Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Minggu, 26 September 2010

tema: Kehilangan - Judul: Bintang Untukmu

Judul: Bintang Untukmu

Oleh: Andrea Kusuma
twitter: @deakpm

 

Ia terlihat begitu damai hari itu dengan senyum kecil terlukis di wajahnya. Matanya yang terpejam, membuatnya terlihat seperti sedang mengalami sebuah mimpi yang indah. Mimpi dimana segala sesuatunya berjalan dengan baik dan seperti seharusnya. Mimpi yang sangat berbeda dengan kenyataan yang sedang kualami, dimana seluruh kepingan hidupku hancur berantakan dan aku berharap untuk bisa segera terbangun dari mimpi buruk yang telah merenggut semua yang berharga bagiku…

 

********

Semua ini dimulai pada tanggal 18 Februari 2010 lalu. Pada awalnya hari itu berjalan seperti hari-hari lain yang dimulai dengan rutinitas sama. Bangun pagi, menunggu mama menyeret Abi, kakakku, untuk bangun pagi, dan berangkat ke sekolah bersama Abi dan mobil sedan hitamnya. Hanya satu hal yang berbeda dari biasanya. Tidak ada Putra, pacarku, yang menunggu di lapangan basket seperti biasanya.

Sejak seminggu yang lalu, ia dan keluarganya pergi ke Menado untuk menjenguk neneknya yang tinggal disana dan sedang sakit. Rencananya ia dan keluarga akan balik kembali ke Jakarta dalam empat hari lagi.

Akan tetapi, empat hari lagi adalah hari dimana aku dan tim basket putri sekolah kami akan mengikuti kompetisi bola basket se-Jakarta. Dua minggu yang lalu ia sudah berjanji untuk membantu melatih kemampuan basketku, sehingga aku pun memutuskan meneleponnya kemarin dan memintanya pulang tiga hari lebih cepat dari keluarganya yang lain. Apalagi saat ini keadaan neneknya pun sudah sangat membaik. Sebuah keputusan yang terlihat sederhana pada awalnya, tetapi mempunyai konsekuensi yang sangat besar di akhir. Konsekuensi yang menghancurkan perasaan orang-orang yang kusayang dan yang membuatku yakin bahwa aku tidak akan pernah bahagia lagi. Bagaimana bisa aku bahagia jika aku kehilangan separuh dari diriku?

 

********

20 Februari 2010.

Karena sangat lelah setelah berlatih basket sejak dua hari terakhir ini, aku pun tertidur lelap sepanjang siang dan baru terbangun pada pukul empat sore. Dengan bergegas aku pun segera mandi, mengganti baju, dan kemudian naik kendaraan umum menuju rumah Putra. Rencananya kemarin ia balik ke Jakarta dengan penerbangan paling awal. Sehingga semestinya sejak kemarin siang ia telah sampai rumah dan telah sempat beristirahat seharian penuh. Dengan langkah ringan kuayunkan kakiku menuju rumah besar bergaya minimalis dengan pagar cokelat yang telah begitu kukenal sekarang.

Tetapi secara mendadak langkah kakiku terhenti saat melihat begitu banyak orang berkumpul di depan rumahnya. Beberapa saudara-saudara Putra yang telah kukenal tampak diantara orang-orang itu. Mereka tampak sangat sibuk dan berjalan kesana kemari, walaupun ada juga beberapa yang hanya terduduk lemas di kursi-kursi lipat yang banyak diletakkan di garasi dan jalanan depan rumah Putra. Diluar perbedaan aktivitas yang mereka lakukan, mereka menunjukkan satu raut wajah yang sama. Kesedihan dan sedikit rasa tidak percaya. Seakan apapun yang terjadi saat itu sangat sukar untuk dipercaya walaupun mereka sudah menyaksikannya sendiri.

