Oleh: Sri Ariastini
Kututup buku itu dengan berlinang air mata. Tak sanggup kuteruskan membacanya. Aku merasa melihat diriku sendiri pada tokoh itu, entah bagaimana aku merasa berdiri di depan cermin dan melihat semuanya. Tokoh di buku itu seperti menelanjangiku dan memaksaku membuka mata atas apa yang telah terjadi.
Lama kupejamkan mata membiarkan air mata mengering. Terbayang lagi apa yang kualami, bukan hanya setahun kemarin, tapi empat tahun yang telah berlalu bersamanya.
Aku mengenalnya sebagai orang yang baik, perhatian dan bertanggung jawab. Memang aku mengenalnya saat dia terpuruk, dicampakkan tunangannya. Saat dia sakit karena peristiwa itu, aku selalu menemaninya sampai dia bisa bangkit lagi dan menjalani harinya seperti biasa . Bahkan saat itu ia kerap membelaku bila mantan tunangannya menyerangku secara on air di suatu acara radio. Saat itu aku hanya pasrah dan tiddak berfikir bahwa hubungan itu akan berlanjut.
Tanpa kusadari, kami semakin dekat, saling membutuhkan dan saling mendukung. Aku tahu ada rintangan besar yang menghadang, karena dialah aku yakin kami akan melewati rintangan itu.
Setahun bukanlah waktu yang sebentar untuk mengenalnya lebih dalam, selama waktu itu pun aku tahu kalau dia seorang yang temperamental. Saat marah emosinya tak terkendali, apa pun bisa dilakukan. Aku masih mengira, mungkin dia bersikap seperti itu karena permasalahan yang menyinggung harga dirinya, akupun masih terus mendampinginya. Hingga di suatu saat aku mulai mencium bahwa bukan hanya aku perempuan disampingnya. Beberapa kali secara tak sengaja aku melihat panggilan di handphonenya yg menunjukkan nama wanita, dan tak mau menjawabnya, tapi aku juga pernah melihat beberapa barang yang kutahu bukan miliknya ada d kamrnya. Aku masih bersabar dengan semua itu.
Bukan hanya hal itu yang menuntutku untuk bersabar, lama-lama kalau ada perkataanku yang tidak sesuai dengan hatinya, dengan gampangnya dia main kasar, pernah aku di tampar, ditendang, dicekik, dan kepalaku hampir dibenturkan di tembok, tapi aku masih sabar dan bertahan, karena dia akan sangat menyanyangiku setelah semua terjadi. Dia akan minta maaf dan memelukku. Lama-lama aku ketakutan sendiri setiap berada didekatnya, aku takut disakiti, tapi ada perasaan yg tak bisa kuungkapkan kalau itu terjadi. Aku tahu jalan yang terbaik adalah meninggalkannya, tapi aku takut dia terpuruk lagi, aku takut dengan perasaanku sendiri bila harus berpisah. Aku takut apakah nanti aku akan menemukan orang yang membuatku merasa nyaman, dan membutuhkan aku. Tapi aku juga tidak rela bila terus menerus disakiti, sampai - sampai aku berpikir bahwa aku telah kecanduan untuk disakiti.
Entah darimana datangnya buku itu, atau barangkali ada yang meletakkannya disitu untuk kubaca, yang jelas aku menemukan diriku pada tokoh itu. Memang buku itu hanya fiksi, tapi aku menemukan kekuatan di dalamnya. Kekuatan yang mendorongku bersikap untuk diriku. Terlalu jelas cerminan diriku di dalam buku itu, sisi diriku yang tak mau kulihat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!