Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Selasa, 06 September 2011

GARA-GARA KARTUN




.
021108
Lagu berirama riang dengan lirik berbahasa Inggris itu mulai terdengar dari speaker televisi di ruang tengah. Dua suara anak kecil terdengar ikut menyanyikan soundtrack acara televisi yang baru saja dimulai itu. Padahal jam belum juga menunjukkan pukul enam pagi. Biasanya hari libur seperti ini anak-anak memilih untuk kembali bergelung di balik selimutnya setelah shalat shubuh. Tapi sejak beberapa minggu lalu tidak ada lagi acara melanjutkan tidur. Mereka memilih untuk menyalakan televisi dan menonton acara favorit terbaru mereka. Kartun. 

Awalnya aku tidak punya masalah dengan hal itu. Lumayanlah, pikirku. Bisa membantuku agar tidak susah-susah membangunkan anak-anak di pagi hari. Tidak perlu lagi berteriak-teriak memaksa mereka turun dari tempat tidur untuk shalat shubuh. Tidak perlu memaksa mereka lepas dari bantalnya untuk menyuruh bersiap berangkat sekolah. Tapi sepertinya masalah-masalah kecil mulai muncul karena kebiasaan baru ini.

231108
Ternyata kebiasaan hari Minggu tidak terlalu banyak berubah walaupun anak-anak bisa bangun pagi. Mereka tetap saja mandi menjelang makan siang setelah seluruh deretan acara kartun selesai diputar. Ditambah lagi mereka jadi susah diajak sarapan karena terpaku di depan layar kaca. 

”Andika, Andini, ayo makan dulu,” kataku mengajak mereka sarapan. 

”Sebentar, Ma, habisnya ini ya...” jawab Andika, putra pertamaku. 

”Iya, Ma, habis ini...” tiru Andini, putriku, mengekori kata-kata kakaknya. Kedua pasang mata itu tak mau lepas dari gambar-gambar bergerak yang disiarkan di televisi itu. 

”Papa sama mama makan duluan, ya.” Suamiku yang kali ini berbicara. Sepertinya ia sudah tidak bisa lagi menahan laparnya. Mas Nino memang terbiasa untuk sarapan pagi tepat waktu kalau tidak, penyakit maagnya bisa kambuh. 

Lepas satu jam dari ajakan makan pertama tadi, anak-anak masih juga asik dengan tontonan kartunnya. Berganti dari satu kartun ke kartun lain. Dari satu stasiun telivisi ke stasiun televisi lain. Sepertinya setiap satu acara itu selesai ada acara lain yang menunggu untuk ditonton. 

”Andika, Andini, ayo makan dulu, dong, sayang. Sudah jam sembilan lebih, ini. Nanti sakit perut, lo,” aku mengingatkan. Tapi masih sama seperti tadi, mereka berdua tetap menggunakan alasan ’sebentar lagi’ dan ’habis yang ini’. Akhirnya aku memilih jalan tengah. Menyuapi mereka sambil membiarkan mereka terus nonton televisi. 

271108
Anak-anak masih juga duduk di ruang tengah. Duduk di depan kotak elektronik dengan gambar yang bergerak-gerak. Sebenarnya aku kurang suka dengan kegiatan ini. Menonton televisi terus-menerus membuat anak-anak jadi kurang aktif. Jujur saja, aku lebih suka kalau anak-anak bermain monopoli atau halma. Atau pergi bermain dengan anak-anak satu kompleks. Pergi bersepeda, bermain petak umpet, bermain sepak bola, bermain layang-layang atau apapun itu. 

Tidak seperti sekarang. Bertindak pasif. Diam saja di depan benda mati yang mengeluarkan gambar-gambar dan suara-suara. Terkadang ada pikiran ekstrem yang muncul dipikiranku untuk membuang televisi. Terkadang aku merasa kalau hidup akan lebih baik tanpa televisi. Terkadang aku berharap anak-anak lebih bisa menikmati masa usia mereka dengan permainan yang dulu aku mainkan. 

”Andika, Andini, ayo matikan dulu tevenya. Sudah maghrib. Ayo, shalat dulu.”

