oleh : @meiizt
untuk : Alya.
Akulah bulir hujan,
yang jatuh di pipimu. Yang beku di hari Minggumu.
Tak tega kulihat kau tergugu di bawah payung berkembang biru.
Kubisik awan untuk hanyutkan payungmu,
dan saat itulah aku berjumpa denganmu.
Engkau gadis bermata kelabu.
Pipimu sedingin mayat-mayat di tanah dulu.
Hatimu telah mati pada hari itu.
Darah pekatmu masih tercecer dari sembilu yang dibawa Badai temanku.
Badai temanku.
Yang mencuri hatimu.
Mencungkil cinta darimu.
Menadah serpihan rindu dari kalbumu.
Mungkin aku harus meminta maafmu dahulu.
Tak bisa kucegah dia, tak bisa kucegah kau jatuh cinta padanya.
Tak bisa kuingatkan dia, tak bisa kuingatkan kau tentang bahayanya.
Tak bisa kutahan dia, tak bisa kutahan kau tak mendekatinya.
Dia adalah Badai temanku,
dan kau adalah kekasih sahabatku.
Maafkan aku, gadis bermata kelabu.
Aku tahu hatimu tak pernah terluka sampai membatu.
Telah beribu kali hatiku jatuh padamu.
Telah berjuta kali hatiku patah karenamu.
Tapi aku disini, tergugu bersamamu.
Bulirmu adalah kepergiannya,
dan bulirku adalah kematianmu.
Kematian hatimu.
Maafkan aku yang telah jatuh padamu.
Rifan.
Kubaca lagi, kubaca berulang-ulang geletak surat lusuh itu. Surat yang dibilang orang-orang adalah surat terakhirmu. Surat yang dibilang orang-orang adalah bukti bahwa aku penyebab kau bunuh diri. Aku tak bisa menyalahkanmu bila akhirnya orang-orang menyalahkanku. Aku hanya bisa menyesali satu hal, satu hal yang tak pernah bisa kukatakan sebelum hari di Minggu kelabu itu. Hari ketika aku memutuskan pertunanganku dengan Badai. Bukan Badai yang meninggalkanku, Rifan! Tapi akulah yang meninggalkannya, akulah yang mematahkan hatinya, akulah yang menusukkan sembilu ke hatinya. Bulir-bulir bening di pipiku saat itu hanyalah ketakutanku karena aku tak tahu dengan alasan apa menghadap keluargaku. Perjodohanku dengan Badai hanyalah kedok semata, agar keluarga kami lolos dari jeratan hutang keluarganya. Tak lebih! Tapi aku sudah pasrah, apapun akan kulakukan asalkan keluargaku hidup bahagia. Tapi semua berubah sejak kau diperkenalkan, tak lagi aku bisa pasrah! Aku jatuh padamu. Tak pernah sebelumnya, seumur hidupku aku hanya jatuh padamu.
Kau tahu, Rifan, hatiku belum mati pada Minggu itu. Hatiku hidup, hidup, karena aku telah memilihmu.
Tapi kau benar, hatiku mati, mati, setelah mendengar kau telah mati....
Aku tergugu menatap bulir deras yang turun dari langit tanpa ampun. Mungkin itu airmatamu, Rifan, atas dosaku yang telah mematahkan hatimu, hati Badai, dan juga hatiku sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!