Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Jumat, 24 September 2010

Merah & Hijau

[Merah & Hijau]
Oleh: [Wenny Sri Widowati]
[http://klentingkuning.co.nr/]

[Aku menatap pantulan wajahku di depan cermin. Tanganku dengan terampil mengikat rambutku menjadi satu pada puncak kepala. Harum apel segar belum hilang dari helai rambut yang bergerak ringan mengikuti gerak tubuhku. Jujur, keharuman ini cukup mengganggu. Aku perlu mempertimbangkan apakah akan memakai sampoo ini lebih lama lagi. Wangi sampoo yang tidak kunjung hilang membuatku perpikir bahwa kadungan parfum yang ada dalam pencuci rambut milikku terlalu kencang.

Berlebihan? Tidak juga. Sama seperti perempuan pada umumnya, aku memerhatikan setiap detil bahan apapun yang dikonsumsi tubuhku, terutama rambut, mahkota kebanggaan setiap perempuan bukan? Aku cukup bangga dengan rambut hitamku yang tidak kalah cantik dengan model iklan di televisi.

Ah tidak. Aku melepas ikatan itu, akan sakit jika memakai helm.

"Kinan!"

Suara ketukan pintu dan suara ibuku. Aku langsung membuka pintu kamar sembari menyambar sebuah tas berwarna coklat tua, warna yang sama dengan sweater rajut yang kupakai. Aku akan pergi sebentar, entah kemana. Cuaca malam ini sangat cerah, sayang bila hanya dinikmati dengan berdiam diri di dalam rumah.

"Jangan pulang terlalu larut!", ujar ibuku dengan binar mata yang terlihat sudah mengantuk.

Selalu itu, kalimat yang sama bila aku meninggalkan rumah selepas senja. Tetapi aku tidak pernah keberatan, itu bukti bahwa ibu masih memerhatikan kesehatan dan keselamatanku. Kenyataan ini selalu meninggalkan seberkas rasa sakit pada sisi terdalam batinku, setelah aku dengan sangat keterlaluan mengatakan hal itu setahun yang lalu.

Aku tersenyum, mencium tangan ibuku. Ayah—dia sedang bermain tenis bersama teman-temannya. "Tidak lebih dari jam sepuluh malam, janji,"

Tidak perlu berjanji, karena aku tidak akan melanggar peraturan tidak tertulis mengenai jam malam, sejak kecil, selalu begitu. Usiaku sudah lebih dari cukup untuk melakukan apapun yang aku mau, tetapi aku tetaplah gadis kecil bagi ayah dan ibuku.

"Tenang, bunda! Kalau lebih dari jam sepuluh, biar Kinan tidur di teras depan,"

Ah sial, aku langsung menginjak kaki gadis itu, seenaknya saja menyerobot ritual saat berpamitan pada ibu. Dia mengernyit kesakitan sambil tersenyum aneh. Sama seperti aku, dia mencium tangan ibuku, berpamitan dengan sangat sopan, lalu menyambar helm teropong yang dia letakkan di meja teras.

Aku mengikuti langkahnya dan naik di atas jok sepeda motor yang—aku menyebutkan sepeda motor overweight, karena bentuknya lebih besar dari sepeda motor kebanyakan. Dia yang mengemudi, dan aku selalu menjadi penumpang. Biasanya, dia sengaja berpura-pura tidak menjaga keseimbangan, lalu sepeda motor itu seolah akan jatuh dan aku menjerit ketakutan, tetapi dia tidak akan melakukan hal itu di depan ibuku.

Dari balik pelindung wajah helm yang aku pakai, aku bisa melihat ibu berdiri di teras depan melepas kepergianku. Senyum ibuku, senyum yang belum bisa sepenuhnya menerima kehadiran gadis yang duduk tepat di depanku. Aku bukan cenayang, tetapi aku bisa membaca wajah seseorang yang selalu bersamaku selama dua puluh lima tahun. Aku sudah terbiasa, yang bisa aku lakukan hanya membalas senyum itu, sebaik yang aku bisa.

