Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Selasa, 05 Juli 2011

Andai Ia Tahu


Oleh @TiarniPutri


Aku menangis.

Aku sudah tidak kuat lagi.

Rasanya aku sudah gagal.

"Icha!", teriak Ardi memanggilku.

Aku sangat mengenal suara Ardi. Langsung aku hapus air mataku. Aku engga mau orang lain melihat aku menangis. Aku engga mau orang lain melihat aku lemah. Apalagi di depan Ardi.

"Ichaa!", panggil Ardi sekali lagi.

Aku menoleh.

"Iya?", jawabku sambil tersenyum ke Ardi.

"Selamat yaa rangking 1!", kata Ardi sambil tersenyum kepadaku.

Aku tersenyum usil.

"Aku engga ada apa-apanya kali di banding kamu. Rangking 1 se-angkatan kelas IPA", jawab aku sambil tersenyum genit kepadanya.

"Aaah, bisa aja si ibu ketua osis. Boleh lah, aku rangking 1 se-angkatan IPA, tapi kalau di bandingin sama kamu, kayaknya aku level bawah deh. Engga pantes", jawab Ardi sok-sok merendah menghadapi aku.

Aah, andaikan dia tahu kalau aku paling engga kuat melihat dia senyum.

"Eh, nanti jadi rapat OSIS engga? Kata Dito dia butuh rapat lagi sama kita, masih ada proker yang perlu di bicarain secara mendetail", kata Ardi.

"Proker yang mana sih?", tanya aku bingung.

"Pensi tahunan SMA kita", jawab Ardi.

Aku mendengus kesal.

"Udah berapa kali gw bilang, gw engga setuju kalau salah satu proker kita adalah pensi. Lebih baik, posisi ketua panitia pensi ini kita tawarkan ke murid sekolah. Nanti yang mau jadi ketua panitia, dia yang mengurus semua dari awal sampai akhir, jangan OSIS yang mikir", jawab aku sambil menjelaskan.

"Tapi kalau menurut gw, engga ada salahnya lho dit mendengar pendapat dari Dito. Siapa tau pendapatnya berguna", kata Ardi berusaha membujuk aku.

"Engga. Lebih baik kita fokus sama rapat besok dengan dewan sekolah untuk membicarakan proker yang sudah ada", jawab aku.

"SIAAAPP BOS!", jawab Ardi sambil hormat ke aku seperti hormat ke bendera.

Aku tersenyum. Puas karena aku merasa sudah menunjukkan ketegasan dan kepemimpinan aku sebagai ketua OSIS ke Ardi.

"Oya, nanti kamu pulang sama siapa?", tanya Ardi kepadaku.

"Naik angkot", jawabku.

"Mau pulang bareng?", tanya Ardi kepada aku.

"Engga, aku bisa pulang sendiri", jawab aku.

Sebenarnya, aku mau banget pulang bareng Ardi. Tapi aku pengen menunjukkan ke Ardi kalau aku cewek mandiri yang tidak bergantung kepada orang lain. Aku adalah perempuan yang bisa memimpin diri sendiri.

Walaupun aku sedih karena tidak bisa mengalahkan dia di bidang akademik, setidaknya aku bisa menunjukkan kehebatan aku di bidang non-akademik.

"Kalau engga mau pulang bareng, makan siang bareng mau dong? Gw mau kenalin lo ke seseorang nih", kata Ardi.

"Oke!", jawab aku.

Pikiran aku melayang.

Hati aku berteriak.

Dia mengerti maksud aku selama ini tidak sih? Kenapa dia tidak pernah melihat aku? Kenapa aku tidak pernah terlihat bagus di mata dia?

Sebenarnya aku capek. Capek terlihat tegas. Capek terlihat hebat di mata dia. Capek untuk membuat seorang Ardi terkesima melihat aku.

Aku capek menjadi cewek kuat di luar. Padahal di dalam hati, setiap malam aku selalu menunggu sms dari dia.

Tentu aku tidak pernah beritahu Ardi soal ini. Aku tidak mau terlihat seperti aku mengejar-ngejar dia.

Tapi sampai kapan aku harus begini? Masa sih Ardi engga sadar-sadar juga semua pengorbanan aku?

Apa lebih baik aku tembak Ardi duluan saja ya?

Sesampainya aku di meja kantin, aku melihat seorang cewek.

Ardi dan aku berjalan mendekati perempuan itu.

"Dita, kenalin. Ini Anna, adek kelas kita yang sekarang ganti status jadi cewek gw", kata Ardi kepadaku.

Aku terdiam.

Aku merasa setitik air mata jatuh di pipi aku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!