Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Minggu, 04 September 2011

Tiga Dimensi

Oleh: Alfius Sidhartaputra (@alfiusidharta)

Sejak kecil aku suka nonton film kartun. Banyak sekali judul-judul kartun yang sudah pernah aku tonton. Terkadang masih terbayang seekor kucing sedang mengejar tikus sampai akhirnya si tikus bebas dari kejaran kucing karena naik pesawat mainan. Atau seekor serigala yang berusaha merebus bayi bebek yang sangat besar dalam kuali, namun bayi bebek tersebut malah tertawa senang. Aku sering tertawa sendiri jika mengingat-ingat adegan tersebut. Walaupun sekarang aku sudah duduk di kelas tiga smp dan aku tahu bahwa kartun hanyalah film animasi karangan manusia yang disajikan dengan cara yang berlebihan, aku tetap suka menontonnya. Selain mengingatkan masa kanak-kanak, aku juga jauh merasa terhibur daripada menonton film-film biasa.

Suatu hari Arya, teman sekelasku membawa laptop ke kelas. Ketika jam istirahat, dia menunjukkan cuplikan film kartun kepadaku. Semua tau aku sangat menyukai film animasi. Film yang Arya tunjukkan berbeda dengan yang lain. Membuatku tertawa. Tapi aku lebih sering terdiam ketika menontonnya. Entah mengapa aku menyukai film tersebut. Aku menanyakan kepada Arya apa judul film tersebut dan dia dapat dari mana. Dia bilang semuanya bisa download di internet. Ini jam pelajaran terakhir setelah istirahat. Cuplikan film kartun yang tadi Arya tunjukkan masih terbayang olehku. Apa yang aku tunggu pun datang. Bel pulang. Aku langsung berlari keluar kelas. Semua janji yang aku buat pada hari itu aku batalkan. Termasuk kepada Anti. Hari itu biasanya aku mengajarkan Anti menggambar. Bukannya so jago. Tapi aku memang ikut kursus menggambar. Jadi aku sedikit lebih tau teknik menggambar dari Anti. Aku hanya mengajarkan teknik, selebihnya biar saja Anti yang meng-explore. Dan untung saja, Anti belum sempat melihatku, ia belum keluar dari kelasnya. Biar aku telepon saja dia jika sudah di rumah. Mudah-mudahan ia tidak datang ke rumahku, karena jarak antara sekolah dengan rumahku dekat sekali. Hanya berbeda satu blok.

Aku sudah di rumah. Sudah ganti baju. Sudah minum. Dan sudah duduk di depan komputer. Ya, aku langsung download apa yang tadi aku tanya pada Arya. Ternyata film tersebut sudah banyak episodenya. Hampir semua aku download. Sampai larut malam, aku selesai dengan urusanku. Tentunya dengan ibu, karena aku tidak juga menggubrisnya ketika ia menyuruhku makan malam. Kini saatnya aku menonton sepuasnya. Aku tersenyum.

Esok harinya aku bangun terlambat. Aku harus belajar di luar kelas sampai jam pelajaran ketiga. Tidak masalah. Mau di luar, di dalam, sama saja aku tidak pernah memperhatikan guru. Apalagi jika membosankan, buku catatanku akan penuh dengan coretan-coretan. Gambar animasi tentunya. Ketika pulang sekolah, aku melihat Anti sudah berdiri di depan kelas. Menungguku. Ia bertanya kemana aku kemarin. Aku lupa menelepon Anti. Terpaksa aku beralasan. Dan hari itu mau tidak mau aku harus menebus kesalahanku. Aku mencari kelas kosong. Ada di pojok lorong. Dekat gudang. Kelas itu selalu kosong, karena dijadikan tempat menyimpan meja kursi yang sudah rusak. Apa bedanya dengan gudang?

"Maaf ya, Ti. Kemarin aku..."

"Ah kamu. Aneh-aneh aja. Aku kan sudah membayar kamu, Yudis. Aku tahu tidak seberapa, tapi kamu harus konsisten dong."

"Iya iya, maaf. Ayo, mana buku gambarmu? Minggu kemarin aku diajarkan bagaimana cara menggambar wajah oleh guruku."

"Wajah? Memang menggambar animasi itu susah ya?" Anti mengerutkan dahi.

"Ya, nanti juga kamu tahu," aku membantu Anti mengeluarkan buku gambarnya yang besar. Ia gulung sehingga bisa masuk tasnya yang kecil.

