Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Jumat, 16 September 2011

Biru

Oleh: @rnight_desiana


Kamu tahu laut biru? Kamu megah seperti isinya. Iris matamu berkilau bagai riak beningnya. Suaramu merdu bak desir angin pesisirnya. Mahkota panjangmu tersibak selayak dawai pohon pantainya. Kamu adalah lautku. Laut itu biru, Sayang. Makanya kamulah lautku.





B I R U





Langit terik. Bau asin menguar dari semua sisi yang mengelilingi tempat kakiku berdiri. Di sepanjang pesisir mata ini menangkap butir garam, sisanya perahu-perahu nelayan yang terlihat bobrok parkir di mana pun mata ini memandang. Tubuh-tubuh kering lelaki-lelaki pencari ikan itu tak terlihat pagi ini, padahal mataku biasanya menatap bagaimana badan-badan kokoh yang berkilap keringat itu berlari ke pesisir menenteng jala berisi ikan dengan sangat penuh.

Pagi ini tidak ada. Sepanjang mata ini memandang, yang kulihat hanya badan-badan gemuk lelaki bertubuh segar lengkap dengan seragamnya.

Polisi di mana-mana.

Di sepanjang luaran garis kuning yang dibentangkan polisi pun, masyarakat awam berkumpul—seolah ada penemuan paus terdampar di pesisir pantai. Saat aku menoleh, wajah-wajah tua di sana menengok ke sana kemari, mencari sang pusat hiburan pagi ini. Pantai ini memang butuh sedikit kesenangan. Riuh rendah suara bisik-bisik orang sekitar menghampiri daun dengarku lewat tiupan angin. Mereka masih sibuk mencari bangkai paus.

Bukan—memang ada bangkai.

Mayat orang.

Sosok itu tak terlihat, diimpit tubuh-tubuh besar pak polisi lalu menutupnya dengan kain lusuh. Paus—bukan, itu manusia.

“Anda baik-baik saja, Saudari Ara?”

Aku mengangguk pelan—kelelahan dengan pemandangan yang hanya itu-itu saja. Aku ingin segera pulang sekarang.

“Bisa mulai interogasinya sekarang? Saya butuh sedikit keterangan saja dari Anda.”

“Maaf, Pak. Mungkin sahabat saya butuh istirahat dulu. Tak bisakah bapak melihat kondisi Ara saat ini? Ia masih shock.”

Melirik sang polisi yang akhirnya mengangguk, kulemparkan pandanganku pada Silfira, sahabat baikku. Perempuan itu membelai pipiku, mengusap jejak kering air mata di sana. Jemari lembutnya menyapu pelan tiap garis-garis air mata yang tercetak di kedua belah pipi ini.

“Sabar ya, Ar. Aku juga nggak nyangka kalau akhirnya jadi begini. Langit….”

Aku hanya tersenyum menatapnya.

“Aku nggak nyangka Langit bakal bunuh diri.”

Dua kelopak mata ini bengkak. Wajahku jadi buruk rupa karenanya. Bibirku pucat dan kisut seperti terlalu banyak memakan ikan asin. Oh, air mata ini juga asin. Dataran ini juga asin.









Tiga jam para polisi itu berdendang, bersahutan satu sama lain untuk melempar tanya padaku. Aku hanya melempar senyum, tangisan, lalu mulai membicarakan kenangan bersama Langit. Lelaki itu mati di laut. Ditengarai bunuh diri. Tubuhnya dibebat jala ikan—mungkin tersangkut.

Pagi tadi barulah ia ditemukan.

Aku dibawa ke pesisir untuk melihat mayatnya. Dan aku langsung meraung-raung begitu melihatnya, menangis tak karuan meratapi sosok kekasihku mati. Suara desir angin laut di pagi hari yang biasanya hanya ditemani oleh nada-nada speaker pengeras dari masjid pesisir mendadak berubah pagi ini—digantikan tangisku yang menderu membahana layaknya orang gila.

Lelah melakukannya, polisi giliran menanyaiku.

Dari informasi teman kos Langit, Langit mengatakan akan menemuiku semalam. Saat polisi itu bertanya padaku, hati ini terasa tersayat, menangis lagi bak orang sinting mengingatnya. Kusodorkan satu-satu kenanganku tentang Langit yang ada padaku. Kusuarakan lagi kisah-kisah manisku bersama Langit dulu.

