Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Kamis, 09 Desember 2010

Yang Ku Gantung Setinggi Langit

Oleh : Tenni Purwanti

Orang menyebutnya cita-cita. Ada pula yang menamakannya impian. Saya sendiri tak tahu harus menyebutnya apa. Keinginan yang begitu kuat yang selalu membuat saya bertahan hidup. Sebuah asa yang yang menuntun saya selangkah demi selangkah, pelan, tapi pasti untuk menuju ke sana. Apapun namanya, ia akan membawa saya dikenal dunia. Saya tahu yang saya butuh hanya percaya. Percaya bahwa Tuhan akan membantu selama saya masih mau berusaha dan tak henti memohon pada-Nya. Ini tentang Berita dan Sastra, ada apa dengan mereka?


Sejatinya, berita dan sastra adalah dua hal yang bertolak belakang. Yang satu bicara fakta, sedang yang lain bicara khayalan. Menguasai keduanya sekaligus membutuhkan tidak hanya bakat, tapi juga keinginan yang kuat untuk mau belajar. Belajar tidak hanya dari buku dan lembaga pendidikan formil tapi juga bisa diiringi dengan latihan yang intens.


Berita, yang meski isinya melulu bicara fakta, juga butuh keterampilan merangkai kata ketika menuliskannya. Seorang wartawan harus bisa menjelaskan kronologis peristiwa mulai dari apa, siapa, dimana, kapan, mengapa, dan bagaimana sebuah peristiwa terjadi. Keterangan dari berbagai narasumber yang kompeten juga harus dikombinasikan dengan seimbang, tanpa ada maksud memihak. Karena tugas wartawan adalah menyajikan fakta, bukan menghakimi fakta. Keterampilan menulisnya diuji setiap kali peristiwa ada di depan mata dan siap untuk disampaikan kepada masyarakat. Tanggung jawab utamanya adalah kepada masyarakat, bukan kepada perusahaan tempatnya bekerja, atau kepada narasumber, apalagi kepada pemasang iklan.


Sastra, yang meski isinya melulu khayalan, juga butuh selipan-selipan fakta untuk membuatnya membumi, hingga kadang bisa dijadikan cermin bagi setiap penikmatnya. Cermin untuk melihat refleksi dirinya dalam wujud untaian kata, rangkaian kalimat, dan susunan paragraf. Seorang sastrawan, bukan tidak mungkin juga merupakan saksi dari sejarah kehidupan di sekelilingnya, yang justru paling berjasa mengabadikan momen-momen tersebut ke dalam kata. Hanya saja satrawan punya lebih banyak ruang untuk menyampaikan imajinya, ia tak terkungkung dalam teori, kode etik, bahkan kadang lupa pada norma. Baginya menulis adalah pembebasan jiwa.


Sastrawan dan wartawan, di balik persamaan dan perbedaannya, keduanya masih merupakan cita-cita atau profesi yang dipandang sebelah mata bagi orang-orang konvensional. Tak sedikit orang tua yang mengharapkan agar anak-anaknya menjauhi cita-cita ingin menjadi wartawan atau sastrawan. Alasan utamanya mungkin dalam hal materi. Dua profesi ini dianggap tak punya masa depan, bisa menjerumuskan kepada hal-hal yang terlalu idealis, sehingga orang tua terlalu takut anak-anaknya tidak hidup normal. Selain materi yang kurang mencukupi, dalam hal waktu bekerja pun, sastrawan dan wartawan punya jam kerja yang memang tidak bisa dikatakan normal. Malam jadi siang, siang jadi malam. Waktu tidur terbalik, waktu makan berantakan. Hanya hal-hal seperti itu yang ada di benak mereka dan akhirnya mereka tanamkan secara turun-temurun kepada anak-cucu. Sastrawan dan wartawan seperti berada di menara gading yang terisolasi dari dunia.


Kontrasnya, profesi wartawan dan sastrawan juga kadang dihargai berlebihan. Banyak orang yang spontan menyebut kata “wah, hebat” ketika mendengar kata “saya wartawan” atau “saya sastrawan”. Wartawan dianggap paling banyak tahu dan paling cepat tahu, sehingga dibanggakan sebagai penyaji fakta nomor satu. Sedangkan sastrawan dianggap paling peka terhadap sekelilingnya, paling mengerti kemurnian dan hakekat sesuatu, sehingga dibanggakan sebagai pengobat pilu yang membuat hidup tak lagi kaku.


