. Bangun pagi, menunggu mama menyeret Abi, kakakku, untuk bangun pagi, dan berangkat ke sekolah bersama Abi dan mobil sedan hitamnya. Hanya satu hal yang berbeda dari biasanya. Tidak ada Putra, pacarku, yang menunggu di lapangan basket seperti biasanya.
Sejak seminggu yang lalu, ia dan keluarganya pergi ke Menado untuk menjenguk neneknya yang tinggal disana dan sedang sakit. Rencananya ia dan keluarga akan balik kembali ke Jakarta dalam empat hari lagi.
Akan tetapi, empat hari lagi adalah hari dimana aku dan tim basket putri sekolah kami akan mengikuti kompetisi bola basket se-Jakarta. Dua minggu yang lalu ia sudah berjanji untuk membantu melatih kemampuan basketku, sehingga aku pun memutuskan meneleponnya kemarin dan memintanya pulang tiga hari lebih cepat dari keluarganya yang lain. Apalagi saat ini keadaan neneknya pun sudah sangat membaik. Sebuah keputusan yang terlihat sederhana pada awalnya, tetapi mempunyai konsekuensi yang sangat besar di akhir. Konsekuensi yang menghancurkan perasaan orang-orang yang kusayang dan yang membuatku yakin bahwa aku tidak akan pernah bahagia lagi. Bagaimana bisa aku bahagia jika aku kehilangan separuh dari diriku?
********
20 Februari 2010.
Karena sangat lelah setelah berlatih basket sejak dua hari terakhir ini, aku pun tertidur lelap sepanjang siang dan baru terbangun pada pukul empat sore. Dengan bergegas aku pun segera mandi, mengganti baju, dan kemudian naik kendaraan umum menuju rumah Putra. Rencananya kemarin ia balik ke Jakarta dengan penerbangan paling awal. Sehingga semestinya sejak kemarin siang ia telah sampai rumah dan telah sempat beristirahat seharian penuh. Dengan langkah ringan kuayunkan kakiku menuju rumah besar bergaya minimalis dengan pagar cokelat yang telah begitu kukenal sekarang.
Tetapi secara mendadak langkah kakiku terhenti saat melihat begitu banyak orang berkumpul di depan rumahnya. Beberapa saudara-saudara Putra yang telah kukenal tampak diantara orang-orang itu. Mereka tampak sangat sibuk dan berjalan kesana kemari, walaupun ada juga beberapa yang hanya terduduk lemas di kursi-kursi lipat yang banyak diletakkan di garasi dan jalanan depan rumah Putra. Diluar perbedaan aktivitas yang mereka lakukan, mereka menunjukkan satu raut wajah yang sama. Kesedihan dan sedikit rasa tidak percaya. Seakan apapun yang terjadi saat itu sangat sukar untuk dipercaya walaupun mereka sudah menyaksikannya sendiri.
Perasaan dingin yang mencekam mulai menyelimuti hatiku. Firasatku mengatakan bahwa ada sesuatu yang sangat salah terjadi disini. Sesuatu yang seharusnya tidak terjadi. Dan hal ini melibatkan orang-orang yang tinggal di rumah besar berpagar cokelat itu. Orang-orang yang sangat kusayangi.
Dengan kalut aku mulai berlari kedalam rumah, mencari wajah-wajah yang kukenal untuk memastikan bahwa tidak ada apapun yang terjadi pada mereka. Wajah yang pertama kulihat adalah Andra, adik Putra, Tante Terry dan Om Hendra, orangtua Putra. Dengan menghela napas lega, aku pun mengarahkan pandanganku ke orang-orang disekitar keluarga Putra, yakin akan menemukan Putra didekat keluarganya.
Sebuah kasur panjang yang dibentangkan ditengah ruang keluarga rumah Putra adalah hal pertama yang kulihat. Belum sempat melihat benda apa yang ada diatas kasur, mataku pun bertemu dengan mata Tante Terry. Dalam sekejap, Tante Terry langsung berlari kearahku dengan air mata yang berlinang dan merengkuhku kedalam pelukannya. Di luar kemauanku, badanku berguncang-guncang seirama dengan isakan yang keluar dari bibirnya. Di saat itulah, pandanganku yang tidak lagi terhalang oleh orang-orang dapat melihat apa, atau siapa, yang berada diatas kasur itu.
Tidak.
