Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Jumat, 17 September 2010

Meraih Kupu-Kupu

Oleh: @philaluphia
www.kerlapkerlipsore.blogspot.com

Angin membelai-belai wajahku. Membuatku mengantuk. Aku terpejam tapi tak biarkan diriku terlelap. Suasana ini terlalu nyaman. Angin yang membelai tubuh. Menerbangkan rambut dan gaun terusanku ke segala arah. Membuat rumpun-rumpun ilalang di sekelilingku terjatuh di sekitarku, menggelitik.

Tuhan, ini terlalu nyaman. Sungguh terlalu nyaman.

Tidak, angin-angin itu tidak cukup kuat untuk membuatku terhempas merubuhkan rumpun-rumpun ilalang. Tapi aku tetap terhempas ke belakang. Dan rumpun-rumpun ilalang itupun patah batangnya, jatuh tertimpa tubuhku. Mencipta lubang di tengah hutan ilalang yang memagariku.

Mataku masih terpejam. Tapi aku tak terlelap. Aku biarkan bulir air mata -yang mengalir dari sela kelopak mata yang terpejam- mebuatku terjaga. Sekali lagi angin membelai wajahku. Kali ini ia membuatku menggigil, menyentuh jejak basah di pipi. Dan memaksaku mengenang masa lagi dan lagi.

Aku kecil, bulat dan sangat gendut.
Lebih tinggi dengan rok polkadot, dikucir dua.
Lebih tinggi berseragam merah putih menggenggam lollipop strawberry yang sampai sekarang masih kusuka.
Lebih tinggi, agak berjerawat berseragam putih biru dengan rambut dikucir kuda sedang memandangnya.

Memori itu tajam menekan ulu hati, memaksaku membelalak. Sesaat aku lupa ada dimana. Namun semilir dan gemulai lembut ujung ilalang mengingatkanku bahwa aku sedang berbaring menatap langit di hutan ilalang.

Sebuah sangtuari. Tempat berbagi rahasia tanpa harus banyak berkata.

Jari-jari tanganku tergerak, impuls menyentuh jejak basah di sepanjang wajah. Iri kepada angin aku ikut membelainya. Berharap sentuhan itu dapat meredakan luka.
Rasa gatal yang kering menyerang tenggorokanku. Tak lagi membuatku mengatupkan mulut. Sesaat kemudian aku ingin berteriak. Meluapkan rasa perih. Tapi sekali lagi tak ada suara yang keluar selain isakan yang terdengar sangat memilukan.

Awalnya aku tak menyangka itu suaraku. Tapi jejak basah di sepanjang wajah menamparku untuk kembali menatap realita. Bahwa aku jatuh, dan terpuruk dalam kesedihan. Dalam lubang di dasar luka dimana belum ada setitikpun cahaya yang menerobos masuk untuk menuntuku keluar.

Itu metafora.
Tentu.

Mataku masih terbuka dan dengan jelas aku bisa merasakan terangnya sore mengelilingi. Cukup jelas untuk dapat melihat sebuah bentuk kecil melayang tepat di atas wajahku. Dengan sombongnya ia memamerkan pola-pola di sepanjang sayapnya yang berwarna. Dia mengepak sempurna. Seolah hembusan angin ini tak sekedar membelainya tapi juga memberinya kekuatan untuk hidup.

Hidup.
Menantang.
Apapun.
Apapun.

Terlalu lemah, aku pejamkan lagi mataku. Tidak terlelap, pasti. Cukup waras untuk berpikir bahwa kesadaran akan menguak kembali semuanya, memunculkan ke permukaan. Biarlah. Kalau itu bisa lebih cepat membuatnya hanyut.
Hei. Kadang kita harus merasakan dulu tajamnya rasa perih sebelum perih itu benar-benar hilang, kan?

Dia.

Dia.
Berjalan melewati hujan, membiarkan telapak tangannya yang tak seberapa lebar itu memayunginya. Mungkin dia pikir itu hanya gerimis yang tak bakal menyakitinya lebih dari sekedar demam.
Berjalan ke arahku dengan pakaian lari paginya, menatap seragamku lalu beralih ke jam yang melingkar di lengannya. Mungkin dia bingung kenapa sesiang itu aku masih berkeliaran.
Berjalan mantap menenteng tumpukan buku.
Tertawa.

Sempurna.
Dari balik jendela dia terlihat sempurna.

Mungkin dia pikir dia hanya sendiri tapi tanpa dia sadari aku setia mengawasi. Tanpa suara.
Mataku kembali terbuka. Aliran baru mengalir turun di sisi tulang mata, menuju telinga sebelum tenggelam di rimbunnya helai rambutku.

