Oleh: @kikiavicenna
70 km dari Stasiun Lamunasmara
Kereta sore itu melaju melewati padang ilalang yang luas, berkilau diterpa matahari sore. Rivan sudah terlelap sejak setengah jam sebelumnya, tetap pada posisinya, tak tergerak oleh guncangan kereta itu. Di sampingnya, Diza masih terjaga. Suara musik terdengar sayup dari headset yang telah dilepaskannya. Tetapi ia lebih tertarik untuk mendengarkan pembicaraan orang-orang di belakangnya.
"Kita harusnya bisa menguasai pasar! Kalau bukan karena para pendatang Bajumbai itu," umpat seorang pria. "Sejak mereka datang, mereka rebut pangsa pasar kita. Sekarang mereka penguasa perekonomian di desa kita! Selanjutnya apa? Pemerintahan? Ah! Taruhan, bakal ada calon kades dari kalangan mereka," suara pria lain menyahut, diiringi suara koran dilemparkan ke lantai gerbong. "Sial. Itu desa kita, Jum. Desa kita! Nenek moyang kita sudah tinggal di tanah desa sejak sebelum Belanda datang dulu!" "Ya. Harusnya pendatang itu tahu dirilah sedikit. Belum apa-apa sudah berani bersaing dengan orang lama. Ah, Mud, apa sih yang mereka mau dari kita?" Jawaban datang berapi-api. "Semuanya, Jum! Semuanya! Lama-lama mereka yang memegang kendali. Semua sisi kehidupan kita dikuasai mereka! Monopolistik!"
Diza tahu apa yang diperbincangkan oleh kedua pria di belakangnya. Para pedagang pendatang dari etnis Bajumbai memang dengan cepat menguasai pasar di Desa Ramasinta, sebuah desa yang hanya dipisahkan oleh Kali Wening dengan Desa Lamunasmara tempatnya bertugas. Tetapi, menurut apa yang ia dengar di masyarakat, para pedagang Bajumbai itu justru lebih ramah dan supel daripada kebanyakan pedagang lain di Pasar Ramasinta. Tentu saja, itu alasan yang bagus untuk menjelaskan mengapa mereka cepat menguasai pasar.
Diza berpikir sepertinya dua pria di belakang Diza gusar. Sebab, Pasar Ramasinta adalah pusat kegiatan jual-beli terbesar di Kecamatan Munggahan. Dan mereka mulai berbicara dengan nada tinggi, suara yang makin keras dan kata-kata yang semakin menyiratkan kemarahan mereka terhadap etnis Bajumbai secara keseluruhan.
Kata-kata terangkai dalam pikiran ko-ass muda itu, "Tidakkah lebih baik apabila kalian mencari solusi dengan introspeksi dan mengembangkan ide baru agar dapat berbagi pangsa pasar dengan adil?"
Tapi ia tahu, kalimat yang terangkai itu tak akan terucap. Ia tak suka menimpali pembicaraan orang yang tak dikenalnya. Lagipula, ia tak mau membayangkan reaksi seperti apa yang akan didapatnya dari dua pria yang sedang emosional itu.
Kereta terguncang sedikit dan perlahan berbelok ke kanan. Rivan terbangun dan melihat ke sekelilingnya. "Masih setengah jam lagi, Riv," Diza tersenyum kepada kolega sejawatnya itu dan kembali mengenakan headset. Para pria di belakangnya masih terus bicara, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa.
Lagipula, pikir Diza, tak semua orang di Ramasinta berpendapat sama dengan mereka. Semoga.
# # #
(Catatan: Nama tempat dan etnis dalam cerita ini fiktif, hanya rekaan penulis semata.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!