Tidak.
Ini tidak mungkin.
Aku merasa kakiku mulai gemetar dan goyah saat aku melihat siapa yang berada diatas kasur itu. Terbaring tak bergerak dengan raut muka yang terlihat damai, Putra terlihat seakan sedang tertidur pulas dengan mimpi yang indah. Hanya wajahnya yang pucat dan dadanya yang tidak bergerak tanpa nafasnya saja, yang membuatku yakin bahwa ia telah pergi.
Pergi. Putra telah tiada.
Putraku telah tiada.
Seiring dengan meresapnya kenyataan itu, aku pun ambruk. Hanya rengkuhan yang kuat dari Tante Terry yang mencegahku untuk langsung menghantam lantai pada saat kakiku berhenti menjadi penyangga. Bersama dengan Tante Terry, kami berdua pun terduduk di lantai dengan Tante Terry yang masih terus terisak di pundakku, dan aku yang terus menatap kearah Putra dengan pandangan yang kosong. Tidak ada air mata yang menetes dari mataku, hanya ada kekosongan di dadaku. Aku tidak merasakan apapun.
Bagaimana bisa aku merasakan sesuatu saat seseorang yang menjadi alasan bagiku untuk merasakan senang dan sedih telah diambil dariku?
********
Proses pemakaman Putra terus berjalan. Seiring dengan kesibukan untuk menyiapkan proses pemakaman yang terjadi disekitarku, aku pun menemukan bahwa ikut berpartisipasi dalam kesibukan itu membantu mengurangi rasa hampa di diriku yang semakin lama semakin menarikku kedalamnya. Disaat kami sedang merapikan kursi-kursi untuk tamu yang datang melayat, Andra, adik dari Putra pun bercerita bahwa pesawat Boeing 747 yang ditumpangi Putra jatuh pada saat akan mendarat akibat kerusakan mesin dan semua orang yang berada di pesawat itu dipastikan tewas.
Putra yang berada di bagian tengah pesawat menderita pendarahan dalam akibat terlempar keluar dari pesawat saat pesawat itu terbelah dua ketika jatuh, dan meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit. Mendengar berita kecelakaan pesawat itu di televisi saat masih di Menado, Andra sekeluarga pun langsung pulang untuk memastikan. Sedangkan aku yang sejak kemarin berlatih basket seharian penuh untuk kompetisi tentu saja tidak pernah menyalakan televisi untuk mendengarkan berita.
Bagaimana jika seandainya aku tidak meminta Putra pulang lebih cepat untuk membantuku berlatih?
Akankah dia masih disini?
Aku pun menyuarakan pemikiranku kepada Andra dan bersiap-siap untuk menerima kemarahan dan kebencian darinya karena telah menjadi penyebab dari meninggalnya Putra. Karena itulah aku sangat terkejut saat aku justru mendapati ia tersenyum tulus kepadaku dengan air mata disudut matanya.
"Kata ayah, kematian adalah hal yang pasti dan hanya menawarkan dua pilihan kepada penerimanya dan juga orang yang ditinggalkan. Apakah kita mau menerimanya dengan tulus dan ikhlas atau kita mau menerimanya dengan kemarahan dan rasa tidak terima kepada Tuhan? Apapun penyebabnya tidak akan membuat perbedaan, Kak Andien. Ini adalah waktu buat Kak Putra untuk pergi. Hanya satu hal yang perlu kita ingat dari kejadian ini, bahwa diluar apapun yang terjadi, Kak Putra terlihat damai dan ia pergi dengan mengetahui bahwa orang-orang yang ia tinggalkan akan selalu mencintai, mendoakan, dan merelakannya pergi dengan ikhlas sehingga ia bisa tidur dengan tenang disana."
Aku termangu mendengar ucapan itu, dan dengan perlahan secercah kehangatan mulai merasuki hatiku lagi. Mengisinya dengan perasaan saat ucapan Andra membuatku mulai bisa menerima kenyataan yang sangat ganjil ini. Kenyataan yang terus membuatku bertanya-tanya, kenapa ia harus pergi sekarang, disaat masih ada begitu banyak hal di dunia ini yang bisa ia raih?
Sejenak, Andra terlihat merogoh kantung bajunya. Kemudian ia pun menjulurkan secarik kertas yang terlipat kearahku. Secarik kertas yang terlihat kotor dan sedikit lecek serta bernoda. Aku pun membuka lipatan kertas itu dan membaca tulisan yang ada diatasnya.