Benda terbang itu masih mengepak dengan sombongnya di atasku. Kontras terlihat dengan latar biru langit awan putih dan semburat sinar matahari sore yang menyilaukan namun nyaman. Mengejekku yang mungkin dari tempat dia berada terlihat memilukan. Berbaring beralas ilalang patah. Sebuah dengusan meluncur dari bibir dan lubang hidungku. Dia tidak tahu. Benda terbang itu juga tidak tahu.

Video-video yang terputar sempurna itu mulai berteriak-teriak kepalaku. Masing-masing bertanya mengapa? Kenapa? Bagaimana bisa?

Kepalaku bergerak lemah. Ke kanan. Lalu ke kiri. Lagi, beberapa kali.
Aku tidak tahu. Sungguh. Juga tak mengerti.

Benda terbang itu mulai terbang menjauh dari arahku. Aku terisak lebih dalam. Tanpa sadar salah satu tanganku terangkat ke arahnya. Berteriak jangan pergi. Kumohon jangan pergi. Kau satu-satunya bentuk nyata yang memiliki cahaya hidup disini.
Ilalang ini memagari kesedihanku. Walau kupatahkan ia tetap bersemayam.
Matahari sore cukup terang, tapi tak cukup panas untuk membakar semua.
Sementara sepertinya walau angin-angin ini tanpa henti membelaiku, aku tetap tak mampu menghirup cukup udara.

Jangan pergi. Tanganku terulur makin tinggi. Mencoba menggapainya.
Namun ia tetap mengepak dengan sombong. Mengejekku.

Lagi.
Lagi.

Aku terisak. Terpejam lagi, dan melihatnya pergi. Selangkah lalu selangkah lagi. Apa yang selama ini kukejar, yang mereka sebut kesejajaran, membalikkan tubuh menjauh. Seperti dirinya. Sampai akhirnya tatapanku terpaku pada genggamannya. Yang mengisi genggaman lain. Seseorang yang lain. Tersenyum padanya dan membawanya pergi.
Benar-benar pergi.

Nafasku menghentak. Aku terisak dan mataku kembali menatap langit.
Aliran baru menderas turun ke rimbunnya rambut yang terkulai di atas ilalang patah.

Tanganku masih terulur, tapi jari-jarinya kini saling menggenggam.

Aku tak lagi terpejam saat ada visualisasi lain menghampiri.
Tawa. Tawa. Bunyi klik khas yang terdengar saat gambar selesai diambil. Tawa lagi. Tangan-tangan lembut merangkul bahu. Tangisan-tangisan lain. Isakan lain. Belaian nyaman di punggung. Bisikan-bisikan dari suara-suara. Benar bukan hanya satu suara. Dan bukan suaranya. Selalu berbisik hingga seolah telinga ini telah merekamnya. Mereka bilang aku akan baik-baik saja. Sakit akan tetap ada tapi aku juga akan tetap baik-baik saja. Mereka bilang mereka ada. Suara-suara itu ada. Belaian lembut di punggung tetap ada. Keberadaan mereka tetap ada. Dan aku tak perlu meminta.

Tanganku masih terulur. Jari-jarinya masih tergenggam.

Sampai kurasakan sesuatu menyentuhnya. Cengkeraman lembut kaki-kaki yang bahkan hampir tak terlihat mata. Deretan pola di bentangan sayap yang terkepak. Kini jelas terlihat ada bentuk hitam cantik di atas hamparan biru kuning cemerlang.

Ia tak lagi mengejekku. Pun mengasihaniku. Seperti angin, dia ikut membelaiku. Sedikit demi sedikit mengangkat perih. Dan berkatnya belaian angin yang lembut menghampiri wajahku lebih hidup dari sebelumnya.

Cahaya makin temaram. Matahari sudah lelah.
Aku juga lelah.

Air mata ini belum kering benar.
Luka ini belum kering benar.

Benda itu mengangkat dirinya dari ujung jariku. Kembali mengepak. Jemariku membuka genggamannya, mengulurkan diri, mencegahnya terbang lebih jauh.
Kumohon, pintaku.

Dia tetap terbang, tapi kali ini mengelilingiku.

Kupu-kupu itu mengelilingiku.

Dia tak lagi mengejekku.
Dia mengajakku meraihnya.
Hidupku.
Tantanganku.
Walau tanpa sosok itu lagi.
Mengajakku kembali pulang.
Memberikan cinta sebuah kesempatan.



untuk rascal flatts.
untuk kalqun.
untuk sosok yang baru kutemukan kembali.
untuk kupu-kupu.. milikku. aku harap itu kamu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!