”Yah, Mama, sedikit lagi...” kedua anakku mulai lagi dengan alasan serupanya. 

Dan aku termakan? Tidak. Setelah sekian kali, aku tidak akan termakan kali ini. Sudah waktunya aku bertindak tegas. Aku menekan tombol paling besar pada televisi. Membungkam layar kaca itu. 

”Yah, Mama...” Jelas kedua anakku protes. 

”Shalat dulu!” Perintahku tegas. Tidak ada tawar-menawar kali ini. 

”Iya, ayo shalat maghrib dulu. Habis shalat nanti papa temani kalian nonton kartunnya lagi.” Suamiku ikut bicara. ”Kyo*, kan?” 

Aduh, sepertinya nanti aku harus menyuapi tiga orang untuk makan malam. 

Ternyata acara kartun itu tidak hanya mengadiksi kedua putra-putriku. Sekarang bahkan sang bapak ikut-ikutan rajin berdiam di depan televisi. Sebenarnya acara kartun itu cukup menghibur. Ringan, hiburan yang cukup menyenangkan, dan membantu melepas stres. Tapi kalau tingkatnya sampai nyaris adiktif seperti ini, jelas sebuah hal yang mengganggu. 

Kini hampir tiap malam aku harus menarik tiga orang untuk mau makan malam di meja makan bukannya di depan televisi. Hampir tiap malam aku merayu, membujuk, hingga memaksa anak-anak untuk belajar atau paling tidak menyiapkan buku untuk sekolah besok, karena kalau menunggu seluruh acara kartun itu selesai, anak-anak sudah terlalu lelah dan memilih untuk langsung tidur. Dan besok paginya aku yang kalang-kabut menyiapkan semuanya. 

101208
Waktu menunjukkan pukul sepuluh lewat saat aku sampai ke rumah dari menjemput Andini dari taman kanak-kanaknya. Aku baru saja selesai menggantikan seragam Andini dengan pakaian rumah saat telepon rumah berdering. 

”Maaf, dengan Ibu Linda? Ini Bu Hartini, walikelasnya Andika, Bu. Mau memberi tahu kalau Andika sekarang ada rumah sakit karena kecelakaan.”

DEG!

Rasanya jantungku mau berhenti saat mendengar nama putraku bersanding dengan kata rumah sakit dan kecelakaan. Tak perlu berpikir dua kali, aku langsung menggendong Andini dan membawanya masuk ke dalam Honda Jazz merahku. Aku memacunya langsung ke rumah sakit yang disebutkan oleh walikelas Andika tadi. 

Sesampainya di rumah sakit, aku langsung mencari Andika yang ternyata masih dirawat di Ruang Gawat Darurat. Walikelasnya masih dengan sabar menungguinya. Aku menitipkan Andika dan Andini pada bu Hartini karena aku harus mengurus administrasi untuk rawat inap Andika. Baru setelah urusan administrasi selesai dan Andika mendapatkan ruang rawat inapnya, Bu Hartini memohon diri dan pamit pulang. Malam itu kami berempat —Aku, mas Nino, Andika, dan Andini— menginap di rumah sakit. Malam itu juga aku menelpon ibu agar besok pagi bisa bergantian menjaga Andika di rumah sakit. 

Sebenarnya aku ingin tahu apa yang Andika lakukan sampai ia mematahkan kakinya. Tapi kurang bijak rasanya bila aku menanyakannya sekarang. Andika tentu masih dalam keadaan shock. Aku sendiri juga masih shock dan jadi sedikit sensitif. Sudahlah, namanya juga anak-anak. Aku terus-menerus mendengungkan kalimat itu dalam benakku untuk menenangkan rasa penasaranku. Karena saat bertanya pada Bu Hartini, beliau pun tidak tahu jelas bagaimana hal itu terjadi. Yang Bu Hartini tahu bahwa Andika terjatuh dari tangga saat bermain-main dengan temannya saat jam istirahat. 