Bersinarlah.
Jangan sedih. Tetap bahagia.
Know that I Love you...
Always have, and always will.
"Ini diberikan oleh salah seorang petugas paramedis saat kami datang menjemput kakak di rumah sakit. Menurutnya, saat di ambulans kakak terus bersikeras untuk menulis ini, bahkan disaat mereka memaksa kakak untuk jangan banyak bergerak. Kakak terus menerus mengatakan bahwa, 'Andien harus tahu' saat ia meminta kakak untuk berhenti menulis." Andra menjelaskan dengan suara serak.
Suara Andra hilang dan timbul di telingaku saat aku membaca tulisan yang ada di kertas itu. Pandanganku mulai memburam saat air mata mulai menghalangi penglihatanku, tetapi aku tidak bisa berhenti untuk terus membaca kata per kata, mengeja huruf per huruf, yang ada di kertas lusuh itu. Waktu terasa berjalan dengan sangat lambat saat aku berdiri di tempat itu, mencoba mengerti setiap kata yang dituliskan oleh Putra untukku. Kata-kata terakhir Putra untukku.
Jangan sedih. Tetap bahagia…
Air mata pun akhirnya membanjiri wajahku saat gelombang perasaan mulai memasuki diri, mendorong keluar kehampaan yang sebelumnya kurasakan.
Jangan sedih. Tetap bahagia.
Sekali lagi, untuk yang terakhir kali, Putra kembali memberiku alasan untuk merasakan senang dan sedih.
Untuk yang pertama kalinya hari itu, aku menangis. Dan terus menangis. Dengan Andra disampingku dan memelukku erat, aku pun menumpahkan semua emosi yang kurasakan, semua perasaan kehilangan yang menyergap diriku, agar pada akhirnya aku bisa menerima kepergian Putra.
**dedicated for my grandma. May you rest in peace in heaven, gramps..**
Sabtu, 25 September 2010
Memories of 27 August 2010
27 Agustus 2010
Aku datang ke sebuah acara musik di salah satu mall di daerah Sarinah, Jakarta. Dengan maksud yang sudah pasti ingin menonton band yang saat ini mulai naik daun namanya "Night To Remember". Perjalanan sempat terhalang hujan besar saat itu, namun aku tetap bertekad untuk kesana karena ketika itu hari terakhir aku dapat melihat mereka perform sebelum mereka ke Jember kota asal mereka.
Jam 5 sore aku berangkat menggunakan bus transjakarta. Sempat menunggu ± 1 jam di halte busway harmoni karena busway yang akan mengantarkanku ke tempat itu tak kunjung datang.
Ketika busway datang semua berebut untuk masuk dan aku juga berusaha untuk masuk.
Akhirnya aku masuk dan bus itu sampai juga di tempat tujuan. Waktu yang sangat sempit memaksaku tidak bisa lagi mencari kue tart untuk bassist Night To Remember yang pada tanggal 24 Agustus berulang tahun.
Ku putuskan membeli 1 lusin donat dan aku sengaja membeli rasa cokelat karena sebenarnya ka Waskee sudah ku tanya mau rasa apa bila aku membelikannya tart.
Mereka pun akhirnya memulai performance mereka dan beberapa kali mengerjai ka Waskee. Ka Dema, Ka Arbill, Ka Kiky dan Ka kandar pun mempersilahkan aku memberikan donat itu kepada ka Waskee. Jujur aku sudah meminta agar dapat memberikan langsung kepada ka Waskee dan 4 personil lainnya menyetujui usulan ku.
Awalnya ku pikir hanya maju ke atas panggung dan memberikan donat itu, ternyata ka Arbill berkata "suapin donatnya ke Waskee." Aku yakin saat itu wajah ku pasti sudah benar-benar merah seperti menggunakan blash on.
Aku menuruti permintaan ka Arbill dan ternyata saat menyuapi ka Waskee tanganku di dorong oleh ka Arbill. Muka ka Waskee kini terkena donat yang di lumuri gula halus. Sungguh aku tak tega tapi aku tak mau lebih lanjut lagi nantinya akan menjadi teman-temanku yang lain, aku memutuskan turun dari panggung.
