Oleh: Aditia Yudis Puspitasari
Departement Forest Conservation & Ecotourism 2006
Bogor Agricultural University
Kamu menemukannya lagi. Sebuah nama yang tertulis di buku harianmu saat sekolah menengah pertama. Terselip di antara huruf-huruf yang diukir sembarangan. Di tengah kembang kempis emosi yang dituliskan. Bukan hanya satu, tapi jumlahnya tak bisa lagi kamu ingat berapa banyak, yang kamu sadari hanya berulang kali kamu menemukannya.
Setiap hadir kesempatan kamu mengguratkan nama itu di atas lembar catatanmu yang berwarna hijau berhiaskan karikatur remaja perempuan imut. Setelah itu kamu tambahkan cerita, kisah tentang dia yang kamu curi dengar, baca dan lihat dari manapun. Rasanya, menyenangkan, ada kebahagiaan tersendiri sewaktu bisa berbagi info tentangnya pada buku diary-mu itu. Menuliskan nama itu seperti menyulut api pemimpi dalam lentera hatimu.
Berulang kali bibirmu mengembang, tersenyum saat membaca bagian-bagian tulisanmu yang mendeskripsikan betapa kamu menyukainya. Membaca nama itu berulang kali, membuatmu bisa merasakan hangat di dalam dada yang perlahan muncul. Jelas kamu bisa mengenang rasa itu, aliran darah yang terburu-buru, jantung yang menggeliat resah, dan ribuan kupu-kupu yang seolah berterbangan dalam perutmu. Euforia seorang yang sedang jatuh cinta.
Dalam kepalamu dia pun seketika hadir. Sosok pria muda berukuran tubuh sedang yang menyunggingkan senyum jenaka. Tangannya dibenamkan dalam saku jeans hitamnya, seperti yang selalu dilakukannya. Rambutnya hitam sedikit panjang terurai berantakan di sekitar wajah dan lehernya, namun sama sekali tidak membuatnya kelihatan urakan atau alay. Pandangan matanya tajam ke arahmu dan melelehkanmu sebelum kamu sempat berkedip.
Bukan, dia bukan penyihir atau seseorang yang punya kemampuan mutan seperti itu. Itu sebuah perumpamaan, cukup ditatap oleh orang kita cintai bisa membuat kita serasa terbang dan merasakan nikmatnya berkubang cinta. Kecepatan melelehkan itu akan meningkat saat dia mulai membuka bibirnya.
Bernyanyi!
Suaranya akan serta merta membuatmu menutup kedua mata, dengan begitu kamu akan lebih bisa merasakan keindahan di dalamnya. Lantunan vokalnya hilir mudik di sekitarmu, lalu menyusup dalam lubang telinga dan sekujur pori-pori tubuhmu. Kamu merasakan kulitmu merinding dengan deru napasmu yang sesekali didenguskan kasar.
Seringkali suara itu kemudian merupa menjadi sepasang sayap bagimu. Membumbungkanmu tinggi ke langit, tempat nanti kamu akan bersua dengannya. Di sana, hanya berdua saja dan melakukan segudang permainan menyenangkan. Ah, khayalan yang begitu memabukkan, ya kan Michael?
Lain waktu kamu bisa memandanginya berjam-jam. Menciptakan keinginan untuk memeluknya dan menyentuhnya, mengusapkan jari-jemarimu di antara helaian rambutnya. Merasakan tekstur kulitnya dengan ujung jarimu. Mendengarnya berbisik di telingamu. Lagi-lagi, semua itu membuatmu bergidik. Bulu romamu berdiri bukan karena takut, tapi sebuah perasaan tak terkatakan yang menyelubungimu. Jujur, kamu senang dengan perasaan itu.
Kamu menarik napas panjang. Cerita panjang tentang nama itu yang kamu baca sekarang bahkan belum usai, masih ada seperempat bagian buku yang belum kamu lahap. Namun, semua halaman yang telah kamu baca sudah cukup sekali menunjukkan betapa kamu sangat mencintai pemuda itu dulu.
Jari telunjukmu kamu jadikan pembatas di antara halaman buku harianmu. Kamu menyeret tubuhmu hingga ke depan mejamu, meletakkan buku harian itu di antara dompet dan laptopmu. Tanganmu yang lain meraih tetikus dan menggerakkannya sedikit. Renyah bunyi tetikus yang muncul saat kamu memencetnya pun tergantikan oleh suara merdu dari laptop itu.
Sekarang, suara si pemilik nama itu benar-benar hadir dalam kamarmu. Nyata. Bukan seperti tadi yang hanya di balik tengkorak kepalamu. Lagu yang dinyanyikan menggelontorkan bayangannya dalam otakmu. Banjir akan dia dalam ingatanmu.