“Kami sudah pisah, Pak.”

Kusodorkan kertas lusuh berwarna biru dari dalam tasku.

“Itu kenangannya untuk saya sebelum kami putus. Semalam saya tertidur di rumah Silfira, sahabat saya. Saya tak menemuinya di pantai. Karena saya tahu ia ingin mengenang kisah kami berdua dulu saat masih berpacaran.”



Kamu tahu laut biru?



“Saya tak tahu kalau ia akan mengakhiri hidupnya di sana. Kami berpisah baik-baik. Saya akan melanjutkan studi saya di Amerika sementara Langit bilang ia merelakan saya. Makanya ia mengembalikan semua benda-benda pemberian saya dulu.” Kusodorkan sekardus kecil benda-benda pengiring kisah cintaku dan Ara.



Kamu megah seperti isinya.



Isi kardus itu perlahan keluar dari kotaknya, terbebas seperti habis dipenjara dalam karton persegi empat dengan kertas biru sebagai permukaan luarnya. Di sana ada foto-foto laut dan cinderamata kekayaan bahari. Aku ingat bagaimana Langit tertawa memotretku di antara bebatuan pesisir pantai dengan latar ombak nan biru. Lalu tangannya menunjuk stan-stan yang berjualan hiasan kerang. Aku tertawa saat itu. Ketika ia datang berlari padaku membawakan sekantong plastik mainan kerang.

Aku mencumbunya, sebagai tanda cinta di bawah langit biru yang megah seperti hatinya.

“Jadi dia mengembalikan barang-barang ini pada Anda seminggu lalu?”

Aku mengangguk pasrah sembari terisak.



Iris matamu berkilau bagai riak beningnya.



Lalu air mata itu tumpah ruah lagi, melesak jalang tanpa bisa kuhentikan. Isakanku semakin keras. Aku ingat betul ketika Langit mengembalikan benda-benda itu padaku di teras rumahku. Aku menangis sama seperti sekarang—meski tidak diiringi tangisan yang keras. Setengah mati rasa sedihnya, melihat benda-benda kenangan itu tak lagi menjadi milik kami berdua—kembali lagi menjadi milikku.

Sendirian.



Iris matamu berkilau bagai riak beningnya.



Iris mata ini basah, menekur sisa-sisa kenangan manis yang Langit berikan padaku semasa ia masih hidup. Lelaki itu sempurna. Lelaki itu sama seperti namanya, bagaikan angkasa luas nan biru yang menaungi lautan—aku.



Suaramu merdu bak desir angin pesisirnya.



“Saya menyesal saya nggak datang semalam, Pak. Andai saya datang, mungkin saya bisa membuatnya tak jadi bunuh diri.”

“Atau malah ngajak Dik Ara mati juga,” celetuk salah satu polisi—mendengus sesuka hatinya ketika berspekulasi barusan.

“Saya… cinta Langit.”









Langkahku teguh ketika meninggalkan pos polisi. Pelan tapi berkala, aku melangkah menuju Yaris hitam milik Silfira yang terparkir rapi di ujung sana. Tangan perempuan itu melambai padaku, memintaku agar menghampirinya dengan cepat. Begitu aku sampai padanya, lengan kurusnya menyampirkan jaket tebalnya padaku.

“Kamu butuh istirahat, Ar.”



Mahkota panjangmu tersibak selayak dawai pohon pantainya.



Aku menoleh, menatap beberapa polisi penjaga pintu masuk lalu sedikit membungkukkan badan, mengucapkan selamat tinggal lewat isyarat badan. Tubuh ini lelah, remuk setelah menghadapi satu persatu bait peristiwa yang begitu padat sedari pagi.









Angkasa terlihat berawan. Warna biru di atas sana hampir tak terlihat karena dihalangi gumpalan-gumpalan kelabu yang menggantung di sana. Cuaca masih panas meski angkasa harusnya boleh dikata sebagai mendung. Tapi pesisir pantai memang selalu begini. Selalu panas. Hawanya membakar—bahkan sampai ke ulu hati.

“Lewat pantai ya, Fir.”

Mobil itu melaju halus, sesekali melakukan manuver bahkan tanpa derit suara. Aku melarikan pandanganku keluar—memperhatikan seksama pemandangan pantai yang luas dengan selaksa debur ombak laut menghias tepi pasirnya. Indah. Tak kupungkiri indahnya.