Perform masih di lanjutkan dan setelah selesai aku mendekati ka Waskee dan berkata "Happy birthday ka." Ka Waskee memang tidak banyak bicara dan dia hanya mengatakan "makasih." Teman-teman yan lain pun mengucapkan happy birthday dan di lanjut sesi foto bareng.
Setiap mereka perform aku memang selalu meminta foto berdua dengan ka Waskee. Dan foto itu adalah foto terakhir sampai saat ini yang ku punya dengannya. Sampai saat ini aku belum bertemu dia lagi. Sebenarnya hari ini 24 Agustus 2010 mereka ada jadwal perform di salah satu acara musik, namun aku tak dapat bertemu mereka karena aku ada jam kuliah. Hanya foto itu yang dapat mengilangkan kegalauan ku saat aku mulai merindukan mereka.
-end-
Dialog Tua yang Tak Pernah Usang
Tema 24 September 2010
Random Photo! Ambil salah satu photo di dalam gallery ponsel kalian, jadikan latar belakang dari karya yang akan teman-teman tulis :)
Karena sebuah foto lebih bermakna dari sejuta kata-kata.
Mama, you're the queen of my heart
Jumat, 24 September 2010
Merah & Hijau
[Merah & Hijau] Oleh: [Wenny Sri Widowati] [http://klentingkuning.co.nr/] [Aku menatap pantulan wajahku di depan cermin. Tanganku dengan terampil mengikat rambutku menjadi satu pada puncak kepala. Harum apel segar belum hilang dari helai rambut yang bergerak ringan mengikuti gerak tubuhku. Jujur, keharuman ini cukup mengganggu. Aku perlu mempertimbangkan apakah akan memakai sampoo ini lebih lama lagi. Wangi sampoo yang tidak kunjung hilang membuatku perpikir bahwa kadungan parfum yang ada dalam pencuci rambut milikku terlalu kencang. Berlebihan? Tidak juga. Sama seperti perempuan pada umumnya, aku memerhatikan setiap detil bahan apapun yang dikonsumsi tubuhku, terutama rambut, mahkota kebanggaan setiap perempuan bukan? Aku cukup bangga dengan rambut hitamku yang tidak kalah cantik dengan model iklan di televisi. Ah tidak. Aku melepas ikatan itu, akan sakit jika memakai helm. "Kinan!" Suara ketukan pintu dan suara ibuku. Aku langsung membuka pintu kamar sembari menyambar sebuah tas berwarna coklat tua, warna yang sama dengan sweater rajut yang kupakai. Aku akan pergi sebentar, entah kemana. Cuaca malam ini sangat cerah, sayang bila hanya dinikmati dengan berdiam diri di dalam rumah. "Jangan pulang terlalu larut!", ujar ibuku dengan binar mata yang terlihat sudah mengantuk. Selalu itu, kalimat yang sama bila aku meninggalkan rumah selepas senja. Tetapi aku tidak pernah keberatan, itu bukti bahwa ibu masih memerhatikan kesehatan dan keselamatanku. Kenyataan ini selalu meninggalkan seberkas rasa sakit pada sisi terdalam batinku, setelah aku dengan sangat keterlaluan mengatakan hal itu setahun yang lalu. Aku tersenyum, mencium tangan ibuku. Ayah—dia sedang bermain tenis bersama teman-temannya. "Tidak lebih dari jam sepuluh malam, janji," Tidak perlu berjanji, karena aku tidak akan melanggar peraturan tidak tertulis mengenai jam malam, sejak kecil, selalu begitu. Usiaku sudah lebih dari cukup untuk melakukan apapun yang aku mau, tetapi aku tetaplah gadis kecil bagi ayah dan ibuku. "Tenang, bunda! Kalau lebih dari jam sepuluh, biar Kinan tidur di teras depan," Ah sial, aku langsung menginjak kaki gadis itu, seenaknya saja menyerobot ritual saat berpamitan pada ibu. Dia mengernyit kesakitan sambil tersenyum aneh. Sama seperti aku, dia mencium tangan ibuku, berpamitan dengan sangat sopan, lalu menyambar helm teropong yang dia letakkan di meja teras. Aku mengikuti langkahnya dan naik di atas jok sepeda motor yang—aku menyebutkan sepeda motor overweight, karena bentuknya lebih besar dari sepeda motor kebanyakan. Dia yang mengemudi, dan aku selalu menjadi penumpang. Biasanya, dia