Oleh: Jason Abd
www.20helpings.blogspot.com
Dear Nenek,
Aku sedang dalam perjalanan menuju rumahmu. Rumahmu, bukan rumah anak-anakmu karena engkau bersikeras tinggal sendirian. Jadi, aku ke sana bersama orangtuaku.
Sudah berapa tahun kita tidak bertemu, Nek? Apa engkau masih mengingat kali terakhir kita bertatap muka? Aku masih, entah dirimu. Katanya orang tua semakin lama akan semakin pikun. Mudah lupa. Bahkan nama cucu sendiri bisa lupa. Oh, tidak... kuharap kamu tidak begitu. Jangan sampai Alzheimer menggerogotimu. Kamu masih suka mengkonsumsi daun pegagan itu kan?
Engkau hebat saat menjelaskan tentang daun yang bagi banyak orang hanyalah rumput liar tak berguna. Centella asiatica itulah nama Latin bagi tumbuhan ini. Ada banyak cara penyebutan dari berbagai daerah di Indonesia. Orang Ujung Pandang bilang ini Pegaga; bagi orang Sunda ini dipanggil Antanan gede atau Antanan rambat; uniknya orang Madura sebut ini Kos tekosan, dan orang Halmahera bilang kalau tumbuhan ini diberi nama Kori-kori.
Apa pun namanya, seperti Shakespears berkata perihal mawar, tumbuhan ini ajaib. Dia punya kandungan gizi yang memberimu kekuatan ingatan yang lebih baik--daripada tidak mengonsumsinya. Tentu saja.
Jadi, aku harap engkau tidak bakal lupa, Nek. jangan sampai lupa namaku: Renjani. Persis dengan nama sebuah gunung di Lombok. Gunung itu masih aktif, katamu, seperti diriku yang masih aktif dan kadangkala siap meledak jika frustasi.
"Nenekku yang manis."
Itu yang engkau sendiri katakan pada dirimu. Kalau menurutku engkau tidak terlalu manis. Nenek sudah tua dan keriput, manis nenek itu hanya manipulasi dari bantuan make up, operasi sana-sini dan entahlah apa yang telah engkau tanam di tubuhmu itu. Engkau selalu berusaha menjadikan dirimu selayaknya putri kerajaan. Engkau menolak jumlah kalkulasi usia yang memaksa sel-selmu tidak bisa lagi mencipta generasi baru kulit yang sehalus sutra.
Nek,engkau suka pakai berbagai macam perhiasan dari emas. Tak ada yang imitasi karena katamu itu akan membuat kulitmu gatal. Engkau suka melihat emas-emas itu bersinar di bawah mentari. Engkau selalu pergi keluar dengan benda kesayanganmu itu. Tahu kah dirimu kalau benda itu bisa memancing orang berbuat jahat padamu?
Itulah yang terjadi. Hal yang tidak bisa terhindarkan karena itulah kehendak Tuhan. Kini, hari ke 20 di bulan Ramadhan, orangtuaku menerima kabar tentangmu. Kabar yang membuat anakmu, ayahku, menangis terisak-isak bagaikan bocah. Ibuku juga ikut menangis, walaupun aku tak yakin dia benar-benar kasihan padamu. Engkau dan ibuku selalu bertengkar, kan? Tak pernah ada kata kasih sayang antar kalian. Selalu saja memberengut jika bertemu. Oleh karena itu, aku jarang ke rumahmu Nek. Ibuku saja malas mendengar namamu.
Namun... kamu harus di maafkan. Katanya biar kamu tidak tersendat di perjalanan. Kulihat ibuku setulus-tulusnya menangis karena tak sempat meminta ampunanmu, sebaliknya dia sudah memaafkanmu. Seadngkan ayah menyesal telah jarang mengecek keadaanmu.
Nenekku yang centil, engkau dulu suka pakai sepatu kets, biar kelihatan muda katamu. Huh, aku tidak melihat muda itu dari sepatu atau baju yang dipakai, wajah berbedak tebal, atau gemerincing emas yang bersinar. Kemudaan itu bukan kewajiban, dia hanya salah satu proses dalam kehidupan ini. Engkau telah mencicipinya, kenapa minta tambah? Harganya mahal lho... oh, iya. Aku ingat kamu orang yang sangat kaya dan operasi-operasi itu buktinya. Kamu sudah membayarnya.
Saking kayanya, kamu jadi target kejahatan menjelang lebaran ini. Saat orang-orang yang berpikiran pendek hanya bisa melakukan tindakan yang bisa membawa mereka ke meja hijau. Mereka, terpaksa atau tidak, butuh membelikan baju lebaran untuk anak-anak mereka yang cengeng dan selalu mengeluarkan ingus itu. Mereka juga perlu mengecat rumah kayu mereka, atau membelikan kue-kue mentega begula buatan yang istri merek malas membuat sendiri karena hanya memakai kompor usang.
Sepanjang perjalan ke rumahmu, aku tak tahu akan melakukan apa sesampai di tujuan, Nek. Aku memang mencoba mengingat lagi hafalan yang dimulai dengan "Allahumma tahrimna ajrahu..." untuk rakaat keempat salat khusus untukmu. Aku agak lupa dan tidak ada persiapan. Buku Tuntunan Shalat Lengkap-ku hilang, mungkin aku lupa ambil setelah pelajaran kelas XI dulu. Atau dipinjam teman? Entahlah.
Jadi, aku akan ke rumahmu, Nek. Keluarga yang lain katanya sudah di sana. Aku sudah siap dengan pertengkaran tentang apa yang telah engkau kumpulkan semasa hidupmu.
Yang pasti, aku berjanji akan selalu mengatakan bahwa engkau adalah wanita yang manis. Engkau selalu muda dan bersinar.
Sudahlah, aku tak tahu harus menulis apa lagi.
Selamat jalan, Nek.
Di perjalanan mudik penuh air mata, 1431 H
NB: ini murni fiksi.
Blog untuk memajang hasil karya partisipan #WritingSession yang diadakan setiap jam 9 malam di @writingsession. Karena tidak ada yang bisa menghentikan kita untuk berkarya, bahkan waktu dan tempat.
Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
HEEEII...
BalasHapusaduh tulisanmu cantik sekali :)
aku suka, terima kasih, ya.
Hmm kelihatannya, saat seseorang sudah tidak bisa dilihat lagi rupanya, barulah bisa dirasa tidak enaknya, ya. Si Ibu yang suka bertengkar dengan Nenek sampai menangis saat beliau meninggal..
Terima kasih komentarnya, ya.
BalasHapus