Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Selasa, 28 Desember 2010

(Tidak) Bercermin Diri


Oleh Gisha Prathita

Terakhir kali aku melihat jam sebelum akhirnya semua pandanganku menjadi gelap adalah pukul 23.29.
Dan sekarang, pertama kalinya aku melihat jam setelah semua pandanganku kembali warna-warni, adalah pukul 09.32.
Apa?
Ah ya, aku terbaring di atas—kasur, tentu saja. Dengan badan yang terasa patah semua. Dengan mata yang terasa silau karena cahaya matahari yang menyelinap lewat jendela.
Aku menghela napas, kemudian menegakkan diri di atas tempat tidur. Dan kini aku terduduk di sana, sambil mengusap-ngusap mataku yang terasa perih kesilauan karena pantulan cermin di seberang jendela. Sambil memfokuskan pandangan, aku memperhatikan sepotong bayangan yang terpantul di sana.
Tangan penuh bebat dengan perban di dahi. Nyaris seperti mumi. Akhirnya aku bangkit, untuk melihat pantulan itu di cermin, lebih dekat.
Rambut itu, berantakan. Hitam legam dan tebal. Potongan pendeknya tidak beraturan akibat dipotong oleh si empunya sendiri. Badan itu, kurus—untuk ukuran orang yang tingginya nyaris delapan kaki—akibat menyantap rokok nyaris setiap detiknya. Memar di pipi itu, akibat bentrok—bukan dengan orang lain, tapi dengan marmer, saking seringnya mendadak jatuh terbaring dengan pipi yang mencium lantai. Luka di tangan itu, saksi berapa puluh kali ia dilukai untuk menghentikan jam di hidupnya—namun tak pernah berhasil, karena lukanya terlalu blatant untuk tidak ketahuan oleh orang lain.
Aku mengangkat tangan kananku, dan bayangan di cermin itu ikut mengangkat tangan kanannya. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku, dia juga.
Astaga, bayangan itu adalah aku.
Rusak sekali. Rusak sekali bayanganku. Rusak sekali aku.
Apa yang telah kulakukan?
Aku melihat jam lagi, kali ini menunjukkan 09.36.
Kepalaku sakit rasanya saat aku berusaha mengingat apa yang terjadi saat terakhir kali aku melihat jam tadi malam. Yang kuingat aku baru saja bertengkar dengan ayahku dan aku merasa sangat… marah. Dan sekarang, tenggorokanku terasa sangat sakit.
“Raga? Kenapa kamu berdiri di situ sih? Harusnya kamu istirahat. luka di badanmu bisa terbuka lagi kalau kamu banyak gerak.”
Suara seorang perempuan mengagetkanku dari balik bayangan yang ada di cermin itu. Rasanya, aku mengenalnya.
Sukma.
Aku berusaha memanggilnya, tapi tak ada suara yang keluar dari tenggorokanku. Rasanya sakit sekali. Gadis itu terpana melihatku sebentar.
Sukma.
Kupanggil dia sekali lagi. namun hasilnya tetap sama, suaraku tak kunjung keluar. Sambil menahan tangis, dia menempelkan telunjuk di bibirku—supaya aku tidak bicara lagi. “Berhenti bicara, Raga. Kumohon. Berhenti untuk menyakiti dirimu sendiri lagi.”
Aku melihat pantulan diriku di cermin. Begitu berantakan, penuh luka, layaknya seseorang yang pulan dari medan perang. Kupikir akupun begitu, baru pulang dari medan perang—melawan ayahku dan keputusasaanku.
Akhirnya air mata Sukma jatuh.
Aku ingin menenangkannya, tapi suaraku tak kunjung muncul. Kenapa Tuhan? Kenapa?
Aku melihat cermin itu sekali lagi. bibirku begitu keras, nyaris melepuh. Aku terdiam, baru ingat sesuatu. Astaga, aku benar-benar sudah merusak badanku sejauh ini.
Tadi malam, aku tidak sadar setelah minum segelas minuman. Air. Yang kuingat sekarang, air itu biasa kita kenal dengan… racun serangga.
Astaga, apa yang kulakukan?! Seharusnya aku tidak boleh merusak badanku lagi! sudah terlalu parah! Aku mengecam diriku sendiri, setengah mati. Bukankah aku sudah merencanakan untuk tidak merusaknya lagi?
Sial! Harusnya aku tidak menenggak racun serangga itu, karena itu hanya membuatku tidak sadar, sakit tenggorokan lalu bisu, dengan mulut berbusa saat pingsan. Memalukan.
Sial! Harusnya aku ingat nasehat dari temanku bahwa meminum racun serangga itu tidak enak, dan tidak berhasil mengakhiri hidup! Coba kalau aku ingat, pasti saat ini aku tidak akan menyakiti diriku sendiri lagi—dan menatap diriku yang berbaring dari dunia di seberang cermin sana!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!