Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Jumat, 16 September 2011

Permainan Laut

Oleh: Sylvana


Laut itu membentang luas hingga ujungnya tak pernah kelihatan meskipun ia menyipitkan matanya. Bukan laut yang sama pikirnya. Tetapi sukses megantarkan memori yang sama. Menciptakan pertanyaan-pertanyaan yang sama. Laut tetap diam seolah menelan semua jawaban. Mempermainkannya.
“Ami”
Sebuah suara menyentaknya. Suara yang dihafalnya beberapa tahun terakhir.
“Sudah hampir satu jam kamu berdiri disini, lihat kulitmu sudah gosong” ucapnya sambil menunjuk kulit Ami yang terbakar.
Dituntunnya Ami menuju pondok mereka.
“Seharusnya kita tidak perlu kemari” sesalnya.
Ami menggeleng “Seharusnya aku yang tidak melamun, maafkan aku, Dam” ujarnya pada Damar.
Damar meraih tangan istrinya “Aku tahu sulit bagimu untuk melupakan musibah itu, tapi ini sudah 5 tahun berlalu. Manusia boleh sedih namun tidak boleh larut didalamnya”
Kau tidak mengerti, Dam batinnya. Namun ia tetap mengangguk.
Betapa ia berusaha kuat melupakan musibah itu, tetap saja selalu menghantuinya. Musibah yang terlalu cepat, terlalu nyata untuk mengubah silsilah kehidupannya itu bernama Tsunami.

Tsunami juga yang telah menelan seluruh keluarga dan harta bendanya. Menyisakan dirinya di tengah kenyataan pahit. Begitu pikirnya, sampai ia bertemu lagi dengan suaminya. Bukan Damar. Suami pertamanya, yang ia kira telah ditelan bumi. Aksan. Aksan menemukannya atau ia yang menemukan Aksan, tak pernah ada yang tahu. Yang jelas mereka bertemu di rumah sakit ketika ia melahirkan buah cintanya dengan Damar. Takdir mempermainkannya melalui laut. Ia dan Aksan sama-sama terkejut setengah mati. Ami dengan keluarga barunya sedangkan Aksan terbaring tak berdaya.
“Apa yang terjadi, mas?” tanya Ami ketika itu.
Aksan memalingkan muka antara marah bercampur sedih. Jawaban justru datang dari perawat. Tsunami tidak hanya merengut kakinya Aksan, tapi menyebabkannya kehilangan kesadaran untuk waktu yang cukup lama. Satu-satunya alasan yang membuatnya bertahan hidup adalah harapan bertemu keluarganya kembali. Namun yang sekarang berdiri dihadapannya adalah istrinya yang juga istri orang lain.
“Aku tidak ingin bertemu denganmu lagi” kata Aksan. Bahkan untuk menyebut nama istrinya ia tak ingin.
Perempuan itu menunduk lesu, dalam dekapannya bayi perempuan sedang tertidur pulas “Biarkan aku membantumu, mas” bisiknya.
Aksan mengangkat sebelah alisnya “Untuk apa membantuku? Bukannya jika aku mati, itu akan membuatmu lebih tenang? Ingat, posisimu sekarang bersuami dua”
Lidah Ami kelu. Ia ingin membantu Aksan melewati masa-masa sulitnya sementara Damar dan putrinya membutuhkan perhatiannya juga.
“Pergilah Ami” ujar Aksan pelan.
Ami mendongak, sejak pertemuan mereka belum pernah Aksan memanggil namanya.
“Anak dalam gendonganmu jauh lebih membutuhkanmu dari aku”
Tangis Ami tak terbendung lagi. Mereka berdua menangis bersama.

Sejak hari itu, Ami tak pernah melihat Aksan lagi. Tak ada surat yang ditinggalkan, tak ada yang bisa dihubungi. Hilang seperti ditelan gelombang laut. Dan laut masih menyimpan misterinya.

1 komentar:

  1. Wah cerita yang masuk sesi ini rata-rata galau ya :D

    Pendek, namun tersirat makna yang cukup dalam. Seandainya ditulis lebih panjang dan rampung, tentunya bisa menghantarkan efek yang lebih kuat lagi. Terus berkarya! :)

    BalasHapus

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!