Perasaan dingin yang mencekam mulai menyelimuti hatiku. Firasatku mengatakan bahwa ada sesuatu yang sangat salah terjadi disini. Sesuatu yang seharusnya tidak terjadi. Dan hal ini melibatkan orang-orang yang tinggal di rumah besar berpagar cokelat itu. Orang-orang yang sangat kusayangi.

Dengan kalut aku mulai berlari kedalam rumah, mencari wajah-wajah yang kukenal untuk memastikan bahwa tidak ada apapun yang terjadi pada mereka. Wajah yang pertama kulihat adalah Andra, adik Putra, Tante Terry dan Om Hendra, orangtua Putra. Dengan menghela napas lega, aku pun mengarahkan pandanganku ke orang-orang disekitar keluarga Putra, yakin akan menemukan Putra didekat keluarganya.

Sebuah kasur panjang yang dibentangkan ditengah ruang keluarga rumah Putra adalah hal pertama yang kulihat. Belum sempat melihat benda apa yang ada diatas kasur, mataku pun bertemu dengan mata Tante Terry. Dalam sekejap, Tante Terry langsung berlari kearahku dengan air mata yang berlinang dan merengkuhku kedalam pelukannya. Di luar kemauanku, badanku berguncang-guncang seirama dengan isakan yang keluar dari bibirnya. Di saat itulah, pandanganku yang tidak lagi terhalang oleh orang-orang dapat melihat apa, atau siapa, yang berada diatas kasur itu.

Tidak.

Tidak.

Ini tidak mungkin.

Aku merasa kakiku mulai gemetar dan goyah saat aku melihat siapa yang berada diatas kasur itu. Terbaring tak bergerak dengan raut muka yang terlihat damai, Putra terlihat seakan sedang tertidur pulas dengan mimpi yang indah. Hanya wajahnya yang pucat dan dadanya yang tidak bergerak tanpa nafasnya saja, yang membuatku yakin bahwa ia telah pergi.

Pergi. Putra telah tiada.

Putraku telah tiada.

Seiring dengan meresapnya kenyataan itu, aku pun ambruk. Hanya rengkuhan yang kuat dari Tante Terry yang mencegahku untuk langsung menghantam lantai pada saat kakiku berhenti menjadi penyangga. Bersama dengan Tante Terry, kami berdua pun terduduk di lantai dengan Tante Terry yang masih terus terisak di pundakku, dan aku yang terus menatap kearah Putra dengan pandangan yang kosong. Tidak ada air mata yang menetes dari mataku, hanya ada kekosongan di dadaku. Aku tidak merasakan apapun.

Bagaimana bisa aku merasakan sesuatu saat seseorang yang menjadi alasan bagiku untuk merasakan senang dan sedih telah diambil dariku?

********

 

Proses pemakaman Putra terus berjalan. Seiring dengan kesibukan untuk menyiapkan proses pemakaman yang terjadi disekitarku, aku pun menemukan bahwa ikut berpartisipasi dalam kesibukan itu membantu mengurangi rasa hampa di diriku yang semakin lama semakin menarikku kedalamnya. Disaat kami sedang merapikan kursi-kursi untuk tamu yang datang melayat, Andra, adik dari Putra pun bercerita bahwa pesawat Boeing 747 yang ditumpangi Putra jatuh pada saat akan mendarat akibat kerusakan mesin dan semua orang yang berada di pesawat itu dipastikan tewas.

Putra yang berada di bagian tengah pesawat menderita pendarahan dalam akibat terlempar keluar dari pesawat saat pesawat itu terbelah dua ketika jatuh, dan meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit. Mendengar berita kecelakaan pesawat itu di televisi saat masih di Menado, Andra sekeluarga pun langsung pulang untuk memastikan. Sedangkan aku yang sejak kemarin berlatih basket seharian penuh untuk kompetisi tentu saja tidak pernah menyalakan televisi untuk mendengarkan berita.

