Aku menatap sofa merah tua di sudut ruangan putih ini. Aku masih ingat betapa ia menyayangi sofa itu, betapa ia bisa tenang sambil terpejam melemaskan seluruh badannya di atas sofa itu, dan aku masih bisa menggambar dengan jelas geraian rambut cokelat tuanya yang ia lampirkan dengan lemah lembut di bagian kepala sofa itu. Setiap pulang sekolah, atau setiap aku baru pulang dari kegiatan ekstrakulikuler, aku sering melihat ia berdiam diri di sofa itu. Wajahnya terlihat tenteram. Jika ia sudah merasa cukup, ia akan bangkit dari sofa lalu menyapa dan memeluk tubuhku yang bau matahari. Namun, bau matahari yang panas itu mampu diredam oleh kehangatan tubuhnya. Aku sering menduduki sofa itu kala merindukannya, tiap ia pergi ke luar kota untuk urusan kerjaan, misalnya. Harum tubuhnya, wangi parfumnya sudah melekat tak mau lepas dari permukaan beludru sofa itu. Sofa merah itu sungguhlah aroma dia, tanpa pernah bisa dihilangkan.
Teringat setiap langkah yang aku lalui bersamanya, setiap waktu yang ia selalu sediakan untukku. Walaupun terkadang jauh, tapi aku bisa merasa ia selalu bersamaku walau hanya mendengar suaranya lewat telepon atau pesan-pesan singkat di messenger. Jika aku sedang resah karena segala masalah yang menimpa, ia selalu bisa menenangkanku dengan berbagai cara komunikasinya. Ia mampu membuatku diam merasa bersalah karena telah membentaknya dan menganggapnya egois, hanya dengan mengucapkan tiap kata yang aku yakin tak pernah diucap orang lain padaku, atau pada kepunyaan mereka. Ia bukan orang yang otoriter, aku pun mengenal dan memahami makna demokrasi bukan dari sistem negara ini melainkan cara yang ia terapkan padaku. Ia tidak pernah ragu untuk mendengar dan sungguh pantangan baginya untuk menilaiku berdasarkan predikat yang aku miliki. Ia telah menerapkan segala nilai yang aku makin syukuri telah peroleh ketika usiaku beranjak dewasa.
Siang ini, aku kembali mengenang sosoknya. Aku minum teh dari cangkir kesayangannya, aku merelaksasi segala kepenatan dengan melakukan apa yang dulu ia lakukan di sofa merah tua itu, aku menghitung segala langkah yang dulu biasa kupijakkan dari kamarku menuju kamarnya, kala aku ketakutan di tengah malam. Aku menekan-nekan tuts piano yang sudah ia kenalkan padaku sejak aku masih belum bisa membaca aksara apapun di dunia ini. Aku memaksanya hadir di hariku, aku belum bisa mengganti sosok ia dengan siapapun untuk membuatku tenang. Hari ini, aku paksa untuk hirup udara yang masih menyelimuti rumah ini. Rumah yang telah menjadi saksi mati aku tumbuh menjadi manusia seperti sekarang. Memang, beberapa tahun telah ia lewati untuk menjadi saksi mati pertumbuhanku menjadi manusia, karena aku harus rela untuk keluar dari sini, berpisah dengannya, demi belajar tentang dunia dan hidupku.
Langkahku terhenti di satu sisi dinding. Berisi gambar-gambar aku dan dia, penuh dengan senyum, tak sedikit yang berisi pose tolol kami berdua. Masing-masing gambar menunjukkan perubahan wajahku dari masa ke masa. Saat aku masih balita, saat aku menjadi anak-anak, remaja, hingga terakhir, wajahku tiga tahun yang lalu. Tentu saja dalam tiga tahun banyak yang telah berubah dari penampilanku, tapi foto itu paling menggambarkan aku kini. Aku mengingat segala yang pernah ia katakan sepanjang hidupku.
