Blog untuk memajang hasil karya partisipan #WritingSession yang diadakan setiap jam 9 malam di @writingsession. Karena tidak ada yang bisa menghentikan kita untuk berkarya, bahkan waktu dan tempat.
Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Kamis, 30 Desember 2010
Sahabat
Oleh @sriariastini
Termenung kududuk di sini, ditepian laut yang biasa kita datangi. Memandang jauh ke laut lepas tergiang lagi kata-katamu :"aku ingin memandang laut lepas yang berwarna biru agar tak lagi menggunakan kaca mata ini"
Saat itu, kau merayuku untuk menemanimu datang ke pantai pagi-pagi buta, padahal kita berdua harus bekerja hari itu, tapi aku tak kuasa menolak rayuanmu, jadilah kita duduk berdua sambil membicarakan segala hal dari yang remeh temeh sampai yang membuat pusing kepala karena kita belum sarapan.
Seandainya hari itu kumenemuimu lebih awal, seandainya kumenemanimu, seandainya aku tidak menunda waktu, seandainya aku tidak mementingkan keinginanku, dan banyak seandainya yang berkecamuk dikepalaku...
Saat tahu kau terbaring sakit, aku ingin menemanimu melawan sakit itu, tapi apa daya, tak kuasa ku menahan air mata saat melihatmu terbaring ditemani Wigung mu. Aku tak menyangka keadaannya seperti itu, kau menahan sakit yang entah dari mana sumbernya. Saat itu juga aku dan Rahma memutuskan tidak berada disitu dalam waktu yang lama, kami tidak tega melihatmu seperti itu, melawan sakit sampai tak sadar dengan kondisimu. Wigung pun memaklumi keadaan kami saat itu, dan minta tolong untuk mendoakan agar kamu kuat.
Hari berlalu, aku datang lagi ketempatmu dirawat, senangnya melihatmu sudah mengenali lagi keadaan sekitar, dan sifat manja dan cerewetmu pun sudah terlihat, saat itu kubawakan siomay yang lagi-lagi atas rayuanmu dan aku tak kuasa menolak, padahal diitmu masih dibatasi oleh dokter. Sampai-sampai Wigung ngambek melihat kelakuanmu dan aku merasa bersalah karenanya. Tapi kau tak peduli, dengan alasan menu dari rumah sakit pun ada saosnya. Waktu kita habiskan dengan bercerita segala hal, dari hal yang hanya kita ketahui berdua dan kau rahasiakan dari Wigungmu, sampai keterusteranganmu pada Wigung tentang hal itu. Banyak canda tawa kita lalui hari itu, tapi sayang karena harus bekerja kau kutinggalkan lagi.
Tak sampai seminggu berselang, aku mendengar kabar kau tak mau makan, mogok bicara sekalipun dengan ibumu, bergegas ku datang lagi ke rumah sakit, kubujuk agar kau mau bicara, agar kau mau makan walu hanya satu sendok saja, tak kuasa kumenahan air mata jatuh didepanmu, aku sedih melihatmu seperti itu, dengan badan yang semakin mengurus dan tatapan matamu yang kosong. Aku terus membujukmu sampai kutawarkan pilihan yang tak masuk akal yaitu mendatangkan Bagus, orang yang kau sembunyikan dari Wigung, ketempatmu dirawat. Dan tak diduga saat ku menyebut nama Bagus matamu berbinar, dan menganggukkan kepala menyetujui Bagus untuk datang serta kau berjanji untuk mau makan dan berbicara kalau Bagus menemuimu.
Entah apa yang ada dipikiranmu saat itu, padahal Wigung menungguimu setiap waktu.
Akupun memberanikan diri menemui Bagus di tokonya, menceritakan semua tentangmu, dan meminta tolong agar dia mau menemuimu. Dan tak kusangka pula, Bagus pun bersedia.
Pada hari yang telah aku dan Bagus sepakati, kami menemuimu d tempat perawatanmu, kondisimu tak jauh beda dengan terakhir kali aku datang, kau tak mau bicara dan masih tak mau makan. Saat Bagus disampingmu, kuingatkan lagi janji yang kau ucap kalau Bagus datang, dengan terbata-bata kau mengucapkan sakit sehingga tidak bisa bicara dan makan. Kukuatkan diri agar airmata ini tak lagi jatuh didepanmu.
Hari itu memang pertama dan terakhir kalinya bagus menemuimu lagi, tapi dia selalu menanyakan perkembanganmu.
Akhirnya kabar baik pun kuterima, kau diperbolehkan pulang, senang rasanya mendengar berita itu, kita pun langsung membicarakan rencana kita yang tertunda.