Bagaimana jika seandainya aku tidak meminta Putra pulang lebih cepat untuk membantuku berlatih?

Akankah dia masih disini?

Aku pun menyuarakan pemikiranku kepada Andra dan bersiap-siap untuk menerima kemarahan dan kebencian darinya karena telah menjadi penyebab dari meninggalnya Putra. Karena itulah aku sangat terkejut saat aku justru mendapati ia tersenyum tulus kepadaku dengan air mata disudut matanya.

"Kata ayah, kematian adalah hal yang pasti dan hanya menawarkan dua pilihan kepada penerimanya dan juga orang yang ditinggalkan. Apakah kita mau menerimanya dengan tulus dan ikhlas atau kita mau menerimanya dengan kemarahan dan rasa tidak terima kepada Tuhan? Apapun penyebabnya tidak akan membuat perbedaan, Kak Andien. Ini adalah waktu buat Kak Putra untuk pergi. Hanya satu hal yang perlu kita ingat dari kejadian ini, bahwa diluar apapun yang terjadi, Kak Putra terlihat damai dan ia pergi dengan mengetahui bahwa orang-orang yang ia tinggalkan akan selalu mencintai, mendoakan, dan merelakannya pergi dengan ikhlas sehingga ia bisa tidur dengan tenang disana."

Aku termangu mendengar ucapan itu, dan dengan perlahan secercah kehangatan mulai merasuki hatiku lagi. Mengisinya dengan perasaan saat ucapan Andra membuatku mulai bisa menerima kenyataan yang sangat ganjil ini. Kenyataan yang terus membuatku bertanya-tanya, kenapa ia harus pergi sekarang, disaat masih ada begitu banyak hal di dunia ini yang bisa ia raih?

Sejenak, Andra terlihat merogoh kantung bajunya. Kemudian ia pun menjulurkan secarik kertas yang terlipat kearahku. Secarik kertas yang terlihat kotor dan sedikit lecek serta bernoda. Aku pun membuka lipatan kertas itu dan membaca tulisan yang ada diatasnya.


Bersinarlah.

Jangan sedih. Tetap bahagia.

Know that I Love you...

Always have, and always will.


"Ini diberikan oleh salah seorang petugas paramedis saat kami datang menjemput kakak di rumah sakit. Menurutnya, saat di ambulans kakak terus bersikeras untuk menulis ini, bahkan disaat mereka memaksa kakak untuk jangan banyak bergerak. Kakak terus menerus mengatakan bahwa, 'Andien harus tahu' saat ia meminta kakak untuk berhenti menulis." Andra menjelaskan dengan suara serak.

Suara Andra hilang dan timbul di telingaku saat aku membaca tulisan yang ada di kertas itu. Pandanganku mulai memburam saat air mata mulai menghalangi penglihatanku, tetapi aku tidak bisa berhenti untuk terus membaca kata per kata, mengeja huruf per huruf, yang ada di kertas lusuh itu. Waktu terasa berjalan dengan sangat lambat saat aku berdiri di tempat itu, mencoba mengerti setiap kata yang dituliskan oleh Putra untukku. Kata-kata terakhir Putra untukku.

Jangan sedih. Tetap bahagia…

Air mata pun akhirnya membanjiri wajahku saat gelombang perasaan mulai memasuki diri, mendorong keluar kehampaan yang sebelumnya kurasakan.

Jangan sedih. Tetap bahagia.

Sekali lagi, untuk yang terakhir kali, Putra kembali memberiku alasan untuk merasakan senang dan sedih.

Untuk yang pertama kalinya hari itu, aku menangis. Dan terus menangis. Dengan Andra disampingku dan memelukku erat, aku pun menumpahkan semua emosi yang kurasakan, semua perasaan kehilangan yang menyergap diriku, agar pada akhirnya aku bisa menerima kepergian Putra.

 

**dedicated for my grandma. May you rest in peace in heaven, gramps..**

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!