sengaja berpura-pura tidak menjaga keseimbangan, lalu sepeda motor itu seolah akan jatuh dan aku menjerit ketakutan, tetapi dia tidak akan melakukan hal itu di depan ibuku. Dari balik pelindung wajah helm yang aku pakai, aku bisa melihat ibu berdiri di teras depan melepas kepergianku. Senyum ibuku, senyum yang belum bisa sepenuhnya menerima kehadiran gadis yang duduk tepat di depanku. Aku bukan cenayang, tetapi aku bisa membaca wajah seseorang yang selalu bersamaku selama dua puluh lima tahun. Aku sudah terbiasa, yang bisa aku lakukan hanya membalas senyum itu, sebaik yang aku bisa. Tentu saja, aku tidak tega bila harus memeluk pinggangnya di depan ibuku. Setelah sepeda motor membawa kami lima ratus meter dari kediamanku, aku baru berani memeluk pinggangnya dengan erat. Dan inilah bagian yang paling aku suka, laju sepeda motor membuat indra penciumanku terbuai aroma musk miliknya, terus begitu hingga kami tiba di tempat tujuan. *** Alunan musik berirama tujuh puluhan menyebar keseluruh penjuru rumah makan. Tempat ini kesukaan kami berdua. Kami selalu memilih tempat duduk di luar, sebuah meja dan kursi kayu untuk dua orang. Selain alasan udaranya lebih segar, aku bisa melihat langit malam yang cerah tanpa bintang. Aku menyandarkan punggungku dan sedikit menggeliat setelah seorang pelayan mencatat menu pesanan kami. "Selamat ulang tahun!" ujar gadis yang duduk di depanku, memberi cengiran jahil yang selalu aku rindukan. Dia menggeser sebuah benda kecil di atas meja, ke arahku. Aku balas tersenyum dan memutar bola mataku sebelum melihat benda apa yang dia berikan. Aku balas menatap matanya yang selalu cerah, berbinar dan jahil, "Kalau kau lupa, ulang tahunku empat bulan yang lalu," "Kalau begitu selamat hari Sabtu!" Aku mengangkat alis kananku dengan curiga, sebuah ucapan selamat yang tidak lazim. Alasan yang aneh. Gadis itu—dia tahu aku tidak suka diberi sebuah benda jika tidak ada alasannya, dan alasan itu harus penting, ulang tahun atau kelulusan misalnya. Tetapi khusus untuk hari ini, karena langit malam begitu cerah, aku menerima hadiah itu dengan sebuah ucapan terima kasih. Kasihan juga jika aku menolaknya, lagipula terakhir kali dia memberiku sebuah benda, empat bulan yang lalu. Jepit rambut. Aku mendapat sebuah jepit rambut dengan bentuk kepala kucing yang sedang tersenyum. Sebuah tawa pelan keluar dari bibirku. Ini jepit rambut untuk anak-anak, aku tahu dari bentuk dan ukurannya. Tapi—aku tetap menerimanya, dan langsung aku pakai pada poniku yang sudah sangat panjang. Siapa yang peduli dengan bentuk jepit rambut ini, yang penting aku selamat, poniku tidak akan mengganggu saat aku harus menikmati sepiring spaghetti beberapa menit lagi. "Bagus tidak?" tanyaku. "Bagus," Kau bohong. Tapi aku suka. Tanpa kata-kata, aku tahu, dia memberiku jepit rambut ini karena seminggu yang lalu aku mengeluh. Aku mengeluh karena poniku sudah terlalu panjang. Dia mengusulkan agar aku segera ke salon dan mengguntingnya, tetapi aku tidak mau. Aku memang ingin memanjangkan poniku, agar wajahku terlihat dewasa, poni lempar membuat wajahku tampak seperti gadis kecil. Dia setuju dengan ideku, dan aku cukup lega. Sekalipun dia tidak setuju, aku akan tetap memanjangkan poniku. Makanan kami datang, meja-meja kosong disekitar kami mulai terisi oleh pasangan lain, dan beberapa tampak seperti gerombolan remaja dan keluarga. Aku mengalihkan perhatian ke arah meja kami yang sudah penuh dengan makanan. Dua porsi spaghetti, sepiring keripik kentang, secangkir coklat hangat milikku dan seperti yang selalu dia pesan, secangkir cappuccino. Kami menghabiskan malam dengan obrolan