Tentu saja, aku tidak tega bila harus memeluk pinggangnya di depan ibuku. Setelah sepeda motor membawa kami lima ratus meter dari kediamanku, aku baru berani memeluk pinggangnya dengan erat. Dan inilah bagian yang paling aku suka, laju sepeda motor membuat indra penciumanku terbuai aroma musk miliknya, terus begitu hingga kami tiba di tempat tujuan.

***

Alunan musik berirama tujuh puluhan menyebar keseluruh penjuru rumah makan. Tempat ini kesukaan kami berdua. Kami selalu memilih tempat duduk di luar, sebuah meja dan kursi kayu untuk dua orang. Selain alasan udaranya lebih segar, aku bisa melihat langit malam yang cerah tanpa bintang.

Aku menyandarkan punggungku dan sedikit menggeliat setelah seorang pelayan mencatat menu pesanan kami.

"Selamat ulang tahun!" ujar gadis yang duduk di depanku, memberi cengiran jahil yang selalu aku rindukan. Dia menggeser sebuah benda kecil di atas meja, ke arahku.

Aku balas tersenyum dan memutar bola mataku sebelum melihat benda apa yang dia berikan. Aku balas menatap matanya yang selalu cerah, berbinar dan jahil, "Kalau kau lupa, ulang tahunku empat bulan yang lalu,"

"Kalau begitu selamat hari Sabtu!"

Aku mengangkat alis kananku dengan curiga, sebuah ucapan selamat yang tidak lazim. Alasan yang aneh. Gadis itu—dia tahu aku tidak suka diberi sebuah benda jika tidak ada alasannya, dan alasan itu harus penting, ulang tahun atau kelulusan misalnya. Tetapi khusus untuk hari ini, karena langit malam begitu cerah, aku menerima hadiah itu dengan sebuah ucapan terima kasih. Kasihan juga jika aku menolaknya, lagipula terakhir kali dia memberiku sebuah benda, empat bulan yang lalu.

Jepit rambut. Aku mendapat sebuah jepit rambut dengan bentuk kepala kucing yang sedang tersenyum. Sebuah tawa pelan keluar dari bibirku. Ini jepit rambut untuk anak-anak, aku tahu dari bentuk dan ukurannya. Tapi—aku tetap menerimanya, dan langsung aku pakai pada poniku yang sudah sangat panjang. Siapa yang peduli dengan bentuk jepit rambut ini, yang penting aku selamat, poniku tidak akan mengganggu saat aku harus menikmati sepiring spaghetti beberapa menit lagi.

"Bagus tidak?" tanyaku.

"Bagus,"

Kau bohong. Tapi aku suka.

Tanpa kata-kata, aku tahu, dia memberiku jepit rambut ini karena seminggu yang lalu aku mengeluh. Aku mengeluh karena poniku sudah terlalu panjang. Dia mengusulkan agar aku segera ke salon dan mengguntingnya, tetapi aku tidak mau. Aku memang ingin memanjangkan poniku, agar wajahku terlihat dewasa, poni lempar membuat wajahku tampak seperti gadis kecil. Dia setuju dengan ideku, dan aku cukup lega. Sekalipun dia tidak setuju, aku akan tetap memanjangkan poniku.

Makanan kami datang, meja-meja kosong disekitar kami mulai terisi oleh pasangan lain, dan beberapa tampak seperti gerombolan remaja dan keluarga. Aku mengalihkan perhatian ke arah meja kami yang sudah penuh dengan makanan. Dua porsi spaghetti, sepiring keripik kentang, secangkir coklat hangat milikku dan seperti yang selalu dia pesan, secangkir cappuccino.

Kami menghabiskan malam dengan obrolan panjang. Obrolan yang terlihat seperti gadis-gadis pada umumnya, dua gadis yang bersahabat karib. Tetapi bila ada yang memerhatikan dengan seksama, dia beberapa kali membenarkan posisi jepit rambutku, menyentuh pipiku dengan belai halus dan sesekali mencubit hidungku. Aku beberapa kali mengusap tangannya, mengacak rambut sebahunya dan entah berapa kali kami saling memandang dengan pandangan 'kami sedang jatuh cinta'.