Laut terlihat biru.

Tidak, laut terlihat kelabu.

“Ar, ini botol obat kamu. Kamu bilang kamu mau tidur seharian nanti.”

Aku mengangguk lemah tanpa menoleh ke arahnya. Jemariku dengan cepat meraih botol berisi tablet-tablet kuning di dalam wadah kacanya. Silfira percaya penuh padaku. Kubilang padanya untuk membawakan botol obat tidurku yang sengaja kutinggal di rumahnya.

Obat itu juga menidurkan Silfira semalam.

“Mungkin Langit nggak mau kamu pergi,” tukas sahabatku prihatin, “padahal kudengar gosipnya dia dekat dengan perempuan lain lho. Tapi melihat kenyataannya seperti ini, mungkin memang dia cuman cinta kamu, Ar.”



Kamu adalah lautku. Laut itu biru, Sayang.



Sayangnya laut sesungguhnya tak berwarna. Warnanya berasal dari pantulan langit. Karena angkasa tengah kelabu, maka lautnya ikut abu-abu.

Langit tak selalu biru, begitu pula lelaki itu. Mengembalikan semua kenangan itu karena memutuskanku demi perempuan lain. Andai ia tak melakukannya, maka semua ini tak akan terjadi.

“Handphone punyamu ada di karpet kamarku, Ar. Sepertinya semalam Langit neleponin kamu. Jamnya sih pas kita di kamar ketiduran.”

“Aku udah jelasin itu ke polisi. Mereka juga udah meriksa call register dari telepon genggamnya Langit.”

“Jadi setelah itu Langit bunuh diri? Perkiraan jamnya pas kan, Ar?”

Aku mengangguk—dalam hati aku menggeleng.

Kuraih beberapa komik misteri dari jok belakang mobil. Buku-buku bergambar itu kugenggam erat. Perkiraan jam kematiannya benar. Barang-barang Langit—handphone, jam tangan, juga kertas biru—tergeletak di tebing. Seolah benda-benda itu jadi pesan bunuh dirinya.

Kutidurkan lelaki itu di atas perahu karet lusuh semalam. Malam yang gelap di pantai.

“Kamu nggak apa-apa, Ar?”

Aku hanya melempar senyum pada Silfira.

“Kenapa kamu senyum-senyum sendiri?”

Kali ini aku mendesah—menghela napas panjang lalu melempar pandanganku ke arah pesisir pantai luas. “Langit suka banget sama laut. Mungkin dia memang menginginkan jalan ini, Fir. Kita doa aja buat dia.”

Kuangkat kedua tanganku untuk merapikan tusuk perak yang dari tadi menggelung rambut panjangku yang kusut. Tusuk… yang juga melubangi karet di perahu semalam—demi menggeser perkiraan waktu kematian Langit.

Bukan aku yang menjadi laut hatinya. lelaki itu mendua dariku—membuatku gelap mata untuk menghanyutkannya di dalam sumpah kalimat manisnya yang pernah ia bisikkan padaku ketika aku mencumbunya. Laut, laut, laut yang biru. Aku adalah lautnya—katanya. Tidak. Aku bukan lautnya. Aku adalah kelabunya sang laut biru sekarang. “Langit itu suka sama laut. Dia suka warna biru.”



Makanya kamulah lautku.

3 komentar:

  1. Penulis sering baca komik misteri ya? :p
    Saya pernah baca nih kayaknya trik pembunuhan ini, hehe.

    Penulisan indah dan terstruktur, sudah puitis namun tetap menggerakkan roda cerita. Overall sudah sangat bagus :)

    BalasHapus
  2. :)) Pernah baca komik Conan juga, Min? Si adminnya kok ya gak asing sama triknya sih. Padahal itu trik muncul di buku hampir sepuluh tahun yang lalu ;)

    Thanks komentarnya. Tapi itu tadi ada satu nama salah ketik, hehehehehee. Sayangnya tulisan yang ku-italic gak tampak ya? Again, thanks.

    BalasHapus
  3. iya, italic tidak tampak soalnya kita (supaya seragam) copy-paste langsung dalam bentuk html.

    Oh!! Itu di buku conan spesial volume 1! Yang terbit tahun 2001! *punya bukunya* :D

    BalasHapus

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!