panjang. Obrolan yang terlihat seperti gadis-gadis pada umumnya, dua gadis yang bersahabat karib. Tetapi bila ada yang memerhatikan dengan seksama, dia beberapa kali membenarkan posisi jepit rambutku, menyentuh pipiku dengan belai halus dan sesekali mencubit hidungku. Aku beberapa kali mengusap tangannya, mengacak rambut sebahunya dan entah berapa kali kami saling memandang dengan pandangan 'kami sedang jatuh cinta'. Sulitkah menebak bahwa kami adalah sepasang kekasih? *** Tidak mudah bagi kami, terutama aku. Bila semua orang yang sedang jatuh cinta bisa berbagi dengan orang-orang disekeliling mereka, makan-makan, atau hal-hal seperti itu, kami tidak. Bukan karena kami terlalu pelit untuk berbagi kesenangan, karena tidak semua orang bisa menerima perbedaan kami dari pasangan lainnya. Bila kalian datang ke sebuah pesta dimana semua tamu memakai warna merah, dan kau datang dengan warna hijau, kau akan terlihat salah, apapun alasanmu. Begitu juga saat aku menyadari ada sesuatu yang berbeda dengan diriku, jauh sebelum hari ini. Terlalu salah, dan aku cukup malu untuk mengakuinya, bahkan pada orang tuaku sendiri, hingga setahun yang lalu, aku menceritakan semuanya. Tidak mudah. Ayahku murka, ibuku menangis berhari-hari hingga jatuh sakit, dan aku menerima semua kekecewaan itu dalam sakit secara batin dan emosi. Aku menyalahkan diriku, menyalahkan Tuhan, dan aku menyalahkan siapapun yang tidak bisa menerima apa yang terjadi pada diriku. Aku menerima semua makian ayah, kekecewaan ibu, dan segala proses penyembuhan agar aku bisa kembali normal. Aku mengalami tekanan mental yang cukup berat, hingga aku dan kedua orang tuaku tiba pada titik penerimaan, bahwa inilah aku. Saat ini, setelah setahun berlalu, aku tidak lagi menyalahkan diriku. Aku memaafkan diriku terlebih dahulu sebelum memaafkan mereka yang selalu memberi pandangan sinis padaku dan kedua orang tuaku. Aku selalu merasa sangat bersalah karena orang tuaku menanggung perkataan orang lain atas diriku. Terkadang mereka terlalu jahat hingga memberiku label manusia terkutuk dan hujatan bernada keras lainnya. Jujur, aku sakit hati bila ada yang menganggap aku terkutuk, tidak terpikirkah jika kalian atau orang yang kalian sayangi berada dalam posisi yang sama seperti aku? Ah sudahlah, aku hanya perlu diterima dan menerima. Tidak perlu menyalahkan siapapun, karena sebenarnya tidak ada yang salah. Apa yang salah bila kau datang ke sebuah pesta dengan gaun berwarna hijau jika hanya gaun itu yang kau punya? Terlepas bahwa tamu yang lain memakai warna merah, kalian tetap memenuhi undangan dan memakai gaun, hanya warnanya saja yang berbeda. Pendewasaan diri, terlepas dari memakai poni atau tidak, aku sudah bisa menerima apa yang seharusnya aku terima. Menyalahkan tidak menyelesaikan apapun. Aku sempat berpikir bahwa pertalian darah antara aku dan orang tuaku akan putus saat aku berkata jujur pada mereka. Mereka orang tua yang baik, penerimaan mereka sudah lebih dari cukup, lebih dari yang aku bayangkan. Aku belajar bahwa sesuatu yang salah bagi banyak orang, tidak selalu begitu pada kenyataannya. Dan jika ada yang bertanya, "Seandainya dunia dibuat ulang sekali lagi, kamu akan memilih terlahir sebagai siapa?" Aku akan menjawab dengan lengkung senyum, "Sebagai aku," Tidak ada yang perlu disesali. Apa yang salah dengan diriku? Aku tetap milik-Nya, dan percayalah, aku akan terus menyayangi-Nya, karena inilah warna gaun yang Dia berikan padaku. Suatu kebanggaan karena aku telah menjadi tamu-Nya dalam sebuah wadah pesta besar bernama Dunia. Tuhan, aku sudah memaafkanmu, semoga Kau juga memaafkan aku yang pernah menyalahkan-Mu.] |