Terlepas dari segala pro dan kontra yang ada, saya berani katakan pada dunia bahwa sastrawan dan wartawan adalah profesi yang saya pilih untuk masa depan. Lebih tepatnya mungkin saya ingin menjadi Presenter Berita sekaligus Penulis yang Kreatif dan Produktif. Mengapa saya memilih kedua profesi itu? Jawabannya sederhana : saya mencintai keduanya. Saya cinta. Itu saja. Saya suka menjadi orang yang “tidak normal”. Saya lebih menikmati punya jam tidur yang terbalik dan jam makan yang berantakan ketimbang harus melakukan rutinitas bekerja di kantor 8 jam sehari, datang pagi, pulang sore, menghadapi data dan komputer dengan melakukan hal yang itu-itu saja selama bertahun-tahun. Saya bisa mati bosan.


Untuk bisa berprofesi sebagai Presenter Berita kelak, saya telah menamatkan pendidikan Sarjana Strata Satu Ilmu Komunikasi Konsentrasi Ilmu Jurnalistik. Saya juga pernah aktif di Pers Mahasiswa sebagai Pemimpin Redaksi dan pernah menjadi kontributor untuk majalah musik selama satu tahun. Tapi ternyata gelar dan pengalaman itu belum cukup menjadi bekal saya untuk menembus stasiun televisi. Berulang kali saya ikut audisi presenter dan reporter tapi harus menerima kegagalan. Ini yang saya sebut usaha, dan saya tak akan berhenti untuk mencoba dan mencoba lagi dengan terus mencari kekurangan apa yang belum saya benahi.


Untuk bisa menjadi Penulis yang Kreatif dan Produktif, saya telah memulainya sejak tahun 2006 dengan menulis di berbagai situs internet. Karya saya pun menghiasi berbagai situs internet, baik artikel, puisi, dan cerpen. Satu puisi dan satu cerpen saya tahun ini dimuat di salah satu blog milik penerbit ternama. Saya juga aktif mengikuti berbagai kompetisi menulis. Meskipun belum pernah memenangkan kompetisi menulis apapun, setidaknya tahun ini kumpulan Cerpen berjudul “LUKA” sudah saya terbitkan sendiri secara selfpublishing. Buku kedua saya, Novel “Izinkan Aku Menyayangimu” rencana terbit bulan Januari 2011 masih tetap akan saya terbitkan secara selfpublishing. Mengapa saya memilih selfpublishing? Karena kedua buku itu telah DITOLAK oleh penerbit mainstream. Saya tidak ingin karya saya berakhir di tempat sampah, maka selfpublishing adalah solusi terbaik untuk menghargai karya saya sendiri. Saya tak lagi bicara komersialisasi karya, saya hanya ingin karya saya abadi, setidaknya untuk diri saya sendiri. Ini juga yang saya sebut usaha, usaha untuk menjadikan cita-cita atau impian itu bukan sekadar bualan. Sampai saat ini, selain kedua buku yang saya terbitkan sendiri, saya masih akan terus mengikuti berbagai kompetisi menulis dan akan terus mencoba menulis buku ke-tiga, ke-empat, hingga ke-sekian, yang akhirnya bisa diterbitkan oleh penerbit mainstream. Saya masih harus banyak belajar menulis. Ditolak penerbit dan kalah dalam kompetisi menulis bukan hambatan, tapi tantangan untuk jadi lebih baik dan lebih baik lagi.



Orang menyebutnya cita-cita. Ada pula yang menamakannya impian. Saya sendiri tak tahu harus menyebutnya apa. Yang saya tahu saya ingin bisa mewujudkannya suatu hari dan membuktikan pada dunia bahwa saya serius dengan apa yang ingin saya raih. Saya tidak diam, saya terus bergerak, meski kadang tertatih. Saya mungkin pernah jatuh, bahkan terluka, tapi ternyata itu semua membuat saya semakin kuat. Tak peduli dunia menggugat, saya akan terus mencoba dan berusaha sebelum sekarat. Kalau akhirnya semua tak akan pernah terwujud, saya akan tetap bahagia, karena setidaknya saya telah berusaha dan berdoa. Semua jadi hak prerogatif Tuhan untuk berkata ya atau tidak. Saya tak punya kuasa melebihi kuasa Tuhan.


Desember 2010,
@rosepr1ncess

4 komentar:

  1. Tulisan yang bagus, aku suka bacanya... salam kenal ya, izin follow.

    o iya, ditunggu kunjungan balik n follow baliknya gan...

    BalasHapus
  2. Terima kasih sudah mengapresiasi ...salam kenal juga ...Izin follow apa nih? twitter? silakan follow tanpa perlu izin :) nanti saya follow balik ...

    BalasHapus
  3. luar biasa, saya kagum. by the way, impianmu itu gak beda-beda jauh sama impian saya :)

    BalasHapus
  4. @Aditya terima kasih sudah mengapresiasi :) ga beda jauh? apa impianmu? mari saling bercerita :)

    salam kenal untuk Aditya dan Jaya, silakan follow twitter saya @rosepr1ncess atau silakan baca karya saya yg lain di : www.rosepr1ncess.blogspot.com

    BalasHapus

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!