“Ingatlah, sayang. Aku memiliki tugas, kamu adalah anugerah yang membuatku bertugas untuk membesarkanmu dan mendidikmu. Namun itu bukanlah hasil akhir, itu semua hanya bekal yang mau tidak mau akan kau bawa seumur hidup,” ujarnya saat aku hendak pergi dari rumah ini. Usiaku 18 tahun waktu itu, aku hendak melanglang buana demi memeroleh pendidikan, yang juga, ia telah restui.
“Selama ini anak telah terdogma untuk mematuhi peraturan orangtua mereka. Namun, orangtua lupa, bahwa akan ada masanya saat anak-anak mereka tidak bisa lagi sepaham dengan mereka. Orangtua lupa, bahwa anak, jika saatnya tiba, berhak untuk hidup dengan pikiran mereka sendiri,” ujarnya saat aku usai beradu pendapat dengannya, usiaku masih belia, merayap dari remaja menuju dewasa muda.
“Kamu, anakku, bukanlah beban. Kamu, anakku, tidak memiliki utang apapun terhadap orangtuamu, karena kamu, anakku, tidak pernah meminta untuk dilahirkan ke dunia ini. Kami, orangtuamu, yang telah berkehendak untuk memilikimu atas hubungan suami istri yang kami lakukan,” katanya waktu aku sedang pulang ke rumah di masa kuliah semester akhir dan sedang bingung menentukan tujuan kerja selepas aku menjadi seorang sarjana. Aku waktu itu meminta pertimbangan padanya apa yang sebaiknya aku lakukan, karena aku takut apa yang aku kehendaki tidak akan sesuai dengannya.
“Bagaimanapun kamu di luar sana, semua orang akan menilaimu. Tanpa kau sadari, semua penilaian selalu melibatkan rumah asalmu, karena rumah, karena keluarga, adalah yang paling menentukan derajat intelektualmu ke hadapan rimba kehidupan, anakku,” ujarnya sambil membuatkanku secangkir teh kala sore yang hujan memagari rumah kami. Waktu itu aku masih SMA, merasa paling tahu akan siapa aku, yang sebenarnya, aku belum tahu apa-apa tentang diriku waktu itu.
“Nilai bukanlah yang tercantum di angka pada raportmu, sayang. Kau boleh bangga ketika memeroleh angka tertinggi di kelas, tapi nanti, kelak, kau akan sadar bahwa kualitasmu tidak melulu bergantung pada angka. Ingatlah, sayang, proses belajar bukan berarti hanya membaca buku pelajaran ketika kau akan menghadapi ujian esok hari. Kualitasmu sebagai seorang manusia tidak bisa dihargai dengan angka atau nilai yang memiliki batas 10 atau 100, atau A, atau berapapun tingginya. Semua manusia, tidak sepantasnya dinilai semutlak itu,” ucapnya ketika aku menangis karena gagal meraih peringkat satu di kelasku. Waktu itu, aku duduk di kelas 2 SMP. Ia tidak pernah marah seperti orangtua teman-temanku yang lainnya.
“Dengar, tidak ada gunanya jika kamu ingin menjadi juara kelas karena takut Ibu memarahimu ketika gagal. Karena ketika kamu gagal, Ibu akan selalu ada untuk memotivasimu,” Ia mengecup lembut keningku yang basah karena keringat sehabis menangis.
“Selama ini, dunia telah membuat pola dan ikon bagaimana orangtua yang ideal. Penilaian itu lalu akan membuat anak menjadi subjek yang selalu disalahkan jika terjadi perselisihan dengan orangtua mereka. Tapi, percayalah, Nak, orangtua adalah manusia yang seharusnya menjadi sahabat anak mereka. Kami bukan presiden yang berada dalam tataran hierarki paling tinggi hingga semua yang di bawah mereka harus menurut tanpa kompromi. Orangtua seharusnya menjadi sahabat yang paling bisa kau percaya, karena kami hanya manusia yang harus mencoba mengerti.” jelasnya dengan sorot mata tajam ketika aku membentaknya suatu waktu, hanya karena ia bertanya mengapa aku terlihat uring-uringan, kala aku putus dengan pacarku di SMA.
