Oleh: Tyas We ( @deboratyaswe )
Saat kamu jatuh, itulah saatnya kamu belajar.
Kata orang, hidup nggak selamanya diatas. Oke, gue setuju dengan pendapat itu.
Kenapa? Karena gue pernah mengalami fase dimana gue jatuh, mungkin ke titik paling rendah di hidup gue.
Okay, let me tell you.
Waktu itu gue masih kelas dua SMA. Di sekolah, gue masuk ke deretan the ‘it’ girls. Gue berada di lingkaran pertemanan cewek-cewek cantik, tajir, dan populer. Tapi jangan kira otak gue kosong, gini-gini juga gue selalu masuk lima besar di kelas.
Awalnya sulit buat gue untuk masuk ke pergaulan orang-orang eksis di sekolah gue. Ya, gue akui emang sulit. Makannya saat itu gue berteman dulu dengan orang-orang dari kalangan ‘biasa’ untuk jadi batu pijakan gue supaya gue bisa berteman dengan orang-orang yang ‘lebih’. Kedengerannya jahat sih, tapi gue nggak peduli.
Banyak orang bilang, hidup gue perfect banget! Wajah yang cantik, anak orang kaya, populer di sekolah, pintar. Siapa sih yang nggak mau? Siapa sih yang nggak sirik? Bohong besar kalo lo bilang nggak sirik dengan hidup gue. Oh iya, satu lagi yang membuat gue semakin terlihat sempurna di mata orang-orang. Pacar yang ganteng dan tajir. Yaaa, pacar gue anak konglomerat di kota ini.
Banyak yang kagum dengan gue. Tapi nggak sedikit orang bilang gue sombong. Tapi gue masa bodoh dengan pendapat orang-orang. Sombong selama gue mampu, kenapa enggak? Daripada sombong padahal nggak punya apa-apa. Selain sombong, banyak orang bilang gue arogan, ambisius, dan blablabla sebagainya. Sekali lagi gue nggak peduli, anjing menggonggong, orang keren berlalu.
Saat itu, gue merasa ada di puncak. Nggak ada satupun yang bisa dan boleh mengambilnya. Tapi sayangnya gue nggak sadar kalo dibalik semuanya ada kekuatan yang sangat besar yang bisa mengambil semuanya dari gue hanya dengan waktu kurang dari satu detik. Gue lupa akan kuasa Tuhan.
Dan benar! Mungkin Tuhan nggak mau umatnya berlama-lama menjadi orang sombong. Apa kalian tahu berapa lama waktu yang gue perlukan untuk jatuh? Cuma beberapa detik. Ya, beberapa detik.
Pangkalnya adalah kecelakaan itu.
Malem itu gue, nyokap, bokap, dan kedua adik gue pulang ke Jakarta. Gue inget, waktu itu kejadiannya di jalan tol. Bokap gue nyetir dengan kecepatan standar, saat itu nyokap dan bokap gue lagi ngomongin masalah pernikahan tante gue di Bandung. Gue dan kedua adik gue tidur-tidur ayam. Tiba-tiba ada mobil yang nyalip dari bahu jalan. Gila ya? Bokap yang kaget langsung banting setir ke kanan, lalu mobil yang kita tumpangi terguling. Gue denger bokap teriak “Anak-anak ada yang luka?” dan serempak dijawab “Nggak ada, Yah”. Semua masih baik-baik aja sampai mobil kita ditabrak truk gandeng. Bam! Cuma itu yang gue denger, selanjutnya gue nggak lihat dan nggak denger apa-apa lagi.
Saat gue bangun, gue mencium bau yang menyengat. Disana ada nyokap dan dua orang ibu-ibu berpakaian suster. Mereka bilang gue koma dua hari. Gimana gue nggak kaget? Lalu gue tanya.
“Bu, ayah mana?”
Nyokap gue cuma menggeleng pelan dengan raut wajah yang kelihatan sedih banget. Oke, gue udah tahu jawabannya. Saat itu gue ingin berdiri dan meluk nyokap. Tapi kaki gue sakit dan ngilu banget waktu digerakkin. Gue lumpuh.
Nggak sampai disitu, ternyata perusahaan bokap gue yang udah terancam bangkrut, benar-benar ditutup. Gue bukan anak orang kaya lagi.
Dua bulan gue nggak bisa jalan. Setiap hari gue harus terapi, bahkan untuk jalan dua meter aja gue udah mau pingsan.
Akhirnya gue mulai bisa jalan walau dibantu tongkat. Hari pertama gue masuk sekolah, semua mata tertuju pad ague. Kali ini mereka bukan memandang gue dengan tatapan kagum, tapi dengan tatapan kasihan. Mungkin mereka semua udah baca berita di koran tentang musibah yang menimpa keluarga gue.
Dan asal lo tahu aja, ketika gue bener-bener butuh dukungan orang-orang terdekat seperti pacar dan sahabat, mereka malah pergi ninggalin gue. Saat pertama tahu gue nggak bisa jalan, pacar gue ninggalin gue gitu aja. Dia bilang, dia nggak mau punya pacar lumpuh. Lalu mereka yang mengaku sahabat gue sebelumnya, juga pergi ketika tahu gue bukan anak orang kaya lagi. Saat gue berada dibawah, mereka semua nggak ada. Miris.
Saat itu gue tersadar, tiba-tiba gue teringat omongan salah seorang temen gue yang gue tinggalkan demi berteman dengan orang-orang yang ‘lebih’.
“Hidup lo nggak akan selamanya diatas, suatu saat lo pasti bakal ngerasain gimana rasanya dibawah. Gimana rasanya jadi orang yang terbuang.”
Saat gue jatuh ke titik terendah hidup gue, gue ngerasa bersalah banget sama diri gue sendiri dan sama orang-orang yang pernah gue sakitin hatinya. Mungkin ini pembelajaran dari Tuhan, supaya gue nggak sombong ketika gue berada diatas.
Dan gue bener-bener belajar dari pengalaman itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!