Oleh : Yanita Mediana
Aku hidup dalam tembok kenangan. Kenangan yang terus mengunciku berada di tempat yang sama, di waktu yang sama, di situasi yang sama. Sialnya, sejauh aku berusaha untuk melupakannya, kenangan itu makin mempersempit ruang gerakku, menghantui ingatanku dan perasaanku.
Sudah 3 tahun berlalu. Tapi sayangnya aku masih berdiri di tempat yang sama. Setiap hari, di saat aku duduk terdiam, dia terus menyerangku tanpa kenal ampun. Kenapa aku tidak bisa seperti orang lain, di mana kenangan menjadi sahabatnya? Dulu, kenangan juga sahabatku. Dia membuatku tertawa ketika aku sedih, dia membuatku tersenyum ketika aku menangis, dia membuatku tegar ketika aku jatuh. Tapi kenangan yang terduga datang dan menghancurkan semua kenangan yang menjadi sahabatku. Dia merebutnya! Dia merebut kenangan indah yang menjadi sahabat – sahabatku, membuat 3 tahunku yang berharga menjadi hancur karena dirinya.
Aku menatap Ayah yang duduk di hadapanku. Menatap matanya yang kecoklatan, menatap matanya yang terlihat cerah meskipun semakin hari semakin bertambah usia. Setiap aku menatap matanya, hatiku sesak. Aku tak pernah bisa percaya padanya lagi. Aku mencoba, aku berusaha, tapi aku kalah. Kenangan itu terus menutup mataku dari semua kebaikannya dan dari kasih sayangnya.
Masih teringat jelas dalam ingatanku, Ayah yang begitu kukagumi dan begitu kupercaya, mengkhianatiku. Mengkhianati Ibuku. Kau tahu bagaimana rasanya? Aku dikhianati oleh satu – satunya laki – laki yang aku percaya di dunia ini. Ibuku yang tegar, tiba – tiba terlihat begitu rapuh kala itu. Bagaimana bisa, Ayah mengkhianati Ibuku yang sudah begitu berkorban? Ayah meminta Ibu tidak bekerja, Ibu menurutinya. Ibuku adalah wanita baik – baik, yang sangat sabar membesarkan anak – anaknya yang sangat nakal. Tapi tiba – tiba, Ayah mengkhianati Ibu. Apa kesalahan Ibu sampai membuat Ayah pergi dengan wanita lain?
Aku tak mengerti. Dan aku tak mau mengerti. Satu – satunya alasanku untuk tetap baik padanya adalah Ibu. Ibu memintaku untuk memaafkannya. Maaf Ibu, aku gagal jadi perempuan tegar sepertimu. 3 tahun berlalu, kenangan itu terus hidup dan berakar dalam otakku. Aku telah mencoba, tapi gagal. Aku gagal untuk memaafkannya. Aku tak bisa percaya pada setiap perkataannya, sampai detik ini.
Aku menatap Ayah yang bangkit dari tempat duduknya, dan beranjak ke kamar. Aku memandangnya, kulihat ia tengah mengelus pipi Ibu yang tertidur. Mata Ayah tampak berubah, aku tahu dia benar – benar sedih. Sejak 3 hari yang lalu, Ibu sakit panas. Ayah mengurusnya sendirian.
“Cepat sembuh, Bu..Jangan tinggalkan aku sendirian..”ucap Ayah terbata – bata dan memeluk Ibu.
Aku terdiam. Tak terasa, air mataku menetes. Air mata pertamaku sejak 3 tahun yang lalu. Ayah ternyata benar – benar sayang Ibu.
Aku berjalan perlahan – lahan mendekati Ayah. Kucium pipinya. Kupeluk badannya yang rapuh. Hatiku terasa sejuk.
Maafkan aku Ayah, untuk semua kebencianku selama ini. Maafkan aku, karena tak sempat meminta maaf padamu dulu.
Terima kasih Ayah, karena kenangan tentangmu membuatku bisa menyaksikan Ayah dan Ibu hingga detik ini.
Meski begitu banyak perbedaan. Meski dunia kita kini berbeda. Meski Ayah dan Ibu tak lagi bisa melihatku.
Aku beranjak pergi. Mungkin ini saatnya menjadikan kenangan ini menjadi sahabatku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!