“Ketika kamu menjadi orangtua kelak, ingatlah, jangan pernah berpikir bahwa anak lebih pintar dari orangtua membuatmu memaklumi kekurangan intelektualmu di depan anak-anak. Tidak ada alasan manusia untuk berhenti belajar, termasuk belajar memahami anak-anakmu. Dengan kebijaksanaan dan kepintaranmu, ibu yakin kau akan jadi orangtua yang sangat disayangi anak-anakmu. Karena nilai, adalah yang bisa kau bagi dengan mereka. Nilaimu, sebagai orangtua mereka,” nasehatnya ketika aku memutuskan untuk menikah, lima tahun silam.
“Jangan pernah kau hakimi anakmu dan jangan pernah kau sakiti mereka hanya karena kekesalanmu terhadap hidup yang semakin lama semakin membenani. Anak bukan matras yang bisa kau jadikan pelampiasan emosimu, sayang.” Ia waktu itu duduk di sebelahku, sambil mengelus-elus perutku yang waktu itu berisi janin hasil buah cintaku dengan suami. Empat bulan usia kandunganku, waktu itu.
“Anakku, ketika suatu waktu anakmu kecewa terhadapmu, jangan kau usir mereka. Karena, bisa jadi kau memang telah membuat mereka kecewa dan sakit hati. Cegahlah itu, sayang. Ingatlah, kita bisa kecewa terhadap orang lain dan memutuskan hidup tanpa mereka. Tapi, ketika kita kecewa terhadap orangtua kita sendiri, oh, anakku, tidak ada yang lebih menyakitkan untuk merasakan itu. Dengarlah Ibu, sayang, jangan pernah kau buat anakmu kecewa, bagaimanapun caranya kau mencegah dan mengatasi itu,” ujarnya, saat ia menggendong bayi perempuanku yang mungil, sehabis aku melahirkan.
Oh, Ibu. Sungguh aku merindukan sosokmu. Saat ini, aku sedang merasakan betapa beratnya kehidupan telah memaksaku untuk terus bergelut, untuk terus mengenyahkan perkara yang semakin memelihara angkara. Sosokmu, satu dan tunggal, sebagai Ibu, telah berhasil membuatku merasa lebih dari cukup dibandingkan mereka yang memiliki dua orangtua, sepasang, Ibu dan Ayah. Dirimu, Ibu, yang mampu membuatku tak pernah menyesal tak pernah tahu siapa ayahku, dan tak pernah menganggap kita hidup dalam kekurangan. Aku membutuhkan nasehat dan ujaran lain darimu, yang bisa menenangkan aku saat ini.
Kuseka air mata yang membasahi blazer hitamku. Kuelus bagian penopang lengan sofa merah tua ini, mencium wangi tubuhmu yang tak mungkin bisa kucium lagi. Aku mengesahkan isakan pedihku karena kehilanganmu begitu cepat, di saat aku masih membutuhkanmu, di saat aku tahu bahwa memang semua perkataanmu benar, bahwa hanya kau yang bisa aku percaya. Aku membutuhkanmu, Ibu, walau aku telah menjadi ibu, yang semakin takut jika nantinya aku melupakan segala nilai yang hari ini masih bisa kuingat. Segala perkataan indahmu, segala nilai bijaksanamu.
Berselang beberapa menit, aku memutuskan pergi. Tak sanggup lagi aku melayangkan pandang ke seluruh rumah ini, rumahmu, rumah kita, saksi matiku yang harus rela ikut mati sejalan dengan kepergianmu yang telah ditutup oleh tanah basah pagi tadi. Keluar pintu, aku masih merasakan pedih yang mendalam dalam dadaku. Hingga aku menyadari, aku hanyalah sesosok manusia yang kini diijinkan menjalani giliran sebagai seorang ibu. Namun, aku tetaplah manusia, yang tak luput dari segala kesalahan. Aku adalah seorang Ibu, yang tak luput dari segala kesalahan.***
Sarijadi, Bandung, 12 Maret 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!