Tujuh tahun sudah berlalu sejak buku itu ditulis oleh tanganmu. Setiap aksara yang kamu bubuhkan menyimpan setiap rasa dengan baik. Oleh karena itu, hingga kali ini kamu membaca catatan itu, kamu bisa merasakan ‘jatuh cinta’-mu pada pria itu lagi.
Rindu itu pun bergulir kembali. Kadang kamu berharap bisa kembali ke masa itu, bermain-main dengan fantasi tanpa batas. Namun lebih jauh kamu berpikir kalau itu bukan ide yang sepenuhnya baik. Maksudmu, dia cuma seseorang, ‘seseorang’ yang pernah jadi duniamu dulu. Bukanlah sesuatu yang mustahil jika suatu saat kamu yang akan jadi dunianya. Ya, suatu hari nanti karena tidak ada hal yang tidak mungkin di dunia serba relatif ini.
Dipacu rindu menggebu itu, kamu menarik kotak tempat kamu menyimpan catatan harian itu dari bawah meja. Sejenak kamu menatap isi kotak itu, tersusun rapi di dalamnya barang-barang bermacam rupa. Kamu hampir menarik sebuah gulungan panjang saat ponselmu berbunyi.
“Oh, oke nanti aku tunggu di depan,” balasmu pada si penelepon sembari menarik gulungan itu dari dalam kotak. Kamu mendudukan tubuhmu di kursi, menarik tali yang mengikat gulungan itu.
“Iya, ada. Ada di dompet aku! Cerewet banget sih!” Gerakan tiba-tiba tanganmu yang hendak meraih dompet membuat gulungan itu meluncur jatuh menuju lantai. Namun kamu memilih melihat isi dompetmu dan langsung menemukan apa yang kamu cari. Dua carik tiket pertunjukan sebuah band rock terkenal. Kamu mengacungkannya di depan wajahmu.
“Iya, ini ada. Ada di tangan aku sekarang!” Kemudian kamu menyimpannya kembali ke dalam dompetmu. Sesaat setelah itu, matamu terbelalak, kamu berjalan menuju jendela dan mengintip. Matamu menyorot pada seorang pemuda yang turun dari mobilnya sembari menggenggam ponsel di dekat telinganya.
“Iya, ni aku turun! Dan jangan panggil aku Minnie, Mikey!” ujarmu yang masih menyibak tirai jendela.
Kamu pun memutuskan sambungan telepon. Bergegas mengambil tas selempang yang sudah kamu siapkan di atas tempat tidur dan memasukkan dompetmu ke dalamnya. Mampir di depan cermin sebentar untuk merapikan diri di saat-saat terakhir. Mematikan laptop terlebih dahulu. Saat akan keluar dari kamarmu, matamu tertumbuk kepada gulungan yang ada di lantai.
Sebentar saja.
Kamu melangkahkan kakimu menuju gulungan itu lalu membungkuk memungutnya dari lantai. Tanganmu mulai bergerak membuka gulungan itu. Sebuah poster. Poster yang pernah menghiasi dinding kamarmu sekitar tujuh tahun lalu. Ada si pemilik nama itu di sana, berdiri gagah dan tampan, serta tak lupa senyum manisnya. Namun kesan angkuh dan berwibawa tetap ada dengan setelan hitam-hitam yang dikenakannya. Kamu menyadari bahwa sorot mata tajam miliknya menghujam langsung kepadamu.
Terdengar desah napasmu. Kamu merasa udara yang keluar darimu barusan membawa serta segenap kenangan. Kamu menyadari betapa cepat waktu berlalu, segesit angin yang melayang lewat jendela kamarmu. Masamu sekarang bukan lagi masa remaja. Poster-poster sudah diturunkan. Namanya sudah tak lagi kamu tuliskan. Akan tetapi, kamu masih tetap menyukai mendengarkan si pemilik nama bernyanyi baik lagu di masa poster itu dipasang hingga lagu-lagu barunya saat ini.
Bunyi klakson mobil menyambangi pendengaranmu. Mikey, begitu sapaan akrabmu kepada Michael, sudah memberimu isyarat untuk segera turun. Kamu merasa beruntung bertemu Michael. Kamu menemukan banyak kesamaan dengan Michael. Kalian sama-sama penggemar musik dari si pemilik nama dan band-nya. Michael yang sekarang kamu cintai. Sekali lagi klakson menggonggong dari bawah.
Bibirmu kembali tertarik di dua sisinya, senyum kecil muncul di sana. Masih kamu menatap poster itu, pelan kamu bicara pada pemilik nama itu, “sampai ketemu di pertunjukanmu nanti, Michael.”
Bogor, 10-11-2010
Teruntuk Michael J. Siapa Michael? Silakan interpretasikan sendiri-sendiri. Kalian punya Michael kalian sendiri-sendiri J.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!