131208
Aku menggandeng tangan Andini saat memasuki lorong rumah sakit. Saat ini pasti Andika sudah menyelesaikan makan siangnya. Sudah dua hari Andika di rawat di rumah sakit. Dan sudah dua hari pula ibuku menjaganya tiap pagi. Aku memang sengaja menjaga Andika bergiliran dengan ibuku. Ibu menjaga Andika dari pagi hingga siang hari dan aku menjaga dari siang sampai besok tiba, walau terkadang mas Nino yang menjaga saat malam sepulang kantor. 

Aku memasuki ruangan nomor empat di paviliun mawar itu. Kulihat putraku yang berusia delapan tahun itu terlelap memeluk bantalnya yang aku bawakan dari rumah. Kaki kirinya yang retak kini digantung dalam balutan gips putih. Sedang ibuku yang sedang membaca surat kabar hari ini, menurunkan kacamatanya dan menggeser duduknya dari sofa, menyediakan tempat duduk untukku. Andini langsung naik ke tempat tidur penjaga dan membongkar mainan yang ia bawa dari rumah. 

”Kamu tahu apa yang buat Andika jatuh dari tangga, Lin?” Ibuku membuka pembicaraan itu. Aku hanya menggeleng. Karena yang aku tahu memang bahwa Andika jatuh dari tangga saat bermain bersama teman-temannya. Dan aku memang belum ingin menanyakan kronologisnya pada Andika. Aku merasa waktunya belum tepat. Yang penting Andika sembuh dulu, itu pikirku. 

”Andika loncat dari tangga soalnya mau niru jagoannya yang ada di teve, katanya. Apa namanya? Ah, ibu tidak ingat. Yang kartun itu, lo.” 

Ya, Tuhan, bisikku dalam hati. Jadi semua ini gara-gara kartun? Gara-gara terlalu sering melihat acara penuh fantasi di mana tokoh-tokoh di dalamnya dalam melakukan hal-hal yang tidak mungkin dilakukan manusia pada normalnya. Sepertinya setelah ini aku harus tahu apa yang ditonton anak-anakku. Bersikap lebih tegas tentang acara-acara televisi mana saja yang aman bagi mereka. Atau paling tidak mendampingi dan memberi panduan saat melihat acara favorit mereka. 

070209
Sudah sebulan lebih setelah Andika keluar dari rumah sakit. Ia masih harus menggunakan tongkat sampai empat minggu ke depan. Acara-acara kartun favorit kedua putra-putriku kini sudah aku sortir dan aku tahu kapan aku harus mendampingi mereka dan kapan harus memberitahu mana yang baik dan tidak untuk ditiru. 

Malam minggu ini kebetulan Andika dan Andini sedang menginap di rumah ibuku. Itu artinya malam ini aku bisa menghabiskan malam berdua dengan mas Nino. Saat-saat yang jarang bisa kami miliki sejak memiliki anak. Saat-saat romantis-romantis berdua. Kali ini pun aku sudah menyiapkan makan malam spesial. Candle light dinner dengan makanan favorit mas Nino untuk mengenang masa-masa saat pacaran kami dulu. 

”Mas, makan malam dulu, yuk,” ajakku dengan nada sedikit manja. 

”Sebentar... sebentar...” kulihat mas Nino sibuk membongkari tumpukan majalah dan surat kabar yang ada di sebelah televisi. 

”Cari apa, sih?” tanyaku penasaran. 

”Itu, remote teve. Di mana ya?”

”Memangnya harus sekarang, ya? Nggak mau makan malam dulu?” rayuku. 

”Iya, butuh sekarang.”

”Memang mau nonton apa, sih?” Akhirnya aku turun tangan dan mulai mencari remote televisi di antara tumpukan bantal-bantal sofa. 

”Hari ini ada episode barunya Naruto*.”


Catatan:
* nama tokoh dalam acara kartun/ anime salah satu stasiun televisi swasta

2 komentar:

  1. samurai deeper Kyo dan Naruto ya? hahahah

    BalasHapus
  2. ahaha.. iya :D
    pake setting 2008, nih
    kalo tahun ini cuma dikuasai spongebob.. :D

    BalasHapus

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!