Sulitkah menebak bahwa kami adalah sepasang kekasih?

***

Tidak mudah bagi kami, terutama aku.

Bila semua orang yang sedang jatuh cinta bisa berbagi dengan orang-orang disekeliling mereka, makan-makan, atau hal-hal seperti itu, kami tidak. Bukan karena kami terlalu pelit untuk berbagi kesenangan, karena tidak semua orang bisa menerima perbedaan kami dari pasangan lainnya.

Bila kalian datang ke sebuah pesta dimana semua tamu memakai warna merah, dan kau datang dengan warna hijau, kau akan terlihat salah, apapun alasanmu. Begitu juga saat aku menyadari ada sesuatu yang berbeda dengan diriku, jauh sebelum hari ini. Terlalu salah, dan aku cukup malu untuk mengakuinya, bahkan pada orang tuaku sendiri, hingga setahun yang lalu, aku menceritakan semuanya.

Tidak mudah. Ayahku murka, ibuku menangis berhari-hari hingga jatuh sakit, dan aku menerima semua kekecewaan itu dalam sakit secara batin dan emosi. Aku menyalahkan diriku, menyalahkan Tuhan, dan aku menyalahkan siapapun yang tidak bisa menerima apa yang terjadi pada diriku. Aku menerima semua makian ayah, kekecewaan ibu, dan segala proses penyembuhan agar aku bisa kembali normal. Aku mengalami tekanan mental yang cukup berat, hingga aku dan kedua orang tuaku tiba pada titik penerimaan, bahwa inilah aku.

Saat ini, setelah setahun berlalu, aku tidak lagi menyalahkan diriku. Aku memaafkan diriku terlebih dahulu sebelum memaafkan mereka yang selalu memberi pandangan sinis padaku dan kedua orang tuaku. Aku selalu merasa sangat bersalah karena orang tuaku menanggung perkataan orang lain atas diriku. Terkadang mereka terlalu jahat hingga memberiku label manusia terkutuk dan hujatan bernada keras lainnya. Jujur, aku sakit hati bila ada yang menganggap aku terkutuk, tidak terpikirkah jika kalian atau orang yang kalian sayangi berada dalam posisi yang sama seperti aku?

Ah sudahlah, aku hanya perlu diterima dan menerima.

Tidak perlu menyalahkan siapapun, karena sebenarnya tidak ada yang salah. Apa yang salah bila kau datang ke sebuah pesta dengan gaun berwarna hijau jika hanya gaun itu yang kau punya? Terlepas bahwa tamu yang lain memakai warna merah, kalian tetap memenuhi undangan dan memakai gaun, hanya warnanya saja yang berbeda.

Pendewasaan diri, terlepas dari memakai poni atau tidak, aku sudah bisa menerima apa yang seharusnya aku terima. Menyalahkan tidak menyelesaikan apapun. Aku sempat berpikir bahwa pertalian darah antara aku dan orang tuaku akan putus saat aku berkata jujur pada mereka. Mereka orang tua yang baik, penerimaan mereka sudah lebih dari cukup, lebih dari yang aku bayangkan.

Aku belajar bahwa sesuatu yang salah bagi banyak orang, tidak selalu begitu pada kenyataannya. Dan jika ada yang bertanya, "Seandainya dunia dibuat ulang sekali lagi, kamu akan memilih terlahir sebagai siapa?" Aku akan menjawab dengan lengkung senyum, "Sebagai aku,"

Tidak ada yang perlu disesali. Apa yang salah dengan diriku? Aku tetap milik-Nya, dan percayalah, aku akan terus menyayangi-Nya, karena inilah warna gaun yang Dia berikan padaku. Suatu kebanggaan karena aku telah menjadi tamu-Nya dalam sebuah wadah pesta besar bernama Dunia.


Tuhan, aku sudah memaafkanmu,
semoga Kau juga memaafkan aku yang pernah menyalahkan-Mu.]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!