Namun kesenangan itu tak lama, kakakmu memberitahu Rahma bahwa kau d rawat di ICU di rumah sakit tempatku bekerja, dan Rahma langsung memberitahuku. Saat senggang, aku membesukmu, pikiranku kau hanya dititipkan d ruang itu, bukan untuk perawatan intensif tapi untuk ketenanganmu. Begitu aku membuka pintu dan menoleh ke kiri, air mata ini langsung jatuh melihatmu dalam keadaan setengah sadar, terpasang infus dengan berbagai macam obat, dan peralatan dengan kabel-kabelnya yang menempel di tubuhmu. Kau hanya memintaku untuk memangggilkan ibumu. Ternyata sore itu juga kau dipindahkan ke rumah sakit tempatmu dirawat dulu, dan masih harus dirawat di ICU.
Beberapa kali kutengok, dirimu masih belum sadar juga, dan membuat setiap orang yang melihatmu menitikkan air mata. Karena kesibukan pekerjaan, beberapa hari aku terlewat membesukmu, sampai diperbolehkan pulang pun aku tak sempat datang. Tiba-tiba ada sms mengundangku datang ke tempat rawatmu. Akupun berpikir ada apa lagi denganmu.
Kau pura-pura marah waktu aku datang menemuimu, tapi aku suka karna kau tampak lebih ceria, celoteh riangmu terdengar tak putus-putus, sampai ibumu mengingatkan agar jangan terlalu capek. Tapi kau terus saja bercerita, segala hal kita bicarakan, aku pun senang melihatmu seperti itu, banyak hal pula yang kita rencanakan sepulangmu dari rumah sakit nanti. Apalagi dengan kedatangan Rahma, tawa dan ceriamu tambah terlihat, kita bertiga berkumpul, hanya Arini yang tidak datang, entah apa alasannya. Akupun sampai bosan membujuknya untuk datang. Tak terasa hampir empat jam kita berbagi tawa. Aku pun pulang karena kau harus beristirahat.
Berselang beberapa hari aku meneleponmu tapi tak kau jawab, sms juga tak kau balas, aku hanya mengira kau sedang beristirahat. Tiba-tiba di siang hari ada sebuah sms yang memberitahu kondisimu memburuk. Kuhubungi Rahma dan Arini, hanya Arini yang bisa ikut menjengukmu. Lagi-lagi air mata ini harus kutahan saat melihatmu terbaring. Dari cerita ibumu, aku tahu kondisimu sangat payah, aku hanya bisa menyemangatimu dengan rencana yang telah kita susun. Kau pun mengangguk saat kutanya apakah kau masih semangat untu sembuh. Dengan setengah hati aku pamit pulang karena hari telah malam, entah kenapa aku membaca sorot matamu sebagai isyarat tidak rela melepsku pulang karena kita tak akan bertemu lagi. Dengan sayang kucium pipimu dan menyemangatimu, lagi-lagi kau hanya mengangguk. Setelah hari itu, dengan alasan yang aku pun tak tahu pasti, aku selalu menunda membesukmu lagi.
Sampai akhirnya, saat aku sedang berada di acara reuni kelasku saat SMA, begitu banyak orang yang menghubungiku,Rahma, Emon sepupuku yg juga mengenalmu, dan beberpa oarang lagi,sampai akhirnya aku menjawab telpon dari Arini, dia tidak berkata apa-apa, dia hanya menangis tersedu-sedu, dan langsung kutanyakan keadaanmu dan dugaan ku terhadap dirimu, tangis Arini pun semakin menjadi. Segera kuhubungi Rahma, terjawablah semuanya.
Segera aku diantar pulang oleh tamanku, pikiranku kacau, kuhubungi telponmu, Ajus kakakmu memberi informasi kau masih di ICU, bergegas kudatang ke rumah sakit, kautahan air mata saat melihat kau sudah dikafani dan didoakan, lemas kaki ku. Menyesalku mengapa tak bisa menemanimu saat terakhir kali.
Semalaman aku menangisi kebodohanku. Harusnya aku mengerti isyarat matamu saat itu.
Hingga akhirnya aku berada di tempat peristirahatanmu terakhir, bade yang mengantarmu begitu agung terlihat, lembu yang menjadi pembaringanmu begitu cantik, tak bisa lagi menahannya, air mata ini tumpah di tempatmu beristirahat. Menghadiri upacara Ngaben yang dilangsungkan untukmu tak akan kulupa.
Selamat jalan sahabat, damailah engkau dipelukanNya, hanya itu yang bisa kuucap untukmu.
Tapi berada di tepian laut ini selalu mengingatkanku tantangmu yang tak mungkin kulupa.
Untuk mengenang setahun berpulangnya : A.A. Istri Santi Savitri Dalem.
Teman, sahabat, saudara dalam suka dan duka.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!