"Mana pensilmu?"

Anti menunjukkan pensilnya. Patah. Aku langsung mengeluarkan peraut. Peraut yang bersebelahan dengan cermin. Entah apa fungsinya. Ketika Anti sedang meraut pensil, kaca yang dibalik peraut itu pecah. Mungkin karena ia menekan terlalu keras.

"Aaw! Perautmu aneh banget sih, Dis!"

"Hati-hati dong!" aku melihat telapak tangan Anti mengeluarkan darah. Entah mengapa ketika melihat darah Anti, aku merasa ada sesuatu yang bekerja pada tubuhku. Bekerja? Ya semacamnya. Seperti adrenalin. Tapi bukan. Tidak tahu apa. Aku melihat lukanya. Cukup besar, karena sebagian cermin menancap pada telapak tangannya. Anti hanya mengaduh, tidak berani melihat lukanya. Ia takut darah. Aku menaruh tangannya di meja. Tanpa ragu aku langsung menarik pecahan cermin tersebut dari lukanya. Anti sedikit berteriak. Sekarang ia menangis. Ternyata darahnya semakin banyak. Aku mengambil pensil yang hampir tajam itu, dan menancapkannya pada lukanya.

"Yudis! Apa-apaan kamu?!" Tangis Anti semakin menjadi-jadi. Aku bisa melihat wajahnya yang kesakitan dan takut.

"Hahahaha, memangnya sakit ya?"

"Gila kamu!" Anti berusaha menarik tangannya. Tapi cengkramanku lebih kuat. Darah di tangannya mulai menetes ke meja.

"Hahaha, lihat Anti aku akan menggambar menggunakan darahmu. Pasti hasilnya bagus!," aku menorehkan jari pada darah di meja. Anti tidak bisa berteriak. Mungkin sudah lemas. Lama-lama tangisnya berhenti. Dan kepalanya sudah bisa tegak saat aku selesai menggambar satu tokoh kartun untuknya.

"Hey Anti, nih sudah aku kasih contoh bagaimana menggambar wajah animasi! Hahaha."

Aku pun pulang, aku merasa sangat terhibur sekali. Apa yang aku lakukan kepada Anti tidak seberapa jika dibandingkan dengan apa yang dilakukan tokoh-tokoh kartun kesukaanku. Ya, yang aku download itu. Mereka bisa lebih dari itu. Bayangkan saja, pertama aku melihat cuplikan film itu, saat Arya menunjukkannya padaku, salah satu tokoh kartun mencongkel mata temannya, dan menjadikannya gantungan kunci. Aku hanya tertawa saat itu. Aku merasa senang.

Apa aku gila? Tidak. Aku merasa baik-baik saja. Sebelum aku mendorong temanku ke arah kereta yang sedang melaju. Saat itu kami sedang berjalan pulang. Aku sengaja memilih melewati rel kereta. Memang lebih cepat, itu yang membuat Bobi ikut denganku. Saat kami berjalan, terlihat dari kejauhan sebuah kereta menghampiri kami. Tentu saja kami menjauh. Berlari ke tepi rel. Kami tertawa terbahak-bahak.

"Hampir saja! Hahaha!" Itu kalimat terakhir yang diucapkan Bobi. Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Kemudian aku mendorongnya ke arah kereta. Dengan cepat kereta langsung menyambarnya. Tubuhnya tercerai berai. Aku hanya tertawa. Sampai aku menangis, saking lucunya. Lagi, aku bahagia.

Senang rasanya bisa melakukan apa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh kartun itu. Mereka selalu membuat gambar animasi dari darah temannya. Atau dari apapun yang tentunya bagian tubuh temannya. Saat itu, aku menggambar satu animasi menggunakan darah Bobi yang masih segar. Aku menggambar menggunakan jari telunjuknya yang putus. Aku menggambar kondisi Bobi yang tidak karuan. Nyata. Seperti tiga dimensi.

1 komentar:

  1. Maaf, tapi di sini kesan 'gore'nya terlihat sangat dipaksakan.
    Memang, jika diterapkan dengan benar adegan sadis akan memiliki nilai seni yang sangat tinggi, namun penulis juga harus melihat-lihat kapankah saat yang tepat untuk memasukannya, dan kapankah tidak.

    Dalam hal ini, sayangnya tidak.

    Tapi jangan menyerah! Teruslah menulis, dan sajikan 'gore' dengan lebih natural! :D

    BalasHapus

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!