Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Rabu, 15 September 2010

Aku membencimu.


Oleh: Avezia Gabby Ariane Laupa

Aku membencimu.

Ketika pertama kali sms itu nyasar di ponselku. Entah nomor siapa yang dengan nada sok kenal sok dekat menyuruhku membawa laptop untuk rapat Laporan Pertanggungjawaban OSIS-MPK besok. Dengan agak kesal akupun memencet tombol ‘reply’ di ponsel, bertanya siapa gerangan yang menyuruhku tanpa memperkenalkan diri terlebih dahulu untuk membawa laptop. Balasan yang dikirmkan kepadaku singkat padat dan jelas, muncul di layar ponselku hanya beberapa menit setelah aku memencet tombol ‘reply’. Aku terperanjat, mukaku memerah. Kamu.

Aku membencimu.

Ketika pertama kali aku melihatmu berlagak sok pahlawan membantuku memanjat gerbang belakang sekolah karena sama-sama terlambat. Muka jutekmu yang tidak pernah mengeluarkan senyum tiba-tiba berkerut dan mengeluarkan tawa sedemikian kerasnya karena melihatku yang tidak bisa memanjat dengan rok sekolah yang panjang. Meski tertawa tetapi kamu tetap membantuku memanjat gerbang. Itulah saat pertama kali aku melihat tawa paling lepas di dunia. Kamu.

Aku membencimu.

Ketika pertama kali kamu menyapaku dengan canggung di perpustakaan. Kamu dengan nada kakumu meminta buku yang ada di tanganku dan menanyakan apakah aku memerlukannya dalam waktu dekat. Ketika kujawab tidak, dengan semangat kamu mengutarakan maksud untuk meminjam terlebih dahulu. Dan akupun mengiyakan. Terlihat seulas senyuman di wajahmu. Dasar kutu buku. Kamu.

Aku membencimu.

Ketika pertama kali kamu menyapaku tanpa alasan, diiringi dengan tawa cekikikan teman dibelakangmu. Kantin sekolah waktu itu sangat ramai dan bukan waktu yang tepat untuk seorang kakak kelas menyapa adik kelas di hadapan teman laki-lakinya. Mukamu bersemu merah, menyaingi warna saos tomat abang cilok. Aku hanya membalasnya sapaanmu singkat lalu berjalan menjauhimu. Selintas terlihat senyum itu lagi. Kamu.

Aku membencimu.

Ketika pertama kali kamu menawarkan tumpangan sepeda motor padaku. Waktu itu mobil jemputanku mogok dan supirku baru datang satu jam lagi, sementara sekolah sudah semakin sepi. Kamu dengan jaket parasut hitam dan sepeda motor serta helm full-face menawarkan tumpangan. Mungkin lebih tepatnya memaksa, bukan menawarkan. Awalnya aku ragu namun kemudian aku menjawabnya dengan anggukan pelan dan dua buah kata sakti ‘terima kasih’.  Dengan ajaibnya kamu tahu rumahku tanpa aku beri petunjuk sepanjang jalan. Kamu.

Aku membencimu.

Ketika pertama kali kamu mengajariku fisika dan matematika. Dengan sabar sambil mencubit pipiku sesekali ketika aku tak bisa menjawab soal-soal yang maha sulit itu. Kamu tahu dengan pasti bahwa aku tidak berbakat tapi dengan sabar kamu mengajariku. Aku yang kepayahan dengan dua pelajaran itu sebetulnya sudah jengah namun tetap menghargai kamu yang menyempatkan waktu mengajariku meskipun pada akhirnya pasti kamu yang terbawa ketidakfokusanku dan mendengarkan aku bercerita. Kamu.

Aku membencimu.

Ketika pertama kali kamu mengajakku berdansa di malam perpisahan SMA. Meskipun awalnya malu-malu namun dengan yakin kamu menarik tanganku dan membawaku ke lantai dansa. Kakimu yang kaku beberapa kali menginjak kakiku hingga membuatku meringis, tapi aku menghargai usahamu untuk mengajakku berdansa. Dalam cahaya lantai dansa yang remang itu kamu mengecup keningku dengan lembut, membuat malam itu tak terlupakan. Kamu yang selalu mengejutkanku. Kamu.

Aku membencimu.

Ketika pertama kali kamu memberitahuku tentang kepergianmu yang mendadak untuk menuntut ilmu di negeri nan jauh. Aku ternyata jadi orang terakhir yang mengetahuinya, bukan karena kamu tidak mau memberitahuku tapi karena kamu tidak sanggup untuk memberitahuku. Kamu takut dengan keputusanmu yang mendadak itu akan mempengaruhi hubungan kita. Padahal sebetulnya akulah yang takut kehilanganmu. Kamu takut aku akan marah, padahal sebetulnya akulah yang takut kamu marah dan pergi meninggalkanku. Kamu.

Aku membencimu.

Ketika pertama kali aku mengantarmu untuk pergi jauh. Sebisa mungkin aku menengadahkan wajahku agar air mataku tidak jatuh. Kamu menggenggam tanganku erat hingga ke pintu kaca itu memisahkan kita untuk mengantarmu ke bagian lain bumi ini. Sebelumnya kamu memelukku lalu mengecup keningku. Adik perempuanmu memelukku sambil menangis ketika melihatmu pergi. Ibumu menangis juga, hanya Ayahmu yang tidak menangis setelah sebelumnya beliau menasehatimu dengan wajah tegar. Kamu hanya mengangguk-angguk. Aku masih menahan air mataku untuk tidak jatuh, aku ingin kamu mengingatku bukan dengan wajahku yang penuh air mata. Ketika kamu hampir mendekati pintu kaca itu, kamu berlari kembali padaku dan mengecup  keningku. Mengucapkan janji yang hanya diketaui oleh kita berdua. Kamu.

Aku membencimu.

